ilyoujae

Jam dinding di kamar bernuansa monokrom itu menunjukkan pukul 7 pagi, semerbak wewangian dari parfum milik si pemilik kamar memenuhi seisi ruangan itu. Hagan sudah rapi, ripped jeans yang ia kenakan terlihat serasi dipasangkan dengan sweater abu-abu yang sudah ia tarik lengannya hingga di bawah siku.

Tidak ada kelas yang akan ia hadiri, tidak juga dengan rapat organisasi atau segala hal tentang kepanitiaan. Hari ini ia akan ke bandara, mengantar gadis yang hampir setiap hari ia temui, yang sayangnya tidak akan terjadi lagi selama enam bulan ke depan. Richi akan berangkat ke Los Angeles pagi ini untuk melaksanakan program exchange selama satu semester.

Hagan mengambil satu buah jam tangan dan memasangnya di pergelangan tangan kirinya sebagai sentuhan terakhir sebelum keluar dari kamar. Langkahnya terhenti di depan pintu kamarnya, kemudian dengan cepat kembali dan menarik satu buah laci di meja belajarnya, mengambil satu buah benda kecil yang segera ia masukkan ke dalam kantong jeans yang ia kenakan.

Hagan buru-buru keluar dari kamar, menuruni anak tangga satu persatu, dan berjalan cepat ke arah dapur untuk menemui sang bunda. Pemuda itu mengambil satu buah bakpao berisi selai srikaya yang tidak lain adalah buatan bundanya sendiri.

“Jam berapa sih pesawatnya, mas?” Tanya Linda, wanita paruh baya itu membawakan satu gelas susu vanilla untuk putra semat wayangnya itu.

“Sekitar jam 8, Nda.” Jawab Hagan dengan mulut yang masih penuh.”Richi udah pamit sama Bunda?” Tanya Hagan.

Linda mengangguk, “Richi telpon Bunda semalam.” Lanjutnya. Hagan mengangguk-angguk kecil menanggapi, cowok itu sudah menyeruput susu hangat buatan Bundanya. Matanya sedikit melirik ke layar ponsel yang ia letakkan di atas meja, ada notifikasi beruntun yang masuk.

Hagan meletakkan gelasnya, menggantinya dengan ponsel dan membaca satu persatu pesan yang masuk dari orang yang sama.

‘Woi ke kampus sekarang gan’ ‘Urusan pemira’ ‘Disuruh kaprodi nih, cepetan gue gak mau datang sendirian, lo yang calon kahim’

Hagan langsung berdecak membaca rentetan pesan dari Rifki, sahabat sekaligus calon wakil himpunannya itu. Tak ada pilihan lain, Hagan segera menghabiskan potongan bakpau terakhirnya dan buru-buru berpamitan ke Bundanya.

“Kenapa?” Tanya Linda ikut panik melihat Hagan yang buru-buru menyeruput susu hangatnya hingga habis.

“Ada urusan di kampus, mau ke kampus dulu, Nda. Pamit ya.” Jawab Hagan sambil meraih tangan bundanya untuk dicium dan segera berpamitan.


Tiga puluh menit menghabiskan waktu di dalam ruangan bersuhu dingin milik kepala program studi. Hagan, Rifki, serta beberapa pengurus himpunan lain baru saja menyelesaikan pertemuan dadakan dengan kaprodi, pemilihan raya untuk himpunan kali ini harus dilaksanakan secara aklamasi setelah satu pasang paslon yang lain mengundurkan diri.

Hagan tidak lepas bolak-balik memperhatikan jam di tangan kirinya, sudah pukul tujuh lewat empat puluh menit. Kurang lebih dua puluh menit lagi waktu yang ersisa untuk menemui Richi. Sebelumnya, hagan sudah memberitahu Richi jika akan terlambat, tapi melihat waktu yang semakin sempit mau tidak mau Hagan harus pergi ke bandara sekarang. Butuh lima belas menit untuk ke bandara, belum lagi jika terkena macet.

Hagan berlari menghampiri Rifki dan beberapa temannya yang berjalan lebih dulu dihadapannya, “Ki, lo selesaiin dulu yang lain, gue harus ke bandara, gue ditunggu Richi.” Kata pemuda itu. Belum sempat Rifki membalas, Hagan sudah lebih dulu berlari ke arah parkiran.

“RAPATNYA GIMANAAAAA?” Teriak Rifki dengan sekuat tenaga, membuat beberapa orang di koridor memperhatikannya dengan tatapan keheranan.

“LO YANG GANTIIN DULU, LO CALON WAKAHIMNYA.” Jawab Hagan dari kejauhan dengan suara tidak kalah tinggi.


Dengan kemampuan relasi dan pengetahuannya memahami jalan tikus, Hagan akhirnya sampai ke lokasi bandara. Cucuran keringat dan dentuman detak jantungnya beradu cepat. Waktunya kurang dari sepuluh menit lagi. Ia berdecak sebal, niatnya datang lebih awal ke bandara beberapa jam yang lalu tidak sesuai realita yang terjadi. Rencananya hancur dan niatnya diambang batal.

Hagan mempercepat langkahnya, bahkan sudah berlari secepat mungkin. Kalau bukan kali ini, kapan lagi. Ada ucapan yang belum disampaikan, ada perasaan yang belum diutarakan. Mau tidak mau dan siap tidak siap, ia tidak boleh kalah dengan gengsi dan berakhir mengulurnya lagi.

Sementara, di sisi lain. Richi tak berhenti memperhatikan sekitarnya. Sesekali ia membuka roomchat milik Hagan yang terakhir kali mengirimkannya pesan bahwa ia sudah sampai.

Richi mengaku bahagia hari ini, sebab mama dan papanya ikut meluangkan waktu untuk mengantarnya, meski hal ini tidak bisa menjadi alasan kembali utuhnya keluarganya, setidaknya ia bersyukur setelah kasus manipulasi prestasinya terungkap, kehidupan Richi perlahan terasa membaik. Bahkan ia tidak merasa khawatir harus berangkat meninggalkan keluarganya hari ini, tetapi ada satu titik di hatinya yang terasa kurang. Dia harus bertemu Hagan, sebelum ia menghabiskan waktu enam bulan di benua yang berbeda.

Hembusan napas Richi terasa lega saat matanya berhasil menangkap keberadaan Hagan yang setengah berlari menghampirinya dengan sama leganya, pemuda itu terengah, tepat di hadapan Richi ia membungkuk menopang badannya dengan kedua tangan yang ia tumpu pada lututnya.

“Engap, Chi.” Kata pertama yang keluar dari mulut Hagan, setelah ia kembali menegakkan tubuhnya.

“Harusnya kalau gak bisa datang, bilang aja.” Jawab Richi. Hanya agar terlihat tidak berharap, padahal hatinya berkata sebaliknya.

Hagan tidak memperdulikan ucapan Richi, ia melangkah mengampiri Mama dan Papa Richi yang juga menyadari kedatangan cowok itu,

“Halo Om, Halo Tante.” Kata Hagan sambil mencium tangan Desi dan Willy, Orang tua Richi yang sudah tidak asing lagi dengan Hagan.

“Cie kak Hagan.” Celetuk Rika, gadis berambut sebahu di sebelah Richi itu menggodanya.

“Udah ah bentar lagi harus boarding nih.” Kata Richi. Gadis itu menghampiri kedua orang tuanya, menyalimi keduanya satu-persatu.

“Kalau ada apa-apa kabarin papa.”

“Hubungin mama kalau udah sampe.”

Richi mengangguk, tersenyum tipis melihat kedua orang tuanya. Mau sebesar apapun kecewa Richi, orang tua tetaplah orang tua. “Lancar proses sidangnya ya, Ma, Pa. Jangan berantem lagi, kasian Rika.” Ucap Richi. Sementara Rika di sebelah Richi datang memeluk sang Kakak. Setelah selesai dengan semua keluarganya, richi kini beradapan dengan Hagan. Keduanya sama-sama diam.

“Lo gak mau ngomong apa-apa?” Tanya Richi.

Hagan menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan, menghapus ketegangan yang tiba-tiba menghantuinya, sama sekali bukan Hagan yang biasanya.

“Mau, tapi di sana.” Hagan menunjuk tempat yang tidak jauh dari mereka, bukan tempat khusus, tujuannya hanya ingin sedikit menjauh agar memiliki keleluasaan untuk menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan.

“Izin ngobrol sebentar ya, Om, Tan.” Kata Hagan kepada Mama dan Papa Richi. Belum sempat bertanya, Hagan sudah berlalu begitu saja membuat Richi mau tidak mau harus ikut mengekori Hagan. Keduanya berhenti bersamaan dengan suara announcement untuk boarding pesawat yang akan digunakan Richi.

“Cepet banget, sabar Mbak.” Kata Hagan mencibir.

“Lo yang cepetan.” Balas Richi.

Hagan terkekeh seperti biasanya, bedanya kali ini Hagan tidak berani menatap perempaun di hadapannya itu.

“Chi.” Panggilnya.

“Apa.”

“Lo janji dulu jangan ngeledeken gue habis ini.” Kata Hagan lagi.

“Lo mau nembak gue?” Hagan melotot kaget, seperti ditembak tepat sasaran. Richi di hadapannya masih menatapnya datar. Nyali Hagan menciut tiba-tiba.

“Lanjutin.” Kata Richi lagi.

Hagan berdeham sambil memalingkan wajahnya. Pemuda itu merogoh kantong jeans sebelah kanannya, mengambil satu benda kecil yang ia sembunyikan di genggamannya. Dibukanya genggaman tangannya itu dengan pelan, menampilkan satu buah gantungan kunci dengan bentuk kotak bertuliskan ‘you stole my…’ dengan pola berbentuk hati yang kosong di bawahnya.

Richi diam meperhatikan benda itu, hanya beberapa detik sampai ia menyadari itu adalah pasangan dari gantungan kunci berbentuk hati hadiah dari Hagan di hari ulang tahunnya. Gantungan kunci yang Hagan bilang bukan gantungan kunci couple sebelumnya.

You stole my heart.” Ucap Hagan membaca tulisan di gantungan kunci itu.”Bentuk hatinya ada di lo kan?” Lanjutnya lagi, matanya sudah ia beranikan menatap gadis di hadapannya yang tadi terlihat menantang tapi akhirnya ciut juga.

Richi mengerjap, “Gue gak nyuri, lo yang ngasih ke gue.” Jawab Richi. Hagan mengangguk, “Gue ngasih lo karena gue maunya lo, Chi.” Kata Hagan. “Bohong kalau lo gak ngerti maksud gue.” Lanjut pemuda itu.

Richi memalingkan wajah, menggigit bibir bawahnya tanda kebingungan, salah tingkah lebih tepatnya. Gadis itu memang memahami maksud Hagan, tapi tidak memahami situasinya. Lalu dia harus apa kali ini?

Panggilan announcement dari flight Richi kembali menggema. Membuat Richi semakin terpaku.

“Gantungan kunci yang ada di elo butuh pasangan, kalau lo ngerasa itu bukan gue, lo boleh ambil yang ini juga, gak apa-apa kasih ke orang lain yang lo mau.” Hagan mengulurkan tangannya mempersilahkan Richi mengambil gantungan kunci di telapak tangannya itu.

Richi menghela napas, membulatkan tekadnya. Diraihnya punggung tangan Hagan, ada jeda beberapa detik saat Richi memperhatikan gantungan kunci di tangan Hagan itu. Jujur saja, jantung Hagan sudah berdisko ria, sialnya Richi masih belum melepas tangannya dari punggung tangan Hagan.

Setelah puas beradu dengan pikirannya sendiri, Richi menutup telapak tangan milik Hagan. Dibiarkannya Hagan menggenggam kembali gantungan kunci di telapak tangannya itu.

“Itu udah punya lo dari awal, gak akan gue ambil apalagi kasih ke orang lain.”

Hagan mengangka alisnya berusaha mencerna kesimpulan, “Jadi?” tanyanya memastikan.

“Kak Richi cepetan boarding!!” Teriak Rika membuyarkan suasana di tengah dua insan yang sedang sama-sama mencerna situasi satu sama lain itu.

“Bohong kalau lo gak ngerti maksud gue.” Jawab Richi mengulang kalimat Hagan sebelumnya.”Udah ah gue ketinggalan pesawat nih, ntar.” Richi sudah merapikan posisi totebag di pundaknya dan bersiap melangkahkan kaki.

Tetapi satu tarikan pelan dari Hagan membuat langkah Richi berhenti, ditatapnya pemuda itu yang juga masih menatapnya bingung. Richi menghela napas lagi, “Confession approved, let’s upgrade our status.” Ucap gadis itu memberi kesimpulan.

“Kalau masih gak ngerti, terserah lo aja deh, Gan.” Richi sudah berlari menjauh meninggalkan Hagan yang diam mematung beberapa saat sebelum akhirnya mengusap wajahnya yang tersipu malu dengan senyuman tertahan di sudut bibirnya.

Dilihatnya Richi yang sudah berlari memasuki gate menuju pesawat sambil sesekali menoleh melambaikan tangan untuk keluarganya, dan lambaian terakhir gadis itu berikan pada Hagan sebelum gadis itu benar-benar hilang dari pandangan, Hagan tak ingin menyianyiakan kesempatan dengan segera membalas dengan lambaian tangan dan senyuman terlebar yang ia miliki.

Hari pertama upgrade status dan memulai long distance relationship yang sesungguhnya.

Waktu menunjukkan pukul empat lewat tiga puluh menit di sore hari yang tenang itu. Hagan dengan mobil Hummer hasil pinjaman dengan pamannya pagi tadi, kini sudah sampai di halaman rumah Eyang yang dipenuhi pohon-pohon rindang di sekitarnya.

Langkah pemuda itu dipercepat, memasuki rumah beraksen tradisional yang sudah direnovasi sehingga sudah memiliki sentuhan modern itu.

Tidak perlu effort yang lebih banyak saat netra Hagan sudah bisa menangkap senyuman lepas dari Richi yang sedang membantu Eyang membungkus beberapa oleh-oleh yang Hagan yakini akan ia bawa pulang ke Ibu Kota.

“Nah iki Mas Hagan udah balik,” wanita berumur pertengahan 60-an itu yang pertama kali menyadari kehadiran Hagan, diikuti oleh Richi yang juga ikut menoleh dan memperhatikan Hagan yang sudah beranjak mendekati keduanya.

Hagan mengulurkan tangan dan mencium pundak tangan sang Eyang.”Maaf kesorean, Yang.” Kata pemuda itu.

Hagan tidak fasih berbahasa jawa, lahir dan tumbuh besar di ibu kota membuatnya jadi tidak mengerti bahasa tempat ayah dan bundanya berasal. Terlebih bahasa jawa khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta ini memiliki banyak sekali jenis dan perbedaan cara penggunaannya.

Untungnya, Eyang Ani bukanlah sosok orang tua yang mempermasalahkan penggunaan bahasa, bahkan Eyang Ani termasuk golongan orang tua yang tidak gelagapan saat harus mengikuti bahasa anak jaman sekarang, mengingat umurnya juga yang masih terbilang muda untuk ukuran seorang nenek yang sudah mempunyai 5 orang cucu dewasa.

“Jam enam nanti, Hagan sama Richi berangkat ya, Yang. Hagan bawa mobil Mas Iyok, soalnya mau jalan-jalan dulu sebelum ke Stasiun. Udah izin Mas Iyok, Kok.” Kata Hagan lagi, laki-laki itu sudah duduk tepat di samping Richi yang masih belum bersuara.

Hagan memperhatikan Richi yang masih sibuk dengan kegiatannya. Satu-satunya bagian yang menjadi titik fokus Hagan adalah dua iris mata gadis itu, tanpa perlu alasan dari si empunya, Hagan sudah dapat memastikan Richi habis menangis sebelumya.

Mata gadis itu sembab dan masih tampak sisa berkaca-kaca, namun dengan susah payah ia sembunyikan dengan senyuman yang terukir dari bibirnya.

Hagan diam tanpa menegur apa pun, hatinya khawatir tapi lega di saat bersamaan. Setidaknya, Richi sudah mengeluarkan semuanya lewat tangisan.

______

Hagan dan Richi sudah berada di dalam mobil Hummer hasil pinjaman dari sang paman sebelumnya. Ia sengaja mengosiasi Mas Iyok untuk meminjamkan mobilnya malam ini dan akan ia bawa ke stasiun yang nantinya mobil itu akan diambil kembali oleh orang suruhan Mas Iyok di stasiun.

Keduanya masih diam membisu, lebih tepatnya karena Richi yang masih murung sejak sore tadi. Suasana hatinya beum membaik, Hagan pun tidak berani bertanya apa-apa. Hagan mulai menjalankan mobilnya, setelah melakukan adegan dadah-dadah dengan Eyangnya yang masih berdiri di teras rumah.

Mobil itu telah melaju keluar halaman, dua hari di Jogja memang tidak berasa apa-apa. Tetapi ini lebih baik daripada tidak berkunjung sama sekali.

Seperti biasa, Hagan tidak berniat memberitahu kemana mereka akan pergi, begitupun Richi yang tidak bertanya apa-apa.

Lima belas menit hanyut dalam hening sebelum mobil Hagan berhenti tepat di seberang minimarket yang sudah tidak asing lagi ditemui di berbagai penjuru wilayah Indonesia. Hagan membuka seatbelt dan mematikan mesin mobilnya.

“Lo mau ikut nggak?” Tanya Hagan.

Richi menoleh sebentar, memperhatikan sekitarnya sebelum menyadari ia kini sedang berada di seberang minimarket. “Mau ngapain?” Gadis itu balik bertanya.

“Ya, mau belanja.”

“Buat apa?”

“Ck udah mau ikut apa enggak? kalau enggak, gue tinggal.”

Richi memasang wajah tak tertarik, ia menggeleng dan kembali fokus pada ponsel di tangannya. Hagan mencibir sebelum akhirnya keluar sendirian dari mobil dan segera menyebrang jalan.

Hagan sudah kembali dengan dua bungkus plastik besar di tangan kirinya, perhatian Richi sedikit teralih saat bungkusan itu di bawah ke jok belakang oleh Hagan. Samar-samar ia dapat melihat berbagai macam makanan ringan dan minuman dingin serta rerotian yang terlihat di sana.

“Buat siapa?” Tanya Richi setelah Hagan kembali ke posisi safety dengan seatbelt yang sudah melingkari setengah bagian tubuhnya.

“Buat orang yang butuh.” Jawab Hagan asal.

Richi menghela napas, malas untuk bertanya lebih lanjut, ia mengikuti saja apa yang akan dilakukan Hagan setelah ini.

Tempat yang mereka singgahi adalah sebuah yayasan dengan bangunan sederhana ditambah pekarangan luas yang diisi berbagai macam mainan sederhana seperti ayunan kayu, jungkat-jungkit, hingga dua perosotan yang berjejer.

Mata Richi sibuk menjelajahi tempat itu, hingga sadar bahwa mereka sedang berada di sebuah panti asuhan setelah melihat kumpulan anak-anak berusia sekitar enam sampai sembilan tahun tengah duduk di teras dengan buku bacaan di depannya.

Panti Asuhan Kita. Nama tempat itu.

Richi mengikuti langkah Hagan memasuki rumah itu. Pandangannya tak berhenti memperhatikan anak-anak kecil yang tengah belajar, bermain, hingga menangis di saat bersamaan.

“Halo, Bu.” Sapa Hagan ketika disambut oleh wanita paruh baya yang datang menghampiri keduanya. Wanita itu tersenyum bembalas uluran tangan Hagan.

“Selamat datang, Mas, Mbak.” Jawab wanita itu.

“Lagi pada ngumpul ya, Bu?” Tanya Hagan sembari memperhatikan sekelilingnya.

“Iya jam segini masih pada main, Mas. Sambil nunggu makan malam.” Richi di belakang Hagan sibuk memperhatikan dua anak perempuan berusia sekitar 7 tahun itu sedang bermain masak-masakan. Diam-diam Richi mendengar percakapan keduanya.

“Yay kuenya udah jadi.” Kata si anak perempuan berambut curly sambil mengangkat satu buah mainan berbentuk mangkok yang dibalik. Mereka menganggapnya sebuah kue. “Sekarang kamu tiup lilin, ya.” Lanjutnya.

Gadis kecil lain di hadapannya tersenyum ceria, bertepuk tangan sebelum menutup matanya, memanjatkan doa dalam diam. Kemudian keduanya beracting seakan sedang meniup lilin padahal todak ada apa-apa di sana.

Richi tersenyum pilu. Ada yang sedang berulang tahun juga hari ini. Bedanya anak itu masih tersenyum meski hanya dengan kue yang ada di angan-angannya.

“Ayo kesini semuanya, ini mas sama mbaknya bawa makanan banyak.” Dalam satu panggilan, anak-anak panti itu langsung memburu, tersenyum riang padahal mereka belum ada yang tahu makanan apa yang akan mereka dapatkan.

“Waduh rame banget, tenang dulu, nanti pasti dapat semua.” Kali ini Hagan yang berbicara.”Kalau mau ambil makanannya, harus ada syaratnya, ya.” Lanjut Hagan.

Sebagian anak-anak itu memasang wajah memelas, mendengar kata syarat yang diucapkan Hagan.

“Ih jangan nyerah dong, gampang kok syaratnya cuman tos ke Mbak yang di sebelah ini, terus ucapin selamat ulang tahun, Mbaknya lagi ulang tahun hari ini. Gampang kan?” Sontak anak-anak itu langsung berteriak dengan kompak, sebagian dari mereka sudah membentuk barisan mengantre di hadapan Richi.

Richi masih diam melongo, menoleh melihat Hagan yang ikut tertawa cekikian melihat anak-anak tersebut rebutan mengantre. Hagan yang sadar ditatap seperti itu jadi balik membalas tatapan Richi, Hagan menunjuk dengan dagu ke antrean di depan Richi, dengan maksud agar gadis itu segera memulai rangkaian bagi-bagi makanan ini.

Mau tidak mau Richi mengikuti cara itu, tangannya satu persatu ditepuk pelan oleh anak-anak itu sambil mengucapkan beragam kata-kata ucapan selamat ulang tahun, Hagan di sebelahnya bertugas sebagai pembagi makanan.

“Selamat ulang tahun ya Mbak.”

“Hepi besday, Mbak.”

“HBD Mbak.”

Kata-kata tersebut terus terulang, membuat senyum Richi ikut mengembang. Selanjutnya, mata gadis itu tertegun saat menangkap salah satu dari dua gadis kecil tadi yang sedang melakukan adegan tiup lilin, kini muncul di hadapannya dengan senyum super tulus.

“Selamat ulang tahun, Mbak.” Katanya riang sambil menanggkat tangannya untuk melakukan adegan Tos.”Ulang tahun kita sama.” Lanjutnya lagi sambil memperhatikan deretan giginya.

Richi tersenyum simpul, “Selamat ulang tahun juga ya,” Jawab Richi. “Gan, adek yang ini kasih dua ya, dia juga lagi ulang tahun.” Kata Richi.

Hagan yang merasa terpanggil pun langsung mengeluarkan dua bungkus makanan ringan dengan merk berbeda ke gadis kecil ya dimaksud.

“Makasih ya Mas, Mbak.” Katanya tersenyum riang, lagi.

Agenda bagi-bagi makanan malam itu telah selesai, Hagan dan Richi juga bermain cukup lama dengan anak-anak panti. Selain ikut makan malam bersama yang entah inisiatif dari mana, Richi tadi terketuk untuk membelikan sedikit tambahan makan malam untuk anak panti, sehingga menambah kenikmatan makan malam mereka malam ini.

Setelah makan malam pun, mereka masih sibuk bermain, Richi mengajari anak-anak yang sudah bersekolah untuk mengerjakan PR, lalu Hagan yang asik bermain gitar bersama pemuda-pemuda belasan tahun yang ikut antusias meyaksikan Hagan menunjukkan kebolehannya dalam bermain alat musik.

Hingga waktu menunjukkan pukul dua puluh lewat lima belas menit, Hagan dan Richi berpamitan untuk pulang. Keduanya juga harus segera ke stasiun dan harus tiba di sana pukul Sembilan. Setelah berpamitan yang cukup haru karena keseruan yang mereka lewati malam ini, Hagan dan Richi sudah masuk di mobil mereka.

Energi keduanya cukup terkuras, namun hal itu digantikan oleh kehangatan yang mereka dapatkan malam ini. Mata berbinar dari anak-anak yang bisa dibilang kurang beruntung karena harus tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tua, menjadi alasan kenapa mereka harus lebih banyak bersyukur dan tidak banyak mengeluh, setidaknya keduanya masih punya orang tua untuk dilihat, meskipun tidak semua merasakan kebahagiaan.

Hagan membuka dashboard, mengeluarkan satu kotak berukuran kecil, keluar dari tempat itu. Selanjutnya, ia berikan pada Richi yang baru saja memasang seatbelt. Gadis itu sempat terlonjak, ia sebenarnya sudah tidak mengharapkan apa-apa dari Hagan setelah apa yang baru saja mereka lewati dengan anak-anak panti, Richi sudah menganggap itu adalah hadiah dari Hagan. Tapi tangan Richi sudah terulur untuk meraih kotak itu.

“Bukanya nanti pas lo udah sampe rumah aja,” ucap Hagan. ”Oh iya, jangan berekspektasi gue ngasih yang mahal-mahal ya, Chi. Itu kotaknya doang yang bagus, isinya mah lebih murah dari nasi padang.” Lanjutnya.

Richi mencibir, siapa juga yang berekspektasi tinggi. Hagan bukan orang yang suka memberikan hal-hal mewah dengan harga tinggi, selama enam tahun saling kenal, Hagan tidak pernah memberinya hadiah ulang tahun yang mahal, laki-laki itu akan memberikan barang yang mungkin tampak tidak berguna bagi orang lain tetapi bagi Richi punya makna tersendiri.

Mobil mereka kini sudah melaju, tujuannya adalah stasiun kereta. Mereka akan pulang malam ini, meninggalkan Jogjakarta. Tidak ada kunjungan ke tempat-tempat terkenal di Jogja seperti Jalan Malioboro yang dikenal sebagai jantung kota Jogja atau kunjungan ke Alun-alun kidul yang selalu ramai tiap malamnya.

Richi menyadari, Hagan mengajaknya ikut bukan untuk berlibur untuk melepas pnat dari hiruk-pikuk ibu kota, tetapi agar Hagan dapat tetap menemani Richi di hari ulang tahunnya. Andai saja Richi tidak ikut, mungkin ia hanya akan menghabiskan waktunya berdiam diri dan menonton serial drama korea favoritnya sepanjang hari.

Agenda potong kue dan makan malam sudah selesai, keempatnya memilih menikmati hidangan makan malam di ruang tengah alih-alih di meja makan. Hidangan malam itu adalah sop buntut buatan Bunda Linda seperti biasanya.

Bunda Linda dan Om Amar sibuk berbincang yang sesekali ditimpali ledekan candaan dari Hagan yang beberapa kali menghasilkan omelan dari Bundanya. Sementara Richi hanya ikut meramaikan dengan tertawa karena larut dengan selera humor keluarga ini.

“Nyanyi dong, Nda. Ayah yang gitarin.” Celetuk Hagan.

“Ih malu ah Bunda.” Jawab Bunda Linda.

“Ih malu sama siapa sih, Nda. Biasanya juga nyanyi sambil nyci piring.” Kata Hagan lagi, kakinya sudah melangkah mengambil gitarnya di ujung ruangan setelah mendapat perintah dari sang Ayah yang menyetujui usulan Hagan tadi.

“Ayo, Bun. Mau lagu apa.” Om Amar sudah mengambil alih gitar yang dibawakan oleh Hagan.

Richi tersenyum riang melihat kedua orang tua itu yang masih saling berseteru memilih lagu favorit masing-masing.

Richi mengaku sangat bahagia, melihat keluarga yang bisa menyempatkan waktu bersantai bahkan bercanda seperti keluarga Hagan ini adalah suatu hal yang langka. Dirinya belum pernah merasakan kehangatan ini di keluarganya, bahkan mungkin tidak akan pernah lagi mengingat kondisi keluarganya yang semakin tidak baik setiap harinya.

“Janji putih aja deh lagi kayak biasanya, dari pada debat mulu gak nemu-nemu.” Usul Hagan yang memotong perdebatan kedua orang tuanya yang masih memperdebatkan antara genre dangdut ataukah genre pop yang akan mereka bawakan malam ini.

Kedua orang tua itupun mengalah dan mengambil keputusan. Judul lagu sesuai saran Hagan yang menjadi pilihan mereka.

Hagan sempat mendengus karena untuk apa sebenarnya perdebatan panjang tadi kalau akhirnya lagu yang mereka pilih adalah lagu yang sudah sering keduanya mainkan.

Petikan gitar dari Om Amar masuk sebagai intro, di sebelahnya Bunda Linda sedang mengambil ancang-ancang untuk masuk bernyanyi.

Richi mengetahui kalau Keluarga Hagan memang menyukai musik, Hagan adalah buktinya, laki-laki itu pandai bernyanyi, memainkan gitar, hingga bermain piano.

Bunda janji bunda jaga Ayah untuk selamanya Bunda janji akan setia Hanya untuk satu cinta

Satu bait pertama lantunan suara Bunda Linda sudah mampu membuat Hagan menjerit salah tingkah, Bunda Linda menghayati lirik lagunya dengan merangkul suaminya dan bernyanyi sambil tak luput untuk saling memandang.

Hagan dan Richi sudah saling tersipu satu sama lain meski hanya duduk sebagai penonton menyaksikan pasangan yang sudah menikah lebih dari dua puluh tahun itu saling beradu cinta.

Hagan bahkan sudah menyembunyikan senyumannya di balik punggung Richi, entah ia senyum karena ikut tersipu ataukah karena malu melihat dua sejoli di hadapannya itu.

Ini cinta yang bunda punya Dari relung hati jiwa Cuma par ayah sajalah Cinta ini abadi selamanya

Bunda Linda menyelesaikan lirik lagunya dengan baik, Hagan dan Richi bertepuk tangan bersamaan, bedanya mata Richi malah berkaca-kaca tampak terharu melihat kebersamaan keluarga ini dan bagaimana kompaknya kedua orang tua Hagan saling menyayangi. Penuh cinta dan kasih sayang.

“Ih Richi kenapa sedih?” Bunda Linda menyadari mata Richi yang semakin tampak berkaca.

Pada dasarnya buliran bening dari mata itu sudah ia tahan mati-matian untuk tidak jatuh tetapi teguran dari Bunda Linda langsung meloloskan dua bulir bening itu dari mata cantiknya. Richi langsung menutup matanya dengan kedua tangan. Bibirnya masih tersenyum.

“Aduh nangis nih anak orang, Nda.” Hagan mendekat dan meraih pundak Richi dengan tangan kanannya, sementara tangannya satu lagi sudah ia naikkan ke bagian atas kepala Richi dan mengusapnya pelan di sana seperti mendiamkan bayi yang tengah menangis.

“Gak apa-apa kok, Bun. Terharu aja.” Kata Gadis itu yang masih mempertahankan senyumnya, ia meraih beberapa lembar tisu yang sudah diambilkan oleh Hagan dan langsung mengusapkannya di bagian mata.

“Keren banget Om sama Bunda, saling sayang satu sama lain yang masih gak pudar sampai sekarang. Richi cuman ngerasa cemburu karena gak bisa liat pemandangan kayak Om dan Bunda setiap harinya.” Lanjut Richi.

Bunda Linda tersenyum simpul, ”nak, semua pasangan pasti pernah saling menyayangi, tapi memang gak semua orang bisa bertahan. Dan Richi harus tahu, ada hubungan yang memang gak bisa dipaksa untuk selalu sama-sama, Richi udah hebat sampai sekarang. Hubungan orang tua boleh hancur, tapi Richi jangan sampai hancur. Bagaimanapun keadaan sekarang pasti terjadi bukan tanpa alasan, mungkin sekarang Richi gak bisa lihat keharmonisan keluarga setiap hari, tapi Richi bisa berjanji untuk diri sendiri kalau udah jadi orang tua nanti jangan jadikan anak kamu merasakan hal yang sama, ya?”Kata Bunda Linda dengan sangat lembut dan cukup menancap di benak Richi.

Alih-alih langsung berterimakasih, Richi malah kembali tertunduk untuk menyembunyikan air matanya. Sungguh Richi ingin memarahi dirinya saat ini karena menjadi secengeng ini.

“Aduh-aduh mellow banget sih, Chi.” Hagan menarik Richi dan merangkulnya, adegan menepuk-nepuk kepala kembali ia peragakan.

Sementara kedua orang tua di hadapannya masih tersenyum simpul membiarkan Richi menuangkan emosinya.

“Makasih ya Bunda, makasih ya Om.” Kata gadis itu lirih. Masih sibuk menyembunyikan air matanya.

“Iya iya, sama-sama.” Bukan Bunda Linda yang menjawab, bukan juga Om Amar. Tapi Hagan yang bahkan tidak disebutkan namanya diucapan terimakasih Richi sebelumnya.


note:

scene nyanyi janji putih ib by @Rima_widiana on tiktok

GW BENER BENER BAYANGIN AYAH BUNDANYA HAGAN TUH BEGITU

Gerimis kecil sore itu mengantar Richi sampai di depan rumah dua tingkat berhalaman besar itu, setelah sampai tepat di depan pintu masuk, Richi mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan pesan di sana.

Ia sebenarnya bisa saja memencet bel, tapi entah kenapa sudah menjadi kebiasaan menghubungi lewat chat daripada memencet bel rumah itu secara langsung.

Hanya beberapa menit hingga sang pemilik rumah keluar, pemuda dengan kaos oblong berwarna hitam dan jeans selutut berwarna senada.

Hagan masih diam tak berekspresi , dipandanginya Richi yang tampak sedikit berantakan dengan cardigan yang ia ikat asal di perutnya hingga cepolan rambut yang sudah mengeluarkan beberpa anak rambut di pinggir telinganya.

“Siapa nih namu kok senja-senja gini.” Celetuk pemuda itu sambil berpura-pura melihat jam di tangan kirinya walau sebenarnya sudah tau jika jarum jam sudah menunjukkan pukul 6 sore.

“Yaudah gue balik aja lah, titip salam aja sama ayah bunda lo.” Gadis itu berbalik mengambil ancang-ancang seakan ingin benar-benar pergi.

Hagan terkekeh pelan, ditariknya tangan kiri Richi yang membuat cewek itu kembali menghadapnya.

“Ngambekan banget, bu. Dah buruan cepet masuk, pamali senja gini masih di luar.”

Keduanya jalan beriringan memasuki rumah Hagan, rumah bernuansa monokrom itu tampak tenang karena hanya dihuni tiga orang di dalamnya, tapi tetap tak luput dari nuansa kekeluargaan melihat banyaknya foto keluarga tak lupa potret-potret Hagan semasa kecil yang terpampang dari ruang tamu hingga ruang tengah.

“Wah halo ini Richi ya? Udah lama banget gak ketemu.” Sapaan pertama untuk Richi yang datang dari Om Amar, Ayahnya Hagan. Laki-laki paruh baya itu sedang duduk di ruang tengah menikmati secangkir kopi sambil menonton acara hiburan dari televisi.

Richi tersenyum lalu sedikit membungkukkan badan memberi salam kepada Om Amar, “Iya Om, maaf ya Om datangnya sore banget.” Jawab Richi.

“Iya gak apa-apa, masih sempat ikut makan malam, kok.” Ucap Om Amar dengan senyum ramahnya, wajahnya benar-benar jiplakan Hagan.

Richi tersenyum menanggapi, detik selanjutnya ia menoleh melihat wanita yang baru saja datang dari dapur dengan ekspresi antusiasnya.

“Nih, Nda, anak perempuannya datang.” Sindir Hagan yang langsung dihadiahi tatapan sinis oleh Bundanya, sedangkan sang Anak hanya tersenyum tak bersalah sambil mendudukkan diri di salah satu bagian sofa.

Bunda Linda datang memeluk Richi dengan antusias, seperti biasanya, Bunda Linda yang selalu welcome dan ceria, karakter Bunda Linda ini yang sebagian diwariskan kepada Hagan.

“Ini ya Bun hadiah anniversary buat Om sama Bunda dari Richi maaf gak sempet prepare karena tadi buru-buru.” Richi memberikan satu goodiebag berwarna emas ke Bunda Linda.

“Yaampun, Nak. Kok repot-repot, gak dibeliin juga gak apa-apa.” Kata Bunda Linda yang mau tak mau harus menerima bingkisan tersebut.

“Gak apa-apa, Bun. Gak seberapa ini mah kalau dibandingin sama baiknya Bunda ke Richi.” Bunda Linda sudah memeluk Richi dengan penuh rasa sayang, benar-benar seperti anak sendiri.

“Udah sini langsung buka aja, Nda. Mau liat nih.” Ucap Hagan memotong adegan peluk-pelukan itu.

Bunda Linda pun menurut dan duduk di sofa diikuti oleh Richi yang duduk tepat di sebelah Hagan. Bunda Linda mulai membuka goodiebag itu, Om Amar di sebelahnya ikut penasaran.

Bunda Linda mengeluarkan dua kotak hitam dari dalamnya, wanita itu membukanya satu persatu dengan antusias hingga menampilkan dua buah jam tangan dengan bentuk yang sama namun berbeda ukuran.

“Wah dikasih jam tangan, Yah. Bagus banget ini.” Bunda Linda memberikan satu jam tangan kepada Om Amar dan jam tangan satu lagi langsung dipakai di pergelangan tangan kirinya, tentu masih dengan wajah yang sumringah.

“Waduh keren banget, makasih Nak Richi. Semoga lancar terus rezekinya ya.” Kali ini Om Amar yang berterimakasih, Jam yang diberikan juga sudah melingkar indah dengan pergelangan tangannya.

“Sama-sama, Om. Bahagia selalu buat Bunda sama Om ya, semoga tetap harmonis dan selalu sehat.”

“Aamiin.”

Sementara kedua orang tuanya tengah senyum bahagia saling memandangi pergelangan tangan masing-masing, Hagan dengan usilnya menyenggol lengan Richi sambil menggodanya yang tanpa basa-basi langsung dibalas cubitan diam-diam di lengan Hagan. Hagan bukanlah Hagan jika tidak tertawa tengil.

Hagan mengambil salah satu bantal sofa berukuran persegi, disimpannya bantal tersebut tepat di atas kedua paha Richi yang cukup terekspose karena memang hanya menggunakan hotpants yang sama dengan yang ia gunakan dari pantai tadi.

“Gak dingin apa.” Bisik Hagan, Richi tak menjawab apa-apa.

“Udah ayok kita potong kue yok, kuenya belom sempet dipotong tuh tadi Hagan minta nungguin Richi datang katanya.” Kata Bunda Linda yang kini sudah beranjak dari duduknya.

Richi yang mendengarkan ucapan Bunda Linda lantas menoleh meminta penjelasan maksud kepada si pemuda, tapi Hagan dengan tidak tahu dirinya malah memalingkan wajah dan berpura-pura fokus dengan layar ponselnya.

Seperti halnya hobi kota-kota besar di jam-jam produktif pagi hari, macet tidak dapat terelakkan. Jam sudah menunjukkan pukul 9.15 dan kedua manusia yang ada di dalam mobil jazz itu masih harus bergelut dengan macetnya jalanan, belum lagi lampu merah yang seakan memperkeruh suasana, entah kenapa lampu merah di saat terburu-buru terasa jauh lebih lama.

Richi berdecak kesal saat kendaraan di belakangnya membunyikan klakson tepat setelah lampu di depan sana berganti menjadi hijau. “Sabar kek elah, yang buru-buru gak cuman lo doang.” Omel gadis itu sambil sekilas melirik oknum tidak sabaran di belakangnya itu melalui kaca spion.

Sementara Hagan di sebelahnya tampak santai sambil memakan oreo mcflurry yang ia dapat melalui antre drive thru selama 10 menit tadi. Perkataannya yang ingin mentraktir Richi ice cream hanya alasan belaka, melihat dirinya yang malah menikmati satu gelas ice cream oreo itu, sementara punya Richi masih belum tersentuh sama sekali.

“Santai aja, Chi.” Celetuk pemuda itu.

Richi menoleh sebal, “Lo sih pake minta mampir McD.” Kata cewek itu dengan nada kesal, matanya kembali fokus menatap jalanan di depannya sesekali panik melirik jam di pergelangan tangan kirinya.

“Dih, terima kasih kek, itu gue traktir.” Jawab Hagan tak mau kalah.

“Kalau gini ya mana sempat gue makan sih.” Kata cewek itu lagi.

Hagan mengeluarkan satu bungkus berisi cup ice cream yang masih utuh, dibukanya tutup cup itu lalu diambilnya satu sendok. Detik selanjutnya diangkatnya satu suapan itu ke Richi.

“Cepetan, dari pada gak dimakan sama sekali kan.” Ucap Hagan, mulutnya ia buka mengisyaratkan gadis di hadapannya itu untuk ikut membuka mulut dan menerima suapannya.

Richi yang terdesak tak tahu harus merespon apa selain menerima suapan ice cream oreo itu. Gadis itu diam dan kembali fokus menatap jalanan di depannya yang mulai senggang.

“Lagian kenapa sih buru-buru amat, pak sultan mah datangnya ngaret Chi.” Pemuda itu kembali bersandar dan melanjutkan suapan ice cream untuk dirinya, seperti tak ada beban sama sekali.

“Heh, minggu ini udah masuk jadwalnya Bu Dina!” Jawab Richi geram.

Mata Hagan melotot sempurna mendengar nama dosen killer yang rajinnya sebelas duabelas dengan guru matematikanya semasa sekolah itu. Hagan langsung meletakkan asal cup ice cream-nya dan segera membuka ponsel untuk melihat jadwal kuliah.

“Lah udah waktunya Bu Dina ya, anjir. Chi buruan Chi!” Seperti tersambar, pemuda itu langsung panik sendiri.

“Ya menurut lo ini gue dari tadi ngapain!”

Richi menaikkan laju mobilnya setelah jalanan di depannya lenggang, kedua manusia itu sama-sama tegang tak lepas dari jarum jam yang rasanya semakin cepat bergerak dari biasanya.

—————

Richi berhasil memarkirkan mobilnya dengan sempurna, ia sampai 5 menit sebelum kelas dimulai. Hagan keluar lebih dulu, diikuti Richi yang tergesa-gesa memasukkan kunci mobil ke dalam tasnya.

Keduanya sudah siap berlari sebelum tidak sengaja Richi berpapasan dengan Aksa yang juga baru keluar dari mobilnya, bersama seorang gadis yang juga mengekorinya.

Aksa tersenyum, Richi diam mematung. Cewek itu melirik gadis cantik di sebelah Aksa yang sudah meraih lengan kanan si lelaki.

“Eh iya hai kak.” Sapa Richi sambil berusaha tersenyum meski terasa canggung. Ini kali pertama ia bertatapan langsung dengan Maudy-pacar Aksa-yang masuk jajaran bidadari Fisip yang terkenal cantik dan populer.

“Oh bareng Hagan ya.” Aksa melirik Hagan yang masih diam menyaksikan adegan temu mantan di hadapannya itu.

“Halo, gue Maudy.” Gadis berambut panjang itu mengulurkan tangannya dengan tatapan sedikit mengintimidasi, sementara Aksa tampak kaget melihat pacarnya itu tiba-tiba memperkenalkan diri.

Richi diam beberapa detik, ia tersenyum canggung lalu mengulurkan tangan kanannya.

Namun adegan bersalaman itu terhambat saat Hagan tiba-tiba menarik tangan kiri Richi.

“Namanya Richi. Udah ya kita duluan bang, urgent nih bentar lagi kelas.” Detik selanjutnya cowok itu sudah menarik tangan Richi dan berlalu begitu saja meninggalkan Aksa juga Maudy yang masih diam mematung.

Puluhan orang sudah mengisi auditorium kampus pagi itu, perlombaan debat sudah dimulai satu jam yang lalu. Bak ruang sidang yang menegangkan, rasanya perlombaan debat memang selalu seperti itu.

Beradu argumen yang sebenarnya tidak ada yang murni benar dan salah, tapi kecerdasan berpikir cekatan dan berbicara yang tepat jadi poin utama.

Bukan hal baru bagi Richi berada di posisi ini, sejak SMA dia sudah sering berkompetisi baik keilmiahan maupun non keilmiahan. Debat hanyalah satu dari sekian banyak hal yang ia minati. Bahkan gadis itu pernah dijuluki the most valuable student di sekolahnya dulu.

Bertahun-tahun menutup diri dan menjadi pribadi yang berbeda tentu bukan hal yang mudah bagi Richi untuk berdiri lagi di tempatnya saat ini.

Dalam beberapat menit, ia sudah menjadi pusat perhatian. Berada di tengah-tengah auditorium dan dipandang beberapa dosen dan civitas akademik, tidak lupa jejeran mahasiswa dari beberapa jurusan dan program studi yang juga turut menyaksikan.

Dewan ini percaya bahwa politik reaksioner berupa sikap pemuda yang selalu mempertanyakan dan banyak menuntut sikap pemerintah akan membuat Negara Indonesia semakin cepat berkembang.

Begitu mosi perdebatan yang Richi, Citra, dan Rangga dapatkan. Ketiganya melakukan case building selama 15 menit untuk mempersiapkan diri.

“Pembicara pertama dari program studi ilmu komunikasi apakah sudah siap?”

Richi tersenyum tipis, ia meraih microphone menandakan kesiapannya. Dipandanginya audience dengan percaya diri, sekilas menatap kumpulan teman-teman satu prodinya yang tampak lebih gugup dari dirinya.

Suara tegas Richi menggema seiring dimulainya timer di layar, gadis itu berbicara lantang dan rapi, pemaparannya jelas ditambah data dan fakta dari berbagai sumber yang seakan sudah melekat di kepalanya.

Seluruh mata tertuju pada gadis itu hingga waktu 7 menit tidak terasa apa-apa dan menyisakan satu menit terakhir, rekan timnya yang masih duduk di belakangnya dibuat diam, ekspresi yang awalnya cemas berubah menjadi terkejut bukan main, ekspektasi mereka kepada Richi tidak sebesar itu, tetapi gadis itu berhasil melampauinya.

“Oleh karena itu dari penjelasan ini saja dewan juri yang terhormat, sudah dapat terlihat bahwa di atas kertas kemenangan bisa menjadi milik pihak oposisi, terima kasih.”

Richi menyelesaikan closing steatment-nya dengan sempurna, detik berikutnya riuh tepuk tangan mengiringi senyuman gadis itu, tribun kanan yang menjadi milik teman-teman satu kelasnya mendadak riuh sorak-sorai tepuk tangan, sementara Richi bersusah payah menahan tawanya melihat Hagan memimpin dengan acungan jempol dengan wajah yang sudah tidak terkontrol.

Sudah ia bilang kalau dia bukan tanding bola jadi tidak perlu rusuh, tapi tetap saja, Hagan tetaplah Hagan.

Waktu ishoma sudah tiba, pertandingan akan dilanjutkan ke babak final dimana ada 6 tim yang berhasil masuk dan salah satunya adalah tim Richi. Gadis itu berjalan menaiki tribun bagian atas yang sudah sepi karena penghuninya sudah melipir beristirahat di luar, begitu juga dengan teman-teman sekelas Richi, sekarang auditorium itu hanya diisi sebagian panitia dan beberapa peserta yang sedang menyantap makan siangnya walau sudah lewat satu jam sejak waktu makan siang, sebab perlombaan selesai lebih lambat dari yang seharusnya.

Richi meneguk air mineral botol dengan tangannya sebelum tersedak tiba-tiba saat entah dari mana Hagan sudah muncul dan duduk menyambar di sebelahnya.

Uhuk-“ Richi menutup mulutnya, tersedak air menembus hidung sungguh termasuk salah satu kejadian yang menyebalkan.

“Lah kok kaget banget Chi, padahal gue gak niat ngagetin.” Kata cowok itu seperti tak bersalah.

“Lo bisa nyapa dulu gak sih, ngagetin banget gak ada suara apa-apa langsung muncul gitu.” Omel Richi, sudut matanya sudah menampilkan hawa peperangan.

“Iya iya maaf bu, salah lagi deh gue gak apa-apa.” Hagan memilih mengalah.

Pemuda itu menyodorkan satu gelas minuman dingin yang sukses membuat Richi melongo.

Okky jelly drink?” Tanya Richi memastikan meski sudah jelas-jelas mengetahui dari label produk itu.

Hagan mengangguk, “lo lagi gak bisa makan siang kan, nah ini minuman bisa bikin kenyang,” cowok itu masih setia menyodorkan minuman rasa jeruk itu ke depan Richi yang sama sekali belum disentuh oleh cewek itu.

Richi diam beberapa detik, kebiasaannya yang tidak bisa makan saat sedang gugup masih melekat di ingatan Hagan. Sudah menjadi kebiasaan Richi yang tidak akan pernah mengonsumsi apapun kecuali air mineral saat ia akan ujian, lomba, atau dalam kondisi apapun yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat atau perasaannya tidak tenang.

“Kok cuman dua?” Tanya Richi lagi.

“Satunya buat gue, lo minum satu aja kalau kebanyakan nanti batuk-batuk, kan gak lucu nanti lo lagi debat tiba-tiba uhuk uhuk.” Jawab Hagan sambil memperagakan gaya batuk-batuk yang langsung ditimpali cibiran dari Richi.

“Gue mau yang rasa jambu.” Kata Richi sambil memandang minuman yang sama dengan warna yang berbeda di tangan kiri Hagan.

“Yaudah, tukeran.” Hagan menarik tangan kanannya dan balik menyodorkan tangan kirinya yang memegang minuman warna merah muda itu dan langsung disambar begitu saja oleh Richi.

Richi masih berjalan mondar-mandir di teras rumahnya, menunggu Hagan yang sudah mengatakan otw sejak 20 menit yang lalu. Jam di tangan kanannya menunjukkan pukul 9.20 malam. Entah kemana tujuan Hagan malam ini, Richi tidak begitu peduli.

Suasana hati gadis itu sedang tidak baik, ia setuju diajak jalan-jalan malam oleh Hagan setelah memastikan Rika sang adik sudah tidur nyenyak di kamarnya.

Rika, gadis manis berusia 17 tahun itu, mentalnya tidak sekuat Richi. Melihat kedua orang tuanya berada di rumah selalu membawa kekhawatiran besar bagi Rika karena 2 tahun belakangan terlalu sering melihat orang tuanya bertengkar.

Richi sebagai kakak, mau tidak mau harus lebih memperhatikan Rika. Beberapa kali ia coba berbicara dengan orang tuanya, tapi seperti orang tua kebanyakan, mama dan papanya tidak aware dengan kesehatan mental yang dialami Rika karena melihat Rika yang tampak baik-baik saja dari luar.

Mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depan pagar rumah Richi, tanpa perlu menebak, Richi sudah berlari menghampiri Hagan yang sedang membuka kaca mobilnya sambil melambaikan tangan.

“Tadi aja nolak, taunya udah nungguin di depan, gengsi lo ya kalau langsung ngeiyain ajakan gue.” Kalimat cibiran dari Hagan menjadi sambutan pertama yang Richi terima setelah memasuki mobil pemuda itu.

“Iyain aja deh.” Jawab Richi malas, ia tidak ada tenaga meladeni ocehan Hagan saat ini.

Hagan melajukan mobilnya, tidak lupa menaikkan volume musik dari audio mobil untuk mengisi keheningan, karena ia tau betul Richi sedang tidak dalam mood untuk ngobrol.

Tidak ada pertanyaan dari Richi mengenai kemana tujuan mereka malam ini, keduanya memang seperti ini, Richi sama sekali tidak pernah mempermasalahkan kemana Hagan akan membawanya pergi,ditambah Hagan bak tour guide yang tidak pernah jalan tanpa tujuan, pemuda itu selalu mempunyai tujuannya sendiri, tempat apa yang akan ia datangi, tempat makan apa yang ingin dikunjungi, serta menu apa yang akan dipesan.

Anehnya, Richi tidak pernah kecewa dengan segala pilihan Hagan, pada dasarnya mereka memang memiliki selera yang sama, mulai dari tempat berkunjung, makanan yang disukai, hobi, hingga hal kecil seperti selera musik yang sama. Contohnya saat ini, keduanya sedang larut dalam alunan lagu Written in the Stars yang sedang berputar memenuhi seisi mobil.

Tiga puluh menit waktu berlalu hingga kini mobil Hagan mulai berjalan pelan memasuki area lapangan parkir, Richi menelusuri sekitarnya, mengernyit dan menatap bingung Hagan yang masih sibuk menyesuaikan posisi mobil agar masuk dengan rapi di barisan parkiran.

“Tempat apaan sih, Gan. Gelap banget, lo jangan aneh-aneh.” Kata Richi tepat setelah Hagan mematikan mesin mobilnya.

“Dih, apaan. Lo kali yang aneh, liat coba baik-baik ada berapa banyak mobil disini, menurut lo itu mobil datang sendiri kesini apa gimana?” Jawab Hagan tak kalah nyolot, kini ia sudah keluar dari mobil, diikuti Richi yang masih terus mengobservasi tempat itu dengan matanya.

“Ya terus ini yang didatengin tempat apa?” Tanya Richi, ia sudah mendekat membuntuti Hagan yang jalan lebih dulu.

Hagan mengangkat jari telunjuknya, menunjuk tempat yang dimaksud. Richi mengikuti arah telunjuk Hagan, dari jauh ia dapat melihat bukit yang dipenuhi gemerlap lampu taman dengan beberapa orang berlalu-lalang.

Hagan menarik tangan Richi, membuat gadis itu mau tidak mau mengikuti langkah Hagan, “cepetan, banyak nyamuk.” Lanjut cowok itu.

“Kok gue gak tau ada tempat gini, biasanya tempat gini tuh pasti rame terus viral.” Kata Richi, gadis itu masih membiarkan Hagan menarik tangannya.

“Karena ini,” Hagan menunjuk ratusan anak tangga yang membentang di sisi bukit. “Butuh effort buat sampe di atas, orang-orang keburu males mau naik.” Lanjutnya.

“Pelan-pelan.” Hagan berjalan menaiki tangga lebih dulu, Richi di belakang mengikuti dengan tangan kirinya tak lepas dari pegangan Hagan.

Satu demi satu anak tangga itu mereka lalui, hingga anak tangga terakhir dan mereka sudah sampai di puncak bukit itu. Richi tertegun, melihat bukit ini diatur sedemikian rupa, tampak cantik dan rapi. Mata gadis itu menangkap satu kios bertuliskan seafood bakar.

“Lo duduk situ, nanti keburu diambil orang bangkunya.” Richi mengikuti perintah Hagan dan berjalan menuju bangku yang Hagan maksud. Sementara si pemuda pergi ke arah kios seafood bakar.

Richi tersenyum melihat pemandangan yang ia saksikan dari tempatnya duduk saat ini, dari atas ia dapat melihat aktivitas dan hiruk-pikuk perkotaan yang masih tampak sibuk di jam 10 malam. Rasanya tenang dan takjub dalam satu waktu, seorang anak rumahan sepertinya tentu tidak punya banyak kesempatan menikmati hal-hal seperti ini, beryukur ia punya Hagan yang mempunyai skill setara dengan tour guide yang selalu menunjukkan tempat-tempat baru untuk Richi.

Tak lama, Hagan datang sambil membawa satu bungkus seafood bakar dengan berbagai macam jenis di dalamnya, pemuda itu ikut duduk di sebelah Richi.

“Nih, gak beli banyak, mahal.” Kata Hagan, dibukanya bungkusan makanan itu dan mengambil satu tusuk crabstick dan satu tusuk lobsterball untuk Richi.

“Ya kayak kata lo tadi, penjualnya juga butuh effort naik kesini, kita bayar effortnya dia.” Richi sudah melahap crabstick miliknya, gadis itu kembali menatap pemandangan yang disuguhkan dari tempatnya, seperti tak ingin kehilangan momen sedikitpun.

“Coba lo hitung ada berapa rumah yang kelihatan.” Celetuk Hagan tiba-tiba, ia ikut memandangi pemandangan kota dari tempatnya duduk saat ini.

“Ngaco.” Jawab Richi.

“Yang paling gampang dah, hitung berapa banyak gedung yang lo liat.” Lanjut Hagan.

“Ya banyak, segabut-gabutnya gue juga gak minat buat ngitungin, sih.”

Hagan tertawa singkat, digigitnya suapan terakhir crabstick miliknya.

“Yang kelihatan dari sini itu cuman sebagian kecil dari kota ini, belum satu kota, satu provinsi, apalagi satu negara. Kalau sebagian kecil dari kota ini aja udah segede ini, bisa bayangin kan ada berapa banyak tempat-tempat indah yang bisa kita datengin?” Hagan melirik Richi yang masih diam tenggelam dalam pikirannya, “Dunia ini terlalu besar untuk kita abaikan dengan terus-terusan nutup diri dan diam di satu ruangan, chi.” Lanjut pemuda itu lagi.

Richi diam tak menjawab, rasanya dunianya sudah nyaman seperti ini sejak beberapa tahun belakangan, semuanya berubah selain omelan dan celotehan Hagan.

“Seberapa kuat apapun lo menurup diri, gue bakal buat lo kembali ke diri lo yang sebenarnya, i miss the old Richi.” Lanjut Hagan, pemuda itu tersenyum simpul masih memandang gemerlap lampu kota dari atas bukit itu.

Richi masih terus mondar-mandir tak berhenti di teras rumahnya, menunggu Hagan yang sudah mengatakan otw sejak 20 menit yang lalu. Jam di tangan kanannya sudah menunjukkan pukul 9.20 malam. Entah kemana tujuan Hagan malam ini, Richi tidak begitu peduli.

Suasana hati gadis itu sedang tidak baik, ia setuju diajak jalan-jalan malam oleh Hagan setelah memastikan Rika sang adik sudah tidur nyenyak di kamarnya.

Rika, gadis manis berusia 17 tahun itu, mentalnya tidak sekuat Richi. Melihat kedua orang tuanya berada di rumah membawa kekhawatiran besar bagi Rika karena 2 tahun belakangan terlalu sering melihat orang tuanya bertengkar.

Richi sebagai kakak, mau tidak mau harus lebih memperhatikan Rika. Beberapa kali ia coba berbicara dengan orang tuanya, tapi seperti orang tua kebanyakan, mama dan papanya tidak aware dengan kesehatan mental yang dialami Rika karena melihat Rika yang tampak baik-baik saja dari luar.

Mobil sedan hitam berhenti tepat di depan pagar rumah Richi, tanpa perlu menebak, Richi sudah berlari menghampiri Hagan yang sudah membuka kaca mobilnya sambil melambaikan tangan.

Hagan menurunkan standar motornya setelah berhenti di depan rumah bernuansa putih yang tampak sangat dingin. Pemuda itu membawa 2 kantong makanan dan minuman di tangan kanannya dan melangkah menuju pintu masuk.

Baru ingin memencet bel tapi ia kembali menarik tangannya dan segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi si pemilik rumah. Takut bel rumahnya masih dimute dan tenaganya memencet bel jadi sia-sia.

“Bukain pintu.”

“Pencet bel aja, ada rika di bawah, gue lagi di kamar mandi.” Jawab gadis di seberang sana.

“Kata lo belnya dimute?” Tanya Hagan.

“Siapa yang mute sih emang, percaya aja lo.”

Hagan menghela napas, menyesal karena dia benar-benar percaya kalau bel rumah ini dimute.

“Sia-sia gue nelpon ngabisin paketan aja.” Jawab Hagan dan segera mematikan sambungan telpon itu.

Dua kali ia memencet bel, hingga sang pemilik rumah membuka pintunya.

Gadis berambut panjang itu menyambutnya dengan senyuman, “Halo kak hagan.” Sapanya.

Namanya Rika, adik perempuan Richi yang usianya 3 tahun lebih muda.

“Hai, Rik.” Jawab Hagan sambil melangkahkan kakinya masuk menuju ruang tengah.

“Si Richi mana?” Tanya Hagan, kini sang pemuda sudah duduk merebahkan dirinya di sofa lebar depan televisi, diletakkannya belanjaannya di atas meja.

“Masih mandi kayaknya.” Jawab Rika, tangannya mulai menelusuri kantong berisi makanan yang Hagan bawa tadi, “Banyak bener kak.” Sambungnya.

“Kakak lo nitip tapi gak ngomong mau berapa yaudah sekalian banyak aja.” Kata Hagan santai, pemuda itu sudah menyandarkan tubuhnya, melepas lelah karena dari pagi tadi cukup sibuk dengan agenda kuliah dan organisasi.

“Aku ambilin piring ya, Kak.” Pamit Rika yang dibalas anggukan pelan dari Hagan.

Dari atas tangga, hagan dapat melihat perempuan berambut pendek sebahu dengan outfit santai bercelana pendek dan kaos oblong polos menuruni satu demi satu anak tangga. Tangan sebelah kanannya membawa dua tumpuk buku dan tangan kirinya memegang laptop.

“Lemes bener, Gan.” Kalimat pertama yang keluar dari bibir Richi saat melihat Hagan yang bersandar seakan tak berdaya di sofa.

“Kepanitiaan lagi padet, capek banget, Chi.” Katanya mengeluh.

Richi meletakkan laptop dan buku-bukunya di atas meja dan duduk tepat di sebelah Hagan yang masih memejamkan mata seperti memberitahu bahwa ia benar-benar lelah.

“Lo bantu buat pendahuluan sama penutup aja, kasarannya kan udah ada gue kirimin semalam, bawa laptop kan?” Richi menoleh memperhatikan Hagan, si lelaki mengangguk pelan sambil merenggangkan kedua tangannya.

Hagan bergerak mengikuti Richi yang duduk di bawah tepat di depan sofa, pemuda itu turut mengeluarkan laptop dan membukanya meski raganya sedikit malas, tapi Hagan harus bersyukur, karena mau semalas apapun Hagan mengerjakan, selama bersama Richi, ia masih bisa memastikan tugas ini akan aman dan tetap selesai.

Tiga puluh menit berlalu, Richi yang tetap fokus mengetik dan memperhatikan layar laptopnya, sedangkan Hagan yang bolak balik menggigit es batu setiap selesai mengerjakan satu paragraf. Keduanya hampir selesai berkat kerajinan Richi yang sudah mencari jurnal dan membuat skema di malam sebelumnya.

“Chi, gue udah sakit pinggang.” Keluh Hagan, ia menyandarkan punggungnya di sofa dan meluruskan kedua kakinya di bawah meja.

Richi mengabaikan, masih terus melanjutkan tarian jemarinya di atas keyboard agar pekerjaannya segera selesai, tak boleh menunda sebab ia ingin segera bermalas-malasan tanpa beban.

Fokus Richi terhenti saat hempasan pintu terdengar dan membuat tubuhnya reflek bergerak kaget, Richi menoleh begitupun dengan Hagan yang bahkan hampir tersedak es batu.

“Aku juga baru pulang, gak cuman kamu yang capek, dan gak cuman kamu yang kerja di rumah ini.” Teriak wanita paruh baya itu dengan wajah memerah tanda sedang naik pitam.

“Tapi kamu gak pernah bisa hargain aku sebagai kepala keluarga, di mana sopan-santun kamu sebagai istri!!” Lelaki dewasa di belakangnya ikut membentak, dilemparnya tas dari tangannya, membuat Richi langsung menutup mata tak lagi ingin melihat.

Hagan yang tak tahu apa-apa dengan reflek merangkul Richi yang sudah tertunduk lesu di sampingnya, Rika sang adik keluar dari kamar dengan panik karena suara lantang kedua orang tuanya bergema di dalam rumah.

Rika berlari menghampiri Richi yang dsambut pelukan dari sang kakak membuat Hagan tahu diri dengan menarik tangannya dari bahu Richi agar perempuan itu bisa menenangkan adiknya yang sudah bergetar hebat melihat orang tuanya brtengkar.

“Gak apa-apa, Rik.” Bisik Richi dengan lirih, suaranya bergetar tapi raganya berusaha kuat.

Richi menatap kedua orang tuanya, sang ibu menyadari dan sempat beradu pandang seperkian detik dengan anak sulungnya itu.

“Liat itu papa kamu emang gak pernah bisa ngertiin mama.”

Richi tersenyum kecut, ia mengusap kasar wajahnya. Seharusnya bukan itu, tidak seharusnya orang tua mengadu kebukuran masing-masing pasangannya di depan sang anak. Meskipun tanpa diberitahu, sebagai anak yang sudah dewasa, mustahil ia tidak mengetahui apa-apa.

Pandangan Richi teralih, dilihatnya tangan kanannya yang digenggam erat, Hagan di sebelahnya menatap Richi seakan berkata “Kamu harus kuat.” Hagan semakin mempererat genggamannya saat menyadari Richi mulai berkaca-kaca.

“Gak apa-apa, Chi.” Bisik pemuda itu tepat di telinga Richi.

Fokus gadis berambut pendek sebahu itu sudah diambil alih oleh layar laptop di hadapannya yang menampilkan adegan manis dari tontonan yang sedang ia lihat, tubuh gadis itu bersandar di kepala ranjang dengan sebelah tangannya yang memegang mangkuk berisi snack rasa jagung. Lampu di kamarnya ia redupkan dan suhu kamarnya ia turunkan.

Bagi orang lain, hal ini adalah bentuk self reward. Tetapi bagi Richika, ini adalah self healing yang merujuk ke rutinitas. Ia tidak memiliki kegiatan lain untuk mengalihkan segala penat di tubuh dan pikirannya selain menyendiri setiap hari.

Pandangan Richi teralih saat ponselnya bergentar, ia sedikit merutuki diri karena lupa mengganti mode ponsel ke mode DND. Richi mengangkat ponselnya, melihat panggilan masuk dari satu nama yang ia rasa sudah dapat dikategorikan sebagai most interact di ponselnya. Hagan.

Richi menerima panggilan itu setelah menghela napas panjang, “ASTAGA GUE KIRA LO MATI, ANJIR.” Richi reflek menjauhkan ponselnya kaget mendapat teriakan dari pemuda di seberang sana.

“Apasih.” Jawab Richi ketus.

“Gue dari tadi mencet bel kenapa gak ada yang bukain.” Ungkap pemudia itu.

“Belnya gue mute.” Jawab Richi asal, ia mulai bergerak menurunkan kakinya bergegas keluar kamar karena paham jika Hagan masih menunggu di depan rumahnya.

“Emang bisa?” Tanya hagan.

“Ya bisa.” Jawab Richi lagi, kini ia sudah menuruni anak tangga menuju pintu depan.

“Yaudah bukain cepet, gue takut nih rumah lo hawanya serem.” Omel pemuda itu lagi.

Richi memutar knop pintunya yang langsung menampilkan penampakan pria berkaos hitam dilapisi jaket denim dengan goodie bag di tangan kanannya. Si lelaki langsung masuk begitu saja tanpa menyapa sama sekali. Richi menatap sinis si lelaki, ditutupnya kembali pintu utamanya dan berjalan menyusul Hagan yang sudah berjalan masuk ke dapur dan meletakkan goodie bag yang dibawanya ke meja makan.

“Lo bawa apa lagi?” Tanya Richi, ia membuka goodie bag itu dan melihat 2 kotak Tupperware transparan sehingga gadis itu dapat melihat isi di dalamnya.

“Cendol?” Tanya Richi memastikan.

Hagan mengangguk, pemudia itu sedang mengambil satu kaleng soda dari lemari pendingin. “Bunda gue yang buat tuh, rasanya gak jauh beda sama brown sugarnya chatime, gue jamin.” Candanya.

Richi diam tak habis pikir, mengantarkan satu kotak cendol di hampir jam 9 malam bukan satu-satunya karandoman yang pernah dilakukan pemuda di hadapannya ini. Dulu bahkan Hagan pernah membawakan adonan perkedel yang siap digoreng, ayam mentah yang sudah ditaburi adonan tepung, hingga hal sederhana seperti buah-buahan yang sudah dipotong-potong dan dipisahkan di dalam kotak yang berbeda.

Jika ditanya siapa yang berkontribusi besar dalam urusan lambungnya, ya dia adalah Hagan Amaru.

“Orang-orang pada kemana?” Tanya Hagan, kini pemuda itu sudah duduk manis di salah satu kursi meja makan sambil menyesap kaleng soda.

“Rika nginep rumah temannya.” Jawab Richi.

“Om? Tante? Gak pulang?” Lanjut Hagan.

Richi diam, memilih mengabaikan. Hagan yang paham hanya mengangguk pelan, tidak melanjutkan pertanyaan.

“Indomie enak nih.” Seru Hagan, lelaki itu berdiri dan menghampiri lemari dapur tempat persediaan indomie.

“Mau yang kuah apa yang goreng, Chi?” Tanya Hagan sembri menoleh menatap Richi.

“Kuah.” Jawab Richi singkat. Tanpa berpikir Hagan langsung mengambil dua bungkus mie rasa kari yang ia ketahui sebagai varian paling favorite perempuan itu.

Satu hal yang tidak pernah Richi pahami adalah ia yang tidak pernah bisa menolak apapun ajakan Hagan, karena sering bersama membuat Richi seakan mempercayai segalanya kepada Hagan. Richi tidak pernah meminta bantuan secara blak-blakan tapi Hagan seakan mengetahui segala yang Richi butuhkan. Tidak sedikit orang yang mempertanyakan hubungan keduanya, tapi baik Richi maupun Hagan tidak pernah sulit untuk menjawab, karena keduanya sadar hubungan ini hanya sebatas teman atau mungkin satu level di atasnya yaitu sahabat. Setidaknya untuk saat ini.