gift
Gerimis kecil sore itu mengantar Richi sampai di depan rumah dua tingkat berhalaman besar itu, setelah sampai tepat di depan pintu masuk, Richi mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan pesan di sana.
Ia sebenarnya bisa saja memencet bel, tapi entah kenapa sudah menjadi kebiasaan menghubungi lewat chat daripada memencet bel rumah itu secara langsung.
Hanya beberapa menit hingga sang pemilik rumah keluar, pemuda dengan kaos oblong berwarna hitam dan jeans selutut berwarna senada.
Hagan masih diam tak berekspresi , dipandanginya Richi yang tampak sedikit berantakan dengan cardigan yang ia ikat asal di perutnya hingga cepolan rambut yang sudah mengeluarkan beberpa anak rambut di pinggir telinganya.
“Siapa nih namu kok senja-senja gini.” Celetuk pemuda itu sambil berpura-pura melihat jam di tangan kirinya walau sebenarnya sudah tau jika jarum jam sudah menunjukkan pukul 6 sore.
“Yaudah gue balik aja lah, titip salam aja sama ayah bunda lo.” Gadis itu berbalik mengambil ancang-ancang seakan ingin benar-benar pergi.
Hagan terkekeh pelan, ditariknya tangan kiri Richi yang membuat cewek itu kembali menghadapnya.
“Ngambekan banget, bu. Dah buruan cepet masuk, pamali senja gini masih di luar.”
Keduanya jalan beriringan memasuki rumah Hagan, rumah bernuansa monokrom itu tampak tenang karena hanya dihuni tiga orang di dalamnya, tapi tetap tak luput dari nuansa kekeluargaan melihat banyaknya foto keluarga tak lupa potret-potret Hagan semasa kecil yang terpampang dari ruang tamu hingga ruang tengah.
“Wah halo ini Richi ya? Udah lama banget gak ketemu.” Sapaan pertama untuk Richi yang datang dari Om Amar, Ayahnya Hagan. Laki-laki paruh baya itu sedang duduk di ruang tengah menikmati secangkir kopi sambil menonton acara hiburan dari televisi.
Richi tersenyum lalu sedikit membungkukkan badan memberi salam kepada Om Amar, “Iya Om, maaf ya Om datangnya sore banget.” Jawab Richi.
“Iya gak apa-apa, masih sempat ikut makan malam, kok.” Ucap Om Amar dengan senyum ramahnya, wajahnya benar-benar jiplakan Hagan.
Richi tersenyum menanggapi, detik selanjutnya ia menoleh melihat wanita yang baru saja datang dari dapur dengan ekspresi antusiasnya.
“Nih, Nda, anak perempuannya datang.” Sindir Hagan yang langsung dihadiahi tatapan sinis oleh Bundanya, sedangkan sang Anak hanya tersenyum tak bersalah sambil mendudukkan diri di salah satu bagian sofa.
Bunda Linda datang memeluk Richi dengan antusias, seperti biasanya, Bunda Linda yang selalu welcome dan ceria, karakter Bunda Linda ini yang sebagian diwariskan kepada Hagan.
“Ini ya Bun hadiah anniversary buat Om sama Bunda dari Richi maaf gak sempet prepare karena tadi buru-buru.” Richi memberikan satu goodiebag berwarna emas ke Bunda Linda.
“Yaampun, Nak. Kok repot-repot, gak dibeliin juga gak apa-apa.” Kata Bunda Linda yang mau tak mau harus menerima bingkisan tersebut.
“Gak apa-apa, Bun. Gak seberapa ini mah kalau dibandingin sama baiknya Bunda ke Richi.” Bunda Linda sudah memeluk Richi dengan penuh rasa sayang, benar-benar seperti anak sendiri.
“Udah sini langsung buka aja, Nda. Mau liat nih.” Ucap Hagan memotong adegan peluk-pelukan itu.
Bunda Linda pun menurut dan duduk di sofa diikuti oleh Richi yang duduk tepat di sebelah Hagan. Bunda Linda mulai membuka goodiebag itu, Om Amar di sebelahnya ikut penasaran.
Bunda Linda mengeluarkan dua kotak hitam dari dalamnya, wanita itu membukanya satu persatu dengan antusias hingga menampilkan dua buah jam tangan dengan bentuk yang sama namun berbeda ukuran.
“Wah dikasih jam tangan, Yah. Bagus banget ini.” Bunda Linda memberikan satu jam tangan kepada Om Amar dan jam tangan satu lagi langsung dipakai di pergelangan tangan kirinya, tentu masih dengan wajah yang sumringah.
“Waduh keren banget, makasih Nak Richi. Semoga lancar terus rezekinya ya.” Kali ini Om Amar yang berterimakasih, Jam yang diberikan juga sudah melingkar indah dengan pergelangan tangannya.
“Sama-sama, Om. Bahagia selalu buat Bunda sama Om ya, semoga tetap harmonis dan selalu sehat.”
“Aamiin.”
Sementara kedua orang tuanya tengah senyum bahagia saling memandangi pergelangan tangan masing-masing, Hagan dengan usilnya menyenggol lengan Richi sambil menggodanya yang tanpa basa-basi langsung dibalas cubitan diam-diam di lengan Hagan. Hagan bukanlah Hagan jika tidak tertawa tengil.
Hagan mengambil salah satu bantal sofa berukuran persegi, disimpannya bantal tersebut tepat di atas kedua paha Richi yang cukup terekspose karena memang hanya menggunakan hotpants yang sama dengan yang ia gunakan dari pantai tadi.
“Gak dingin apa.” Bisik Hagan, Richi tak menjawab apa-apa.
“Udah ayok kita potong kue yok, kuenya belom sempet dipotong tuh tadi Hagan minta nungguin Richi datang katanya.” Kata Bunda Linda yang kini sudah beranjak dari duduknya.
Richi yang mendengarkan ucapan Bunda Linda lantas menoleh meminta penjelasan maksud kepada si pemuda, tapi Hagan dengan tidak tahu dirinya malah memalingkan wajah dan berpura-pura fokus dengan layar ponselnya.