gara gara McD

Seperti halnya hobi kota-kota besar di jam-jam produktif pagi hari, macet tidak dapat terelakkan. Jam sudah menunjukkan pukul 9.15 dan kedua manusia yang ada di dalam mobil jazz itu masih harus bergelut dengan macetnya jalanan, belum lagi lampu merah yang seakan memperkeruh suasana, entah kenapa lampu merah di saat terburu-buru terasa jauh lebih lama.

Richi berdecak kesal saat kendaraan di belakangnya membunyikan klakson tepat setelah lampu di depan sana berganti menjadi hijau. “Sabar kek elah, yang buru-buru gak cuman lo doang.” Omel gadis itu sambil sekilas melirik oknum tidak sabaran di belakangnya itu melalui kaca spion.

Sementara Hagan di sebelahnya tampak santai sambil memakan oreo mcflurry yang ia dapat melalui antre drive thru selama 10 menit tadi. Perkataannya yang ingin mentraktir Richi ice cream hanya alasan belaka, melihat dirinya yang malah menikmati satu gelas ice cream oreo itu, sementara punya Richi masih belum tersentuh sama sekali.

“Santai aja, Chi.” Celetuk pemuda itu.

Richi menoleh sebal, “Lo sih pake minta mampir McD.” Kata cewek itu dengan nada kesal, matanya kembali fokus menatap jalanan di depannya sesekali panik melirik jam di pergelangan tangan kirinya.

“Dih, terima kasih kek, itu gue traktir.” Jawab Hagan tak mau kalah.

“Kalau gini ya mana sempat gue makan sih.” Kata cewek itu lagi.

Hagan mengeluarkan satu bungkus berisi cup ice cream yang masih utuh, dibukanya tutup cup itu lalu diambilnya satu sendok. Detik selanjutnya diangkatnya satu suapan itu ke Richi.

“Cepetan, dari pada gak dimakan sama sekali kan.” Ucap Hagan, mulutnya ia buka mengisyaratkan gadis di hadapannya itu untuk ikut membuka mulut dan menerima suapannya.

Richi yang terdesak tak tahu harus merespon apa selain menerima suapan ice cream oreo itu. Gadis itu diam dan kembali fokus menatap jalanan di depannya yang mulai senggang.

“Lagian kenapa sih buru-buru amat, pak sultan mah datangnya ngaret Chi.” Pemuda itu kembali bersandar dan melanjutkan suapan ice cream untuk dirinya, seperti tak ada beban sama sekali.

“Heh, minggu ini udah masuk jadwalnya Bu Dina!” Jawab Richi geram.

Mata Hagan melotot sempurna mendengar nama dosen killer yang rajinnya sebelas duabelas dengan guru matematikanya semasa sekolah itu. Hagan langsung meletakkan asal cup ice cream-nya dan segera membuka ponsel untuk melihat jadwal kuliah.

“Lah udah waktunya Bu Dina ya, anjir. Chi buruan Chi!” Seperti tersambar, pemuda itu langsung panik sendiri.

“Ya menurut lo ini gue dari tadi ngapain!”

Richi menaikkan laju mobilnya setelah jalanan di depannya lenggang, kedua manusia itu sama-sama tegang tak lepas dari jarum jam yang rasanya semakin cepat bergerak dari biasanya.

—————

Richi berhasil memarkirkan mobilnya dengan sempurna, ia sampai 5 menit sebelum kelas dimulai. Hagan keluar lebih dulu, diikuti Richi yang tergesa-gesa memasukkan kunci mobil ke dalam tasnya.

Keduanya sudah siap berlari sebelum tidak sengaja Richi berpapasan dengan Aksa yang juga baru keluar dari mobilnya, bersama seorang gadis yang juga mengekorinya.

Aksa tersenyum, Richi diam mematung. Cewek itu melirik gadis cantik di sebelah Aksa yang sudah meraih lengan kanan si lelaki.

“Eh iya hai kak.” Sapa Richi sambil berusaha tersenyum meski terasa canggung. Ini kali pertama ia bertatapan langsung dengan Maudy-pacar Aksa-yang masuk jajaran bidadari Fisip yang terkenal cantik dan populer.

“Oh bareng Hagan ya.” Aksa melirik Hagan yang masih diam menyaksikan adegan temu mantan di hadapannya itu.

“Halo, gue Maudy.” Gadis berambut panjang itu mengulurkan tangannya dengan tatapan sedikit mengintimidasi, sementara Aksa tampak kaget melihat pacarnya itu tiba-tiba memperkenalkan diri.

Richi diam beberapa detik, ia tersenyum canggung lalu mengulurkan tangan kanannya.

Namun adegan bersalaman itu terhambat saat Hagan tiba-tiba menarik tangan kiri Richi.

“Namanya Richi. Udah ya kita duluan bang, urgent nih bentar lagi kelas.” Detik selanjutnya cowok itu sudah menarik tangan Richi dan berlalu begitu saja meninggalkan Aksa juga Maudy yang masih diam mematung.