Seratus Tujuh Puluh Empat – Im Looking at You
Nina berjalan menaiki anak tangga satu-persatu, menuju balkon lantai dua rumah berbentuk appartement milik Januar, ia tahu betul apa yang laki-laki itu lakukan di atas sana, balkon itu lebih tepat disebut smoking area.
Nina mendorong pelan pintu menuju balkon yang ukurannya 2x2 meter persegi, balkon itu terlihat aman karena dipagari dengan besi teralis tinggi di seluruh sisinya, walau begitu tetap terlihat menakutkan jika nekat bersandar di dinding pagar karena unit appartemen itu berada di lantai sembilan belas. Januar menoleh, sedang duduk di kursi stainless dengan gitar dipelukannya.
“Kamu suruh aku bawa selimut sedangkan kamu duduk disini cuman pakai celana training?” Kata Nina sedikit terbelalak saat bertemu pandang dengan Janu. Tubuh shirtless-nya masih tertutup oleh gitar coklat.
Nina melempar pelan selimut yang ia bawa, membiarkan Janu yang memakainya. Si lelaki hanya tersenyum menyeringai seperti tidak bersalah.
Dua puluh satu hari tidak bertemu, ditambah sepuluh hari lamanya tidak saling mengirim kabar, semua tampak biasa saja. Tidak ada rasa canggung, hanya segumpal pertanyaan dipikiran masing-masing berburu untuk segera diutarakan. Yang entah apakah benar-benar akan diutarakan karena biasanya hanya habis dipendam oleh perasaan masing-masing.
“How’s Bali?” Janu membuka pertanyaan setelah Nina duduk di bangku stainless di seberangnya.
Nina diam sejenak–menimbang jawaban apa yang akan ia katakan mengingat lima harinya di Bali hanya penuh dengan kegelisahan. “Indah, kayak biasanya,” Nina menatap langit biru di atasnya. “Tapi aku yang enggak baik-baik aja.”
Januar melepas gitarnya, menyenderkan benda itu ke tembok. Ia rekatkan pelukan selimut di bahunya.
“Maaf jadi buat kamu enggak baik-baik aja di sana,” Janu menatap lekukan wajah nina dari samping. “Aku juga enggak baik-baik aja selama kamu di sana. Demi apapun, ngebiarin masalah yang enggak diselesaiin ngambang gitu aja bukan cara yang benar ternyata, niatnya memang supaya aku, kamu juga, bisa berpikir masing-masing tapi rasanya emang berat banget, Nin. Aku tetap kepikiran kamu terus.”
Nina menoleh, menyadari Janu yang masih memandang dirinya. Wajah laki-laki itu masih seperti biasa, hangat dan tampan, selalu. Tapi garis hitam di bawah matanya, bulu-bulu halus di bawah pipinya, serta rambut yang sudah sampai batas mata seperti menandakan kata lelah. Nina seharusnya mengerti, bukan hanya dia yang ingin dimengerti, Januar juga ingin mendapatkannya.
Nina menghela napas sejenak. “seharusnya aku enggak langsung pulang waktu itu setelah dengar gosip dari karyawan di kantor kamu.” Januar menggeleng pelan. “kalau gitu aku juga seharusnya kasih tau lebih dulu ke kamu soal aku ketemu bapak kamu.” Kata lelaki itu. Hening sekejap. Nina memalingkan pandangannya, ia mengangkat satu kakinya menindih kaki yang lain.
“Aku gak suka kamu ambil keputusan sendiri apalagi itu menyangkut aku. Aku gak mau orang lain mikir aku cuman jadi beban kamu.” Nina berkata. Wajahnya muram.
Januar mengangguk pelan sebelum berkata, “aku juga gak suka kalau kamu terus ngerasa aku gak berhak bantu kamu selesaiin masalah kamu, dan aku paling gak suka kalau kamu udah gak percaya diri.”
Jawaban yang di luar ekspektasi Nina, perempuan itu sampai menoleh lagi menatap Janu yang seperti sudah menunggu reaksinya. Detik selanjutnya, Nina tersenyum hambar tapi selanjutnya mengangguk. Apa yang Janu katakana benar, dan Janu punya hak untuk tidak menyukai sikap Nina yang seperti itu.
Selanjutnya, entah bagaimana dimulai, keduanya sama-sama mencurahkan isi hati masing-masing. Menuangkan segala keresahan hati, apa yang keduanya inginkan dan apa yang keduanya rasa memberatkan di antara hubungan mereka. Tersenyum malu, berubah muram, hingga satu dua ekspresi tidak terima mewarnai perbincangan hangat malam ini. Beberapa menit berlalu, hingga akhirnya menghasilkan kesimpulan.
“aku bakal lebih terbuka sama kamu.” Kata Janu tersenyum disela matanya yang tidak berhenti memandangi wajah Nina.
Nina tersenyum memamerkan jejeran gigi rapinya. “Aku juga bakal lebih percaya sama kamu.”
Nina kembali melihat langit biru malam hari, sudah pukul sepuluh lewat lima belas. Janu akhirnya ikut memandangi langit terang, cuaca seperti sangat mendukung. Bulan menjadi primadona di antara ribuan bintang yang tidak terhitung jumlahnya.
“The moon is beautiful, isn’t it?” Suara berat Janu berhasil membuat Nina mengalihkan pandangan.
Iya, bulan itu cantik malam ini. Sangat cantik. Beberapa hari lalu Janu juga bertanya hal yang sama, tentang sunset indah sore hari di bali, Nina tau bentuk idiom itu karena pernah tidak sengaja lewat di explore instagram. Dan karena idiom itu juga Nina jadi overthinking sepanjang malam.
“Iya, I wish I could watch it with you for good?” Nina tersenyum ke arah Janu, ia bukan menjawab, tapi lebih ke bertanya, bertanya mengenai apakah jawaban seperti itu yang sedang Janu pikirkan.
Januar tertawa renyah, diikuti Nina yang sudah senyum percaya diri karena paham maksud pertanyaan Janu. Dan selanjutnya mereka kembali menatap hamparan langit biru dengan bulan sebagai pemeran utama di tengahnya.