ilyoujae

Nina berjalan menaiki anak tangga satu-persatu, menuju balkon lantai dua rumah berbentuk appartement milik Januar, ia tahu betul apa yang laki-laki itu lakukan di atas sana, balkon itu lebih tepat disebut smoking area.

Nina mendorong pelan pintu menuju balkon yang ukurannya 2x2 meter persegi, balkon itu terlihat aman karena dipagari dengan besi teralis tinggi di seluruh sisinya, walau begitu tetap terlihat menakutkan jika nekat bersandar di dinding pagar karena unit appartemen itu berada di lantai sembilan belas. Januar menoleh, sedang duduk di kursi stainless dengan gitar dipelukannya.

“Kamu suruh aku bawa selimut sedangkan kamu duduk disini cuman pakai celana training?” Kata Nina sedikit terbelalak saat bertemu pandang dengan Janu. Tubuh shirtless-nya masih tertutup oleh gitar coklat.

Nina melempar pelan selimut yang ia bawa, membiarkan Janu yang memakainya. Si lelaki hanya tersenyum menyeringai seperti tidak bersalah.

Dua puluh satu hari tidak bertemu, ditambah sepuluh hari lamanya tidak saling mengirim kabar, semua tampak biasa saja. Tidak ada rasa canggung, hanya segumpal pertanyaan dipikiran masing-masing berburu untuk segera diutarakan. Yang entah apakah benar-benar akan diutarakan karena biasanya hanya habis dipendam oleh perasaan masing-masing.

“How’s Bali?” Janu membuka pertanyaan setelah Nina duduk di bangku stainless di seberangnya.

Nina diam sejenak–menimbang jawaban apa yang akan ia katakan mengingat lima harinya di Bali hanya penuh dengan kegelisahan. “Indah, kayak biasanya,” Nina menatap langit biru di atasnya. “Tapi aku yang enggak baik-baik aja.”

Januar melepas gitarnya, menyenderkan benda itu ke tembok. Ia rekatkan pelukan selimut di bahunya.

“Maaf jadi buat kamu enggak baik-baik aja di sana,” Janu menatap lekukan wajah nina dari samping. “Aku juga enggak baik-baik aja selama kamu di sana. Demi apapun, ngebiarin masalah yang enggak diselesaiin ngambang gitu aja bukan cara yang benar ternyata, niatnya memang supaya aku, kamu juga, bisa berpikir masing-masing tapi rasanya emang berat banget, Nin. Aku tetap kepikiran kamu terus.”

Nina menoleh, menyadari Janu yang masih memandang dirinya. Wajah laki-laki itu masih seperti biasa, hangat dan tampan, selalu. Tapi garis hitam di bawah matanya, bulu-bulu halus di bawah pipinya, serta rambut yang sudah sampai batas mata seperti menandakan kata lelah. Nina seharusnya mengerti, bukan hanya dia yang ingin dimengerti, Januar juga ingin mendapatkannya.

Nina menghela napas sejenak. “seharusnya aku enggak langsung pulang waktu itu setelah dengar gosip dari karyawan di kantor kamu.” Januar menggeleng pelan. “kalau gitu aku juga seharusnya kasih tau lebih dulu ke kamu soal aku ketemu bapak kamu.” Kata lelaki itu. Hening sekejap. Nina memalingkan pandangannya, ia mengangkat satu kakinya menindih kaki yang lain.

“Aku gak suka kamu ambil keputusan sendiri apalagi itu menyangkut aku. Aku gak mau orang lain mikir aku cuman jadi beban kamu.” Nina berkata. Wajahnya muram.

Januar mengangguk pelan sebelum berkata, “aku juga gak suka kalau kamu terus ngerasa aku gak berhak bantu kamu selesaiin masalah kamu, dan aku paling gak suka kalau kamu udah gak percaya diri.”

Jawaban yang di luar ekspektasi Nina, perempuan itu sampai menoleh lagi menatap Janu yang seperti sudah menunggu reaksinya. Detik selanjutnya, Nina tersenyum hambar tapi selanjutnya mengangguk. Apa yang Janu katakana benar, dan Janu punya hak untuk tidak menyukai sikap Nina yang seperti itu.

Selanjutnya, entah bagaimana dimulai, keduanya sama-sama mencurahkan isi hati masing-masing. Menuangkan segala keresahan hati, apa yang keduanya inginkan dan apa yang keduanya rasa memberatkan di antara hubungan mereka. Tersenyum malu, berubah muram, hingga satu dua ekspresi tidak terima mewarnai perbincangan hangat malam ini. Beberapa menit berlalu, hingga akhirnya menghasilkan kesimpulan.

“aku bakal lebih terbuka sama kamu.” Kata Janu tersenyum disela matanya yang tidak berhenti memandangi wajah Nina.

Nina tersenyum memamerkan jejeran gigi rapinya. “Aku juga bakal lebih percaya sama kamu.”

Nina kembali melihat langit biru malam hari, sudah pukul sepuluh lewat lima belas. Janu akhirnya ikut memandangi langit terang, cuaca seperti sangat mendukung. Bulan menjadi primadona di antara ribuan bintang yang tidak terhitung jumlahnya.

“The moon is beautiful, isn’t it?” Suara berat Janu berhasil membuat Nina mengalihkan pandangan.

Iya, bulan itu cantik malam ini. Sangat cantik. Beberapa hari lalu Janu juga bertanya hal yang sama, tentang sunset indah sore hari di bali, Nina tau bentuk idiom itu karena pernah tidak sengaja lewat di explore instagram. Dan karena idiom itu juga Nina jadi overthinking sepanjang malam.

“Iya, I wish I could watch it with you for good?” Nina tersenyum ke arah Janu, ia bukan menjawab, tapi lebih ke bertanya, bertanya mengenai apakah jawaban seperti itu yang sedang Janu pikirkan.

Januar tertawa renyah, diikuti Nina yang sudah senyum percaya diri karena paham maksud pertanyaan Janu. Dan selanjutnya mereka kembali menatap hamparan langit biru dengan bulan sebagai pemeran utama di tengahnya.

Neoband. Tiga tahun lalu memutuskan untuk hiatus berkepanjangan dan belum pernah kembali lagi.

Tidak ada alasan khusus, keempat pemuda itu memilih fokus dengan tugas akhir kuliah pada saat itu serta ingin mengejar impian personal mereka masing-masing. Reon yang paling dewasa berakhir menjadi manajemen perbankan di salah satu perusahaan keuangan di ibu kota, Naufal si bungsu–yang justru menikah lebih dulu di antara ketiganya–saat ini bekerja sebagai content creative di stasiun televisi, sedangkan Januar putra bungsu konglomerat dengan harta kekayaan terbanyak ke-65 di Indonesia versi forbes memilih membangun perusahaan Entertainment diikuti oleh Ezra yang menjabat sebagai creative director di perusahaan tersebut.

Malam ini pertemuan pertama mereka secara fullteam setelah terakhir berkumpul di pernikahan Reon beberapa bulan yang lalu. Satu jam menghabiskan waktu di studio music pribadi milik Januar, sebelum memutuskan meminum bir di ruang tengah, alhasil Reon dan Ezra sudah tumbang lebih dulu.

Tersisa Januar yang memang paling memiliki toleransi terhadap alkohol yang cukup tinggi, beserta Naufal yang justru sama sekali tidak minum satu teguk pun karena membenci segala jenis alkohol. “Lo nginap juga?” Tanya Januar yang tengah menyandarkan kepalanya di dinding sofa, masih cukup sadar.

Naufal yang duduk di seberang mengangguk. “Udah jam 12 nanggung, Lyra juga udah ngerti.” Jawab Naufal menyebutkan nama istrinya.

Januar kembali diam, kali ini mulai memejamkan matanya.

“Lo sama Nina berantem kenapa?” Tanya Naufal, kini juga bersandar di dinding sofa sambil memejamkan matanya.

Januar menghela napas, menjelaskan secara singkat penyebab dari merenggangnya komunikasi dengan Nina–tentang pertemuan diam-diamnya dengan Pak Fauji yang tidak disetujui Nina.

“Terus gimana?” “Gue minta break.” “Lo yang minta?”

Naufal membulatkan mata, terlonjak mendengar pernyataan Januar yang kembali memilih diam.

“Rencananya sampai kapan?” Tanya Naufal lagi. “Belum tau.” “Lo siap kalau harus putus?” “Gila. Ya enggak, lah.”

Kali ini Januar yang terlonjak, mata yang tadinya ia pejamkan, membulat dan menatap kesal sumber suara.

Naufal terkekeh pelan. “Ya jangan kelamaan, Nu. Perempuan itu mikirnya pakai hati, tingkat overthinkingnya juga lebih tinggi. Kalau kelamaan gak ada pergerakan dia bakal anggap lo beneran udah nyerah.”

Januar mulai serius mendengarkan Naufal.

“Gue gak pernah nyerah, gue cuman capek. Gue selalu berusaha ngelakuin yang terbaik, tapi bagi Nina enggak selalu begitu.” Janu menjawab.

“Nu, mau sampai kapanpun juga nggak akan ada pasangan yang seratus persen sependapat dalam hubungan. Itulah kenapa pentingnya terbuka tentang pendapat satu sama lain,” kata Naufal menjelaskan, ia jelas masih sadar seratus persen hingga masih mampu berpikir jernih. “Dulu waktu awal pernikahan gue sama Lyra gue bingung harus ngapain untuk bangun rumah tangga gue, gue inisiatif buat meringankan kerjaan dia, dengan berusaha mandiri, gue bangun lebih pagi, tiap abis makan piring gue cuci sendiri, gue nggak pernah minta buatin kopi, karena gue takut Lyra yang masih terlalu muda jadi kesusahan harus kerjain kerjaan rumah tangga. Tapi bagi dia, dia ngira gue gak ngehargain dia. Dia ngira gue gak suka sama pernikahan kita, ternyata dia juga mau hidup selayaknya ibu rumah tangga.”

Naufal menikah dua tahun lalu dengan gadis usia dua puluh tahun karena perjodohan–sangat klise, karena permintaan orang tua.

Januar memalingkan pandangannya, berusaha mencerna maksud penjelasan Naufal. Tentang pentingnya pendapat dalam hubungan, seperkian detik berusaha memahami hingga Januar mengangguk tanpa sadar. Hal sekecil apapun memang butuh pendapat, karena hal baik juga sifatnya relatif, isi kepala setiap orang berbeda-beda sehingga pandangan atas suatu hal juga tidak akan sama. Seperti Naufal dan Lyra yang berjuang di hubungan perjodohan hingga akhirnya hidup harmonis dengan anak perempuan berusia satu tahun, Januar–bersama Nina–juga masih harus melanjutkan perjuangan hubungannya.

Disclaimer: scene ini adalah flashback tentang apa yang terjadi di pertemuan pertama Janu dengan Pak Fauji.

Januar Jaziel adalah orang yang tidak suka mengulur waktu, ia biasa hidup dalam kedisiplinan karena dituntut oleh lingkungannya sejak kecil, Ia tidak suka hidup dengan beban dan bayang-bayangnya. Termasuk urusan Nina-‘nya’ dan perasaannya. Sejak mendapat ‘lampu hijau’ dengan kata lain adalah izin dari Intan–Ibu kandung Nina– yang akhirnya luluh setelah bertahun-tahun tidak menunjukkan ketertarikan padanya, visi-misi Januar selanjutnya adalah bertemu dengan Pak Fauji–Ayah dari Nina yang sudah 8 tahun hidup di penjara.

Dan di sinilah ia sekarang, duduk berhadapan dengan laki-laki paruh baya berumur sekita lima puluhan, laki-laki dengan tubuh kurus rambut hitam lebat dengan rambut putih di sisi-sisinya yang diikat menggunakan karet. Lengannya penuh dengan tattoo, tetap terlihat meski sudah ditutupi kemeja kotak-kotak berwarna abu-abu. Siapapun yang melihat laki-laki itu, jelas akan menganggap dia adalah penjahat senior yang biasa nongkrong di pinggiran kota sambil mabuk-mabukan dan menghamburkan uang dengan bermain judi.

Seorang pelayan mengantarkan dua gelas kopi hitam panas, membuat perhatian Janu sedikit teralihkan.

“Diminum, Pak.” Kata Januar setelah sang pelayan pergi.

Pak Jauzi mengangguk, dihirupnya kopi panas itu dengan santai bak tidak kepanasan sedikitpun sementara Janu harus meniupnya terlebih dahulu yang nihilnya tidak mengurangi sedikitpun suhu panas dari kopinya.

“Kamu dan Nina sudah berapa lama?” Tanya Pak Fauji di tengah Janu meniup-niup bibirnya sendiri setelah menghirup kopi panas sialan itu.

Janu berdehem singkat, “enam tahun, Pak.”

Pak Fauji mengangguk menanggapi, dihirupnya sekali lagi kopi hitam itu hingga menyisakan setengah.

“Maaf karena saya membuat keributan di kantor ayahmu,” lelaki itu mendongah ditatapnya Januar dengan rasa bersalah, “saya datang karena saya dengar kamu berusaha mencari saya.”
Januar mengangguk mengiyakan. Entah kenapa tidak berani bersuara.

“Kamu seharusnya tidak mencari saya, Januar. Kalau tujuan kamu untuk meminta simpati, tidak ada gunanya. Saya hanya ayah yang buruk, sangat tidak tahu diri kalau saya menuntut pasangan anak saya untuk menghormati laki-laki yang bahkan gagal menjadi suami dan ayah seperti saya ini.”

Janu sedikit tertegun, ia menatap lekat mata sayu pak Fauji yang semula menakutkan tadi. Januar sebenarnya sudah menyiapkan mental jika saja tiba-tiba Pak Fauji menodongnya dengan permintaan “silakan nikahi anak saya tapi kamu harus memberi saya seratus juta” sebagai bentuk pemerasan. Katakanlah ini gila tapi semenjak bertemu tadi, Januar sudah dibuat takut duluan dengan perawakan Pak Fauji.

“Kata orang, perbuatan jahat seorang ayah akan mendatangkan karma ke anak perempuannya, dulu saya tidak peduli, tapi delapan tahun hidup tidak berguna di penjara membuat saya takut. Ketiga anak saya adalah seorang perempuan dan saat saya membayangkan anak saya harus menelan karma dengan menikahi laki-laki seperti saya nanti, saya menangis. Saya benci dengan perkataan karma itu, saya yang berbuat jahat dan kenapa anak saya yang harus menanggungnya? Karena itu saya sangat takut muncul di hadapan anak saya lagi sekalipun saya sangat menginginkannya.”

Januar terdiam, lagi-lagi ditampar dengan ekspektasi buruknya tadi. Kata-kata don’t judge people by the cover seketika memenuhi pikirannya, januar tak menyangka, perawakan tegas dan menakutkan itu ternyata hanya tanda bukti kesalahan masa lalu yang pernah dibuat. Manusia memang makhluk paling menakutkan apabila berbuat di luar perikemanusiaan, tapi manusia juga adalah makhluk paling hebat dalam menyesali perbuatan.

Satu dentingan notifikasi pesan dari ponsel Januar mengalihkan perhatian keduanya, Janu menggigit gigir bawahnya gusar karena mendapat panggilan dari kantor sebab tadi ia meninggalkannya tiba-tiba.

“Saya tau kamu sibuk, kamu bisa kembali kerja. Saya sudah lega, melihat kamu tidak malu bertemu dengan orang seperti saya saja sudah membuktikan kamu tumbuh dari keluarga yang baik. Tidak perlu ada yang saya khawatirkan lagi.” Kata Pak Fauji yang juga menyadari panggilan genting dari ponsel Janu.

“Bapak sekarang kerja di mana?” Tanya Janu, ia merasa pertemuan ini tidak bisa jadi yang pertama dan satu-satunya.

“Di bengkel belakang terminal baru,” “Bapak tinggal di mana? ngontrak?” “Di bengkel juga.” “Hah?” Janu mengerjap.

Pak Fauji tersenyum simpul, “saya kerja sekaligus numpang tinggal di bengkel itu, saya baru satu bulan bebas, belum cukup uang untuk cari kontrakan.” Lanjutnya.

“Saya bantu cariin kontrakan ya, Pak?” Tanya Janu. Pak Fauji menggeleng cepat, “saya tidak akan minta sepeser pun dari kamu, saya akan malu dengan Nina.”

Seperti de javu, ini kali kesekian Janu ditolak materinya oleh segala hal yang bersangkutan dengan Nina, tidak perlu lagi ia mencari validasi dari mana sikap mandiri dan tidak ingin dikasihani yang diwarisi Nina saat ini.

“Anggap aja saya bantu atas dasar kemanusiaan, Pak. Bukan karena Bapak itu orang tua Nina yang harus saya perlakukan dengan baik.” Tutup Janu.

Nina menunduk sopan sambil memperlihatkan senyuman ramahnya kepada karyawan yang menyambutnya dengan tunduk yang tidak kalah hormat tepat di pintu masuk lobby perusahaan entertainment yang adalah anak perusahaan dari JJ Group dan tidak lain juga adalah perusahaan yang dipegang kendalinya oleh Januar, sang pacar.

Cuaca sore itu cerah berawan, tidak panas dan tidak mendung. Suasana hati perempuan itu masuk di golongan bahagia, mungkin karena tidur nyenyak yang ia dapatkan semalam setelah menghambiskan 10 hari dengan bekerja rodi di luar kota.

Nina melangkah menuju lift sebelum akhirnya mempertimbangkan untuk melewati pintu lift yang baru terbuka karena ketertarikannya setelah melihat beberapa karyawan yang lewat di sekitarnya dengan satu cup kopi di tangan mereka masing-masing, hingga akhirnya Nina memilih melangkah menuju coffee place– yang kualitasnya tidak kalah dengan coffee shop millenials di luar sana– yang termasuk fasilitas yang ada di perusahaan itu.

Ice vanilla latte menjadi pilihan Nina sore itu, setelah mengambil gelas kopi miliknya, gadis itu memilih duduk sebentar menikmati suasana dan aroma coffee shop yang cukup ramai dengan beberapa sebayanya yang menggunakan name tag kebanggaan di leher masing-masing. Sebenarnya ada sedikit rasa iri di dalam diri gadis itu saat menyadari perusahaan tempatnya bekerja tidak ada apa-apanya dengan fasilitas yang didapatkan dari perusahaan ini. Walaupun, ia sebenarnya bisa saja bekerja di tempat ini menggunakan privilege mengingat entah sudah berapa kali Janu menawarkannya bekerja di perusahaan itu.

Hening beberapa saat, hingga akhirnya bisikan dari rombongan tiga orang wanita yang baru saja datang dan duduk di meja tepat di belakang Nina mengusik telinga gadis itu.

“Gue liat sih kemaren Pak Janu ketemu bapak-bapak itu di coffee shop depan kayaknya emang orang yang sama deh sama yang kita liat di lobby pagi kemaren.”

“Sus banget sih emang, kata temen gue yang jaga lobby di gedung JJcorp kemaren juga pada gosipin bapak itu karena aneh banget datang datang langsung minta ketemu Pak Janu kan gila aja ada kali dia nunggu setengah jam di sana, kita-kita yang jelas di kantor yang sama aja kalau mau ketemu Pak Janu prosedurnya ribet amat.”

Telinga Nina semakin fokus mencermati maksud bapak-bapak yang diomongi oleh tiga wanita itu, Nina tau menguping pembicaraan orang lain dengan sengaja bukan tindak terpuji, tetapi kali ini entah kenapa pembicaraan yang ia dengar seakan sengaja masuk dengan jelas di telinganya.

“Ini gue gak tau bener apa engga, gue cuman denger dari anak lantai 20 kalau itu tuh gosipnya sih bapaknya pacar pak Janu, lo tau kan pacarnya pak janu kan emang bukan dari keluarga elite.” Suara dari salah satunya terdengar lebih pelan tetapi masuk dapat masuk di indera pendengaran Nina, semakin jelas saat perempuan itu memperjelas identitas yang menyebutkan “Pacar Pak Janu” yang tidak lain adalah Nina sendiri yang tengah mendengarkan langsung perbincangan itu. Serta sebutan lantai dua puluh yang menjadi ruang VVIP gedung ini karena ruangan Januar dan petinggi lainnya ada di sana.

“Bisa jadi sih, tapi gak expect aja kalau itu beneran, gue ngiranya keluarga biasa yang biasa-biasa aja bukan yang kayak gitu ngerti gak sih maksud gue dari yang gue liat kemaren tampilan bapaknya agak berantakan bahkan gue liatnya agak urakan, kayaknya latar belakangnya emang sesusah itu.”

Jantung Nina semakin berdegup kencang, bibirnya bahkan sudah bergetar. Ia adalah orang yang sangat sering berperasangka dari kemungkinan yang terburuk, tetapi kali ini benar-benar di luar ekspektasinya. Bayangan-bayangan buruk sudah menghantui sehingga suasana hati yang baru beberapa menit lalu rasanya sangat damai berubah dalam waktu kurang dari satu menit hanya karena perbincangan dari orang yang tidak ia kenal, namun sangat ia rasakan topik dari pembicaraan itu.

Di sini lah Januar sekarang, tiba di rumah sederhana namun tetap yang memiliki kondisi paling baik di antara rumah-rumah di sekitarnya, hasil kerja keras dari Ninaya yang sangat berbakti kepada sang Ibu. Lokasinya berada di pinggiran kota–yang terlalu sederhana di anggap perkotaan tetapi cukup modern juga untuk disebut pedesaan.

Januar sudah duduk di ruang tamu, Ninaya baru saja menghubunginya, lebih tepatnya menghubunginya lagi untuk kesekian kali. Ini memang kali pertama Janu bertemu Intan–ibu Nina–seorang diri. Tapi sebelumnya pun Janu sudah pernah bertemu, jadi kondisinya juga tidak terlalu memprihatinkan.

Wanita setengah baya yang menjadi objek yang ingin ditemui Janu hari ini pun keluar dengan membawa satu nampan berisi teh manis hangat. Raut wajah Intan datar, tidak menunjukkan ketertarikan tidak pula menunjukkan ketidaksukaan. Wanita itu sudah duduk tepat di depan Januar, sedangkan si lelaki sedang menghirup teh hangat yang baru disajikan untuknya.

“Tante, apa kabar?” Tanya Janu–yang sampai sekarang masi memanggil Ibu dari pacarnya itu dengan sebutan Tante, menandakan hubungan yang belum begitu dekat.

“Begini-begini aja, syukurnya masih sehat.” Jawab Intan, ”keluargamu gimana?” Lanjutnya bertanya.

“Sehat, Tan.” Janu menjawab, ”nanti kalau ke Jakarta lagi Janu ajak ketemu Papa ya Tan kalau enggak keberatan.”

Intan memasang wajah tak bergairah, ”haduh jangan lah nanti tante malu-maluin, kita beda kasta, Januar.”

Janu tersenyum tipis, sedikit terusik mendengar kata ‘kasta’ yang keluar dari mulut Intan.

“Kami enggak pernah berpikir begitu kok, Tan.”

Intan mengangguk pelan tapi jelas bukan karena setuju, “kamu punya segalanya Januar, mudah bagi kamu untuk dapat apa yang kamu mau, ”katanya lembut tapi terdengar sangat defensif, “dan itu yang saya takutkan, mudah bagi kamu meninggalkan anak saya yang bukan siapa-siapa.” lanjutnya sarkas.

Januar paham, ia sangat paham maksud Intan. Image sebagai putra bungsu konglomerat, calon pewaris yang memiliki relasi dimana-mana, dengan latar belakang keluarga yang royal. Tentu bukan hal sulit bagi Janu untuk menemukan Nina yang lain di antara anak-anak penguasaha yang mengenalnya.

Janu lagi-lagi menghela napasnya, “Tante, saya sama Nina udah lima tahun, mungkin betul kata tante saya bisa aja pilih satu perempuan di lingkungan saya yang bisa berpengaruh ke bisnis keluarga. Tapi saya enggak begitu, keluarga saya bukan orang seperti itu.” Januar menjawab dengan baik meski dibuat penu penekanan.

Intan diam, wanita itu menudukkan pandangannya. Bukan menyerah, ia jelas tidak semudah itu terlena.

“Dulu suami saya juga seperti kamu januar, tapi dia menghancurkan hidupnya, hidup saya, dan hidup anak-anaknya. Apa yang bisa buat kamu seyakin itu?” Tanyanya kini lebih mengintimidasi.

Seperti yang sudah sering Nina beritahu, ibunya punya traumatik tersendiri karena Ayah Nina yang sampai saat ini masih mendekam di penjara sebagai narapidana yang dikenakan pasal berlapis akibat narkoba dan KDRT. Bukan hal yang mudah menerima kenyataan untuk Intan, sebagai Ibu yang memiliki tiga anak perempuan yang sudah kehilangan figure Ayah sebagai laki-laki pertama yang harusnya mereka cintai.

Januar diam sejenak, dilihatnya Intan sudah berkaca-kaca, tapi setidaknya Janu tau, Intan bukan tidak menyukainya, Intan hanya takut Nina berakhir seperti dirinya.

“Saya menghargai Nina seperti saya menghargai mama saya, karena itu saya nggak akan jadi laki-laki kedua yang ngehancurin Nina setelah ayahnya, Tante.”

tes

cw // slightly mature, kiss scene

Cahaya pagi dari sinar matahari menembus memasuki balkon lebar dan jendela kaca dari unit appartement miliki Januar, unit ini adalah unit terelit di bawah penthouse yang memiliki luas hampir sama dengan rumah mewah pada umumnya. Nina menuruni anak tangga dari kamar Januar menuju lantai bawah ruang tengah dan dapur. Tidak ada orang karena Januar memang tinggal sendirian, tidak ada juga pelayan yang tinggal menetap. Hanya ada Ninu–si kucing abu-abu–yang tengah meringkuk di sofa yang memiliki warna senada dengan bulunya.

Nina melangkah ke arah dapur, di lihatnya meja makan yang kosong dan paintry yang hanya bersisa roti, selai, dan buah-buahan. Gadis itu mendekati westafle tempat cuci piring, terlihat beberapa sisa piring dan mangkuk yang masih kotor, kebiasaan dari Januar yang amat sangat malas membersihkan bekas dan sisa makanannya. Nina tersenyum, makanan yang ia siapkan semalam untuk Janu ternyata sudah habis dimakan, padahal ia membuat untuk dua porsi tapi sepertinya Januar melahapnya hingga habis.

Setelah selesai mencuci piring-piring kotor, Nina berjalan menuju ruang tengah menghampiri Ninu yang masih setia meringkuk di sofa. Kucing berusia 6 bulan yang tampak gemuk, kucing yang sebenarnya adalah keinginan Nina tapi harus diasuh oleh Janu karena Nina tinggal bersama Kania–adiknya–yang alergi bulu kucing. Nina sempat meragukan karena Januar yang sibuk pasti tidak mampu mengurus Ninu, tetapi ternyata Ninu tumbuh dengan sehat, meski kurang perhatian tapi asupan makanannya teratur dan jadwal periksa ke dokter hewan juga disiapkan dengan baik oleh Janu.

“Kamu udah makan, belum?” Nina mengangkat kucing itu gemas, si kucing yang sudah mengenal majikannya juga tidak memberontak.

Beberapa waktu ia lalui bermain bersama kucing kesayangannya itu, hingga akhirnya suara dentingan dari pintu masuk appartement mengalihkan pandangan Nina. Januar datang membawa beberapa bungkus plastik di tangan kirinya. Laki-laki itu hanya memakai celana training dan hoodie hitam kebanggaannya.

“Aku siapin dulu buburnya, ya.” Kata Janu saat menyadari Nina sedang duduk di sofa sambil menyuapi Ninu di pangkuannya dengan snack.

Nina tidak mengalihkan pandangannya melihat Januar sudah meletakkan makanan di pantry, “ngobrol dulu, yuk.” Nina memanggil.

Janu yang terpanggil menoleh, melihat Nina dari pantry tempatnya saat ini, “emang belum lapar?” tanyanya.

“Abis makan roti tadi ngeganjel bentar.”

Januar pun mengalah, meninggalkan bungkusan bubur yang belum selesai ia pindahkan. Memilih menghampiri Nina yang masih setia duduk bersila di atas sofa.

Janu mengulurkan tangannya menyentuh kepala Nina, “Udah nggak pusing?” Tanya Janu sesaat setelah mendudukkan tubuhnya di sofa tepat di sebelah Nina, atau mungkin tepatnya di hadapan perempuan itu karena keduanya saling berhadapan saat ini.

Nina terkekeh pelan, “aku cuman habis mabuk, bukan demam.” Katanya tersenyum.

Sementara Janu ikut tertawa menanggapi, keduanya diam bersamaan, hanya saling memandang seperti berkomunikasi lewat dua bola mata masing-masing. Banyak yang ingin disampaikan tapi sepertinya tanpa perlu dilisankan, keduanya sudah sama-sama paham. Lima tahun menghabiskan waktu sebagai pasangan bukan waktu yang sebentar.

“Maaf.” Satu kata yang tidak pernah lepas dari perbincangan mereka, Nina mengatupkan bibir setelah mengatakannya.

Janu menarik tangan Nina, menaruhnya di antara kedua tangannya, “aku juga.” Kata Januar.

Nina mendongak kembali mantap Janu, “Kania bisa gabung di project kamu.”

Janu membulatkan matanya, “kamu izinin?” Nina mengangguk.

“Tapi harus izin ibu dulu, aku rencana mau pulang nanti, mau antar Kania juga sekalian jelasin ke Ibu langsung.” “Aku boleh ikut?” “Kalau kamu nggak sibuk.” “Oke, kita liat nanti.”

Keduanya kembali diam, tangan Nina masih hangat di genggaman Janu, Masih sibuk dengan pikiran masing-masing. Mereka sampai lupa kalau ini adalah waktu senggang pertama mereka setelah beberapa minggu terakhir sibuk mengurus segala pekerjaan, kalaupun bertemu hanya dalam hitungan jam dan terkesan buru-buru. Tapi sekarang mereka bahkan punya waktu untuk sekadar pandang-pandangan seperti ini.

“Kamu jangan nyoba-nyoba minum lagi, bahaya nin, apalagi sampai setengah botol. Kamu biasanya dua teguk aja udah nggak sanggup.” Kata Janu membuka suara di antara mereka.

Nina mengangguk pelan, “iya nggak akan lagi kok, kepala aku pening semalaman.” Kata Nina, “oiya aku ngelakuin aneh-aneh ya semalam?” lanjutnya bertanya.

Januar tersenyum memahami maksud ‘aneh-aneh’ dari mulut Nina, “you almost kissed me, kamu nggak ingat? Terus abis itu kamu muntah.” Lanjutnya lagi diiringi dengan tawa lepas membuat Nina dihadapannya menyembunyikan wajahnya malu.

“Jadi kamu nggak cium balik karena takut dimuntahin?” Tanya Nina, sebenarnya bukan maksud bertanya ia hanya tidak mau kalah karena dicibir sebelumnya.

“Engga lah, yakali aku cium kamu lagi mabuk gitu.”

Nina mengangguk pelan memahami, lima tahun berhubungan bohong kalau mereka tidak pernah melakukan hal semacam itu terlebih di usia pertengahan dua puluh saat ini. Tapi keduanya menciptakan batasan bersama, salah satunya menerapkan concent satu sama lain. Ditambah, Nina bukan tipe physical touch dan Janu sangat memahami itu.

“Sekarang udah sadar seratus persen.” Nina mengatupkan bibir sedikit menyesal mengucapkannya saat Janu malah mengerutkan dahinya seperti tidak paham.

Januar tersenyum tipis, “emang kenapa kalau udah sadar?” tanyanya malah balik menggoda.

“Ya, nggak apa-apa.”

Janu tertawa lagi melihat Nina yang sudah mengubah posisi duduknya, jadi bersandar ke dinding sofa, menurunkan kakinya yang sejak tadi ia lipat.

“Ninu sini dong aku mau peluk.” Nina sudah mengambil ancang-ancang untuk berdiri berniat mengejar Ninu yang tengah berlari lari mengitari ruang tengah.

Tapi satu tarikan dari pergelangan tangan kanannya menghentikan pergerakan Nina. Perempuan itu reflek menoleh dan langsung berhadapan dengan Wajah Janu yang seperti sudah mengambil ancang-ancang. Nina membulatkan matanya, kaget langsung dihadapkan dengan Wajah indah Januar dengan hidung mancung dan rahang tegasnya yang tidak pernah gagal memikat pandangan Nina.

“Can we do it?” Bisik laki-laki itu tidak mengubah posisi, tepat di hadapan wajah Nina, aroma tubuh maskulin yang terasa segar namun tetap berciri khas sudah memasuki indera penciuman Nina.

Nina menarik napas, sialnya meski bukan pertama kali, ia tetap gugup luar biasa. Dan seperti biasa, Nina hanya akan berdehem beriringan dengan menyatunya bibir mereka dengan mata yang perlahan tertutup dan perasaan yang tersalurkan lewat tautan bibir itu.

Januar selalu mengikuti irama Nina, pelan dan tidak tergesa-gesa. Tangan kiri Janu sudah berpindah di pipi Nina, sementara tangan Kanannya menyentuh bagian tengkuk milik Nina. Perlahan-lahan menahan irama tubuh dan membuat kecupan itu semakin dalam. Tangan nina berperan pasif, ia hanya menggenggam erat sisi kanan dan kiri pakaian yang digunakan Janu.

Keduanya terlepas sejenak, mata Janu menatap milik Nina yang tampak sayu seperti baru dibangunkan paksa dari tidurnya. Janu meneguk salivanya bersamaan dengan Nina yang di luar ekspektasinya sudah melingkarkan kedua tangan di leher Janu, dan laki-laki itu kembali melanjutkannya. Menciumnya dengan hangat, merasakan bibir ranum beraroma strawberry milik Nina yang didapat dari sapuan lipbalm-nya pagi tadi. Begitu juga dengan Nina yang selalu menerima decapan milik Janu yang sampai detik ini tidak pernah menuntut.

Ini memang bukan pertama kali, tapi bukan pula yang berkali-kali. Membuatnya selalu terasa asing dan rindu dalam satu waktu.

Keduanya masih sama-sama hanyut, hingga suara gerutukan dari perut salah satunya mengalihkan fokus mereka. Nina melepasnya lebih dulu, langsung menyentuh perutnya karena menyadari ialah yang menjadi sumber bunyi. Janu mengerjap, keduanya saling menatap bergantian dengan menatap perut sang gadis. Hingga detik berikutnya, mereka sama-sama terkekeh menertawai situasi awkward yang menyerang tiba-tiba.

cw // drunk

Pukul dua puluh lewat empat puluh lima.

Dentingan bunyi pintu terdengar setelah Januar menekan fingerprint di pintu masuk unit appartement-nya. Lelaki itu baru saja melepas jas hitam dari bahu lebar miliknya menyisakan kemeja putih dengan dua kancing teratas yang terbuka serta lengan yang sudah terangkat seperempat. Badannya tidak bertenaga, energinya sudah habis terkuras. Empat hari meninggalkan ibu kota untuk urusan pekerjaan tanpa istirahat, di akhiri dengan delay cukup panjang akibat cuaca buruk hingga ia harus tiba lebih lama dari perkiraan seharusnya.

Januar masih di ambang pintu, dilihatnya lampu di ruang tengah tempat tinggalnya menyala terang. Pemuda itu menunduk melihat rak sepatu di sebelah kanan setelah pintu masuk, dilihatnya satu pasang wedges yang sudah tidak asing lagi di matanya. Satu tarikan napas ia hembuskan, pikirannya masih berkecamuk, tapi bukan karena emosi. Melainkan rindu yang masih tertahan akibat belum menemukan titik berbaikan.

Mata lelaki itu bergejolak saat melihat gadis yang sudah ia duga tengah duduk di pantry, bukan karena kaget karena kehadiraan perempuan itu, tetapi karena satu botol red wine yang jelas terlihat berkurang setengah botol, sementara Ninaya sudah tertunduk lesu sambil menggenggam gelas di tangan kirinya. Gadis itu mendongak setelah Januar sudah beranjak menarik gelas dari tangannya secara tiba-tiba.

“Nina, kamu ngapain? kamu kenapa berani minum sebanyak ini?” Janu mengangkat bahu Nina, perempuan itu sudah berdiri di hadapannya. Tatapannya sayu, senyuman yang terukir pun terasa dipaksakan. Dan yang paling menyayat hati Janu, mata itu sembab meninggalkan bekas air mata.

Nina menatap balik Januar, “im okay, aku cuman nyoba.” Jawabnya lirih.

Janu lagi-lagi menghela napasnya berat, genggaman tangannya di bahu Nina semakin kuat, “hey, liat aku.” Tekannya lagi semakin memperdalam tatapannya memperhatikan wajah Nina yang sudah membengkak.

“Kamu nggak sadar, Nina.” Januar berkata dengan suara tegasnya.

Nina menggeleng pelan, “aku nggak apa-apa, Janu. Tapi kamu kenapa nggak bilang kalau telat, aku nunggu kamu.” Jawabnya lagi-lagi dengan suara lirih yang semakin membuat Janu khawatir bukan main.

“Aku nggak tau kamu disini.” Ucap Janu, nada suaranya menurun.

Tatapan mata Nina semakin melemah, matanya kembali berkaca, “maafin aku ya, aku jahat. Aku jahat banget sama kamu. Aku nggak pernah ngehargain kamu. Aku ngga pernah bersyukur punya orang sebaik kamu.” Suara gadis itu bergetar, air matanya mulai berderai tapi pandangannya tidak beralih sedikit pun dari wajah Janu yang semakin memperlihatkan raut khawatirnya.

Januar memindahkan tangannya jadi mengatup kedua pipi Nina dengan kedua tangannya, “kamu mabuk, Nina.”

“Kamu boleh marah sekarang, marahin aku, Janu.” Nina semakin berair, suaranya ia tinggikan.

Januar masih mengatup wajah Nina membiarkan hangat pipi Nina yang sudah dibahasi air mata tersalur di kedua telapak tangannya. Sesekali ibu jarinya mengusap bawah mata gadis itu. Beberapa detik keduanya diam dalam posisi yang sama. Ia ingin segera memeluk perempuan itu, tapi sadar ia baru habis bepergian di tempat umum dan belum berganti kemeja sejak pagi tadi. Nina sangat sensitif dengan debu dan kotoran yang membuatnya mengurungkan niat untuk mendekap erat-erat perempuannya itu.

Nina memejamkan matanya sejenak, setelah itu langsung mengangkat kedua lengan dan melingkarkannya di tengkuk Januar yang membuat posisi keduanya kian mendekat. Januar reflek mundur, kaget melihat Nina yang tidak biasanya bernyali besar seperti ini, hanya sisa beberapa sentimeter hingga keduanya benar-benar semakin intim, tapi tenaga Janu di kedua bahu Nina menahan Gadis itu.

“Nin you’re drunk, jangan kayak gini sayang.” Januar berkata, ia menunduk mensejajarkan wajahnya dengan Nina yang tatapan matanya semakin lemah.

Ada jeda beberapa detik hingga tiba-tiba Nina mengatup bibir dan menutupnya dengan telapak tangan, perutnya terasa diguncang, kepalanya memberat, dan tenggorokannya bergejolak, Nina berlari ke westafle yang tidak jauh darinya dan langsung menyemburkan isi perutnya. Sementara Janu di belakang sudah bergerak, tangan kirinya menarik anak-anak rambut Nina yang menghalangi gadis itu serta tangan kanannya yang menekan tengkuk Nina membantunya mengeluarkan isi perut akibat mengonsumsi wine berlebihan, terlebih ini adalah pertama kalinya bagi Nina.

Catokan terakhir di rambut sebelah kanan Nina mengakhiri persiapan buru-burunya malam itu, bersamaan dengan terparkir rapinya mobil di halaman parkir hotel bintang empat yang menjadi tempat digelarnya grand opening VNS Jewellery, yang entah kenapa dilaksanakan bak pesta pernikahan di ballroom hotel yang tidak lain adalah milik keluarga Jeremi Jaziel, ayah dari Vanessa dan Januar.

Jaz Hotel.

Nina memperhatikan penampakan wajahnya untuk yang terakhir sebelum benar-benar keluar dari mobil. Tidak lupa menarik napasnya dalam-dalam untuk menenangkan degup jantungnya yang tidak karuan efek dari terburu-buru dan jujur tidak siap bertemu dengan sekumpulan tamu-tamu undangan high class di dalam sana.

Acha–sekertaris Janu yang juga entah kenapa merangkap menjadi sekertaris Nina–sudah keluar dari mobil terlebih dahulu. Wanita yang dua tahun lebih tua dari Nina dengan karakter sedikit maskulin dengan rambut pendek sebahu yang diikat dan tampilan sederhana dengan celana kain dan kemeja dengan tangan digulung seperempat itu sudah berdiri siap di depan pintu mobil dan membukakan pintu itu untuk Nina.

Acha memperlihatkan bukti undangan atas nama Nina kepada salah satu bodyguard yang sudah menunggu di depan lobby dan Acha segara melakukan scan bukti hadir, detik selanjutnya keempat laki-laki berjas itu tunduk dengan hormat dan mempersilahkan Nina dan Acha untuk memasuki area ballroom.

Sudah lewat satu jam setelah acaranya dimulai, jelas puluhan undangan dengan berbagai bentuk suit dan dress mewah sedang menikmati berbagai hidangan yang tersebar di sepanjang sudut ballroom. Dari kejauhan, Nina dapat melihat deretan koleksi perhiasan yang menarik pandangan ditutupi dengan bingkai kaca menambah aksen elegan dari benda-benda itu, tidak lupa jejeran wanita-wanita berperawakan glamour sedang berbincang-bincang yang sepertinya sudah siap untuk menghabiskan puluhan juta untuk segala jenis berlian itu.

“Di sana, Bu.” Bisik Acha, mempersilahkan Nina mendatangi Vanessa yang tengah berbincang dengan beberapa rekan sesame sosialitanya dengan satu gelas cocktail di tangan kiri sebagai ciri khas.

Nina mengambil alih bucket bunga lily yang sebelumnya ia titipkan kepada Acha, gadis itu melangkah dengan mencoba percaya diri mendekati Vanessa yang belum menyadari kedatangannya. Beberapa detik setelah itu, perempuan anggun dengan dress putih tulang itu bertemu mata dengan Nina yang sudah tersenyum seramah mungkin.

Vanessa Jaziella Hartanto –putri sulung dari Jeremi Jaziel pemimpin JJ company yang bergerak di bidang properti, elektronik, dan multimedia. Serta Istri dari Reksadi Hartanto, pemimpin salah satu jaringan televisi terlaris di tanah air. Tidak lupa, wanita itu sudah dikenal sebagai Model sekaligus fashion designer yang memiliki sebagian butik fashion ternama di ibu kota.

“Yaampun, Nina. Akhirnya dateng juga.” Vanessa merengkuh tubuh Nina, tidak lupa memberikan dua salam cipika-cipiki di pipi kanan dan kiri Nina.

Nina tidak berhenti tersenyum kikuk, berhadapan langsung dengan Vanessa yang tampilannya bak permaisuri, membuat kepercayaan dirinya sedikit goyah. Riasan tipis dan rambut Nina yang terurai sangat tidak sebanding dengan riasan elegan dengan bulu mata lentik dan pipi merona milik kakak dari pacarnya itu.

“Macet ya tadi atau ada kerjaan?” Perempuan di depannya akhirnya bertanya.

“Iya kak maaf banget, aku baru selesai kerja jam 7 tadi,” jawab Nina.

“Ah iya gak apa-apa, makasih loh Nin masih tetap usahain datang,” Vanessa berkata, “ ini dibawain bunga cantik segela lagi.” Lanjutnya sambil mengambil bucket bunga yang diberikan oleh Nina.

Di depan keduanya, ada dua wanita paruh baya yang tidak kalah modis dengan tampilan Vanessa yang tampak anggun dengan balutan dress mewah dan riasan tebal–yang menutupi garis wajah–di tambah berlian yang menghiasi bagian-bagian yang seharusnya.

“Oh iya Ini pacarnya Januar, Tan. Namanya Nina,” kata Vanessa memperkenalkan, “nah Nin yang ini namanya Tante Mia adiknya Papa yang tinggal di Australia,” Vanessa menunjuk wanita dengan dress merah di sebelahnya, ”Kalau yang ini Tante Risa sepupunya Papa dari Bali.” Lanjut perempuan itu menunjuk wanita berambut pendek di depan Nina.

Nina tersenyum simpul, menyalami keduanya dengan sedikit membungkuk tanda menghormati.

“Oh yang ini pacarnya Janu, kerja apa Nina?” Dari sekian banyaknya pertanyaan, entah kenapa pertanyaan soal pekerjaan menjadi topik paling sering ditanyakan saat pertemuan seperti ini.

Nina masih mempertahankan senyumnya, “staff HRD, Tan.”

Mia mengangguk pelan sambil tersenyum tipis, sedikit terlihat kurang antusias mendengar jawaban dari gadis itu, “kerja di perusahaannya Januar?”

“Enggak, Tan. Beda bidang, aku kerja di perusahaan kesehatan.” Nina menjawab.

Risa yang dari tadi menyimak, membuka suara, “Ayah kamu pengusaha juga?”

Dan pertanyaan yang paling dihindari Nina kembali keluar, pertanyaan yang belum Nina ketahui bagaimana cara menjawab dengan halus dan tidak menimbulkan perspektif negatif meskipun pada hakikatnya memanglah hal yang negatif. Nina tidak menyembunyikannya, Janu sudah tau lebih dulu, begitupun Jeremi –ayah Janu–dan Vanessa sudah mengetahui bertahun-tahun yang lalu, meski tidak langsung mereka–Jeremi dan Vanessa–dapat menerima, tetapi sikap open minded dan dengan berbagai pertimbangan, mereka pun tidak mempermasalahkan. Toh, tidak ada yang salah dengan Nina, tidak ada yang salah menjadi anak narapidana.

Biasanya, di saat-saat seperti ini Januar akan langsung mengalihkan pembicaraan tetapi kali ini Nina harus berdiri sendirian.

“Bukan, Tan.” Jawab Nina, suaranya tidak semeyakinkan sebelumnya.

“Aduh tan, udah ah nanyanya. Nin ayo sini kakak kasih liat kalung yang kemaren Kakak janjiin.”

Nina sangat-sangat bersyukur, Vanessa mengerti situasi, dialihkannya pandangan Nina ke satu kotak perhiasan yang sudah dibawakan oleh pegawai yang entah kapan sudah hadir di tengah-tengah mereka. Suasana dingin akibat pertanyaan yang mengintimidasi berubah perlahan mencair saat pandangan beberapa tamu di sekitar fokus kepada perhiasaan yang menjadi primadona malam itu.

Special edition necklace dengan design berlian di tengah-tengahnya, menjadi satu unit terakhir–karena sebagian sudah diburu oleh pecinta perhiasan di awal acara–yang sengaja disimpankan Vanessa untuk Nina.

Nina tidak berkutik, dipandangnya kalung yang bersinar dibalutan leher patung itu, tampak cantik meski belum dikeluarkan dari kotak berbahan kaca. Vanessa sang pemilik perhiasaan, dengan lugas membuka kotak yang menghalangi, dan mengambil benda yang sudah menjadi pusat perhatian itu.

Vanessa tersenyum mengangkat kalung cantik itu, “stok terakhir untuk Nina, perempuan yang sangat dihargai oleh adik laki-laki saya satu-satunya.”

Gemuruh tepuk tangan menghiasi yang juga entah sejak kapan Nina sudah menjadi pusat perhatian sekitarnya, bersamaan dengan Vanessa yang mengangkat kalung itu dan membantu Nina melekatkan di leher jenjangnya. Dengan satu kali percobaan, kalung itu melekat indah di leher milik Nina yang juga berpadu indah dengan leher terbuka dari dress hitam yang dikenakannya.

She looks really shine.

Kepercayaan dirinya meningkat, meskipun jauh di dalam sana masih tidak menyangka, ia mendaptkan beribu kasih sayang dari keluarga laki-laki yang juga menyayanginya dengan luar biasa.

Nina mengangkat pandangannya percaya diri, ditatapnya dengan ramah sebagian tamu undangan yang memberikan tepuk tangan. Sampai saat pandangannya menemukan manusia yang sudah memenuhi isi pikirannya, seperti diwujudkan, Januar Jaziel ada di sana–datang terburu-buru dan menyelip di antara tamu-tamu. Laki-laki itu menghentikan langkahnya, saat maniknya berhasil menangkap gadis yang ia khawatirkan keberadaannya sejak tadi, sepasang mata itu tersenyum memandang sang gadis yang sama sumringahnya, Januar tersenyum bersyukur memiliki keluarga yang sangat menghargai pilihannya, walaupun ia tidak tahu akan sampai kapan, ia tidak akan hentinya berharap agar segalanya berjalan dengan sebagaimana mestinya.

Catokan terakhir di rambut sebelah kanan Nina mengakhiri persiapan buru-burunya malam itu, bersamaan dengan terparkir rapinya mobil di halaman parkir hotel bintang empat yang menjadi tempat digelarnya grand opening VNS Jewellery, yang entah kenapa dilaksanakan bak pesta pernikahan di ballroom hotel yang tidak lain adalah milik keluarga Jeremi Jaziel, ayah dari Vanessa dan Januar.

Jaz Hotel.

Nina memperhatikan penampakan wajahnya untuk yang terakhir sebelum benar-benar keluar dari mobil. Tidak lupa menarik napasnya dalam-dalam untuk menenangkan degup jantungnya yang tidak karuan efek dari terburu-buru dan jujur tidak siap bertemu dengan sekumpulan tamu-tamu undangan high class di dalam sana.

Acha–sekertaris Janu yang juga entah kenapa merangkap menjadi sekertaris Nina–sudah keluar dari mobil terlebih dahulu. Wanita yang dua tahun lebih tua dari Nina dengan karakter sedikit maskulin dengan rambut pendek sebahu yang diikat dan tampilan sederhana dengan celana kain dan kemeja dengan tangan digulung seperempat itu sudah berdiri siap di depan pintu mobil dan membukakan pintu itu untuk Nina.

Acha memperlihatkan bukti undangan atas nama Nina kepada salah satu bodyguard yang sudah menunggu di depan lobby dan Acha segara melakukan scan bukti hadir, detik selanjutnya keempat laki-laki berjas itu tunduk dengan hormat dan mempersilahkan Nina dan Acha untuk memasuki area ballroom.

Sudah lewat satu jam setelah acaranya dimulai, jelas puluhan undangan dengan berbagai bentuk suit dan dress mewah sedang menikmati berbagai hidangan yang tersebar di sepanjang sudut ballroom. Dari kejauhan, Nina dapat melihat deretan koleksi perhiasan yang menarik pandangan ditutupi dengan bingkai kaca menambah aksen elegan dari benda-benda itu, tidak lupa jejeran wanita-wanita berperawakan glamour sedang berbincang-bincang yang sepertinya sudah siap untuk menghabiskan puluhan juta untuk segala jenis berlian itu.

“Di sana, Bu.” Bisik Acha, mempersilahkan Nina mendatangi Vanessa yang tengah berbincang dengan beberapa rekan sesame sosialitanya dengan satu gelas cocktail di tangan kiri sebagai ciri khas.

Nina mengambil alih bucket bunga lily yang sebelumnya ia titipkan kepada Acha, gadis itu melangkah dengan mencoba percaya diri mendekati Vanessa yang belum menyadari kedatangannya. Beberapa detik setelah itu, perempuan anggun dengan dress putih tulang itu bertemu mata dengan Nina yang sudah tersenyum seramah mungkin.

Vanessa Jaziella Hartanto –putri sulung dari Jeremi Jaziel pemimpin JJ company yang bergerak di bidang properti, elektronik, dan multimedia. Serta Istri dari Reksadi Hartanto, pemimpin salah satu jaringan televisi terlaris di tanah air. Tidak lupa, wanita itu sudah dikenal sebagai Model sekaligus fashion designer yang memiliki sebagian butik fashion ternama di ibu kota.

“Yaampun, Nina. Akhirnya dateng juga.” Vanessa merengkuh tubuh Nina, tidak lupa memberikan dua salam cipika-cipiki di pipi kanan dan kiri Nina.

Nina tidak berhenti tersenyum kikuk, berhadapan langsung dengan Vanessa yang tampilannya bak permaisuri, membuat kepercayaan dirinya sedikit goyah. Riasan tipis dan rambut Nina yang terurai sangat tidak sebanding dengan riasan elegan dengan bulu mata lentik dan pipi merona milik kakak dari pacarnya itu.

“Macet ya tadi atau ada kerjaan?” Perempuan di depannya akhirnya bertanya.

“Iya kak maaf banget, aku baru selesai kerja jam 7 tadi,” jawab Nina.

“Ah iya gak apa-apa, makasih loh Nin masih tetap usahain datang,” Vanessa berkata, “ ini dibawain bunga cantik segela lagi.” Lanjutnya sambil mengambil bucket bunga yang diberikan oleh Nina.

Di depan keduanya, ada dua wanita paruh baya yang tidak kalah modis dengan tampilan Vanessa yang tampak anggun dengan balutan dress mewah dan riasan tebal–yang menutupi garis wajah–di tambah berlian yang menghiasi bagian-bagian yang seharusnya.

“Oh iya Ini pacarnya Januar, Tan. Namanya Nina,” kata Vanessa memperkenalkan, “nah Nin yang ini namanya Tante Mia adiknya Papa yang tinggal di Australia,” Vanessa menunjuk wanita dengan dress merah di sebelahnya, ”Kalau yang ini Tante Risa sepupunya Papa dari Bali.” Lanjut perempuan itu menunjuk wanita berambut pendek di depan Nina.

Nina tersenyum simpul, menyalami keduanya dengan sedikit membungkuk tanda menghormati.

“Oh yang ini pacarnya Janu, kerja apa Nina?” Dari sekian banyaknya pertanyaan, entah kenapa pertanyaan soal pekerjaan menjadi topik paling sering ditanyakan saat pertemuan seperti ini.

Nina masih mempertahankan senyumnya, “staff HRD, Tan.”

Mia mengangguk pelan sambil tersenyum tipis, sedikit terlihat kurang antusias mendengar jawaban dari gadis itu, “kerja di perusahaannya Januar?”

“Enggak, Tan. Beda bidang, aku kerja di perusahaan kesehatan.” Nina menjawab.

Risa yang dari tadi menyimak, membuka suara, “Ayah kamu pengusaha juga?”

Dan pertanyaan yang paling dihindari Nina kembali keluar, pertanyaan yang belum Nina ketahui bagaimana cara menjawab dengan halus dan tidak menimbulkan perspektif negatif meskipun pada hakikatnya memanglah hal yang negatif. Nina tidak menyembunyikannya, Janu sudah tau lebih dulu, begitupun Jeremi –ayah Janu–dan Vanessa sudah mengetahui bertahun-tahun yang lalu, meski tidak langsung mereka–Jeremi dan Vanessa–dapat menerima, tetapi sikap open minded dan dengan berbagai pertimbangan, mereka pun tidak mempermasalahkan. Toh, tidak ada yang salah dengan Nina, tidak ada yang salah menjadi anak narapidana.

Biasanya, di saat-saat seperti ini Januar akan langsung mengalihkan pembicaraan tetapi kali ini Nina harus berdiri sendirian.

“Bukan, Tan.” Jawab Nina, suaranya tidak semeyakinkan sebelumnya.

“Aduh tan, udah ah nanyanya. Nin ayo sini kakak kasih liat kalung yang kemaren Kakak janjiin.”

Nina sangat-sangat bersyukur, Vanessa mengerti situasi, dialihkannya pandangan Nina ke satu kotak perhiasan yang sudah dibawakan oleh pegawai yang entah kapan sudah hadir di tengah-tengah mereka. Suasana dingin akibat pertanyaan yang mengintimidasi berubah perlahan mencair saat pandangan beberapa tamu di sekitar fokus kepada perhiasaan yang menjadi primadona malam itu.

Special edition necklace dengan design berlian di tengah-tengahnya, menjadi satu unit terakhir–karena sebagian sudah diburu oleh pecinta perhiasan di awal acara–yang sengaja disimpankan Vanessa untuk Nina.

Nina tidak berkutik, dipandangnya kalung yang bersinar dibalutan leher patung itu, tampak cantik meski belum dikeluarkan dari kotak berbahan kaca. Vanessa sang pemilik perhiasaan, dengan lugas membuka kotak yang menghalangi, dan mengambil benda yang sudah menjadi pusat perhatian itu.

Vanessa tersenyum mengangkat kalung cantik itu, “stok terakhir untuk Nina, perempuan yang sangat dihargai oleh adik laki-laki saya satu-satunya.”

Gemuruh tepuk tangan menghiasi yang juga entah sejak kapan Nina sudah menjadi pusat perhatian sekitarnya, bersamaan dengan Vanessa yang mengangkat kalung itu dan membantu Nina melekatkan di leher jenjangnya. Dengan satu kali percobaan, kalung itu melekat indah di leher milik Nina yang juga berpadu indah dengan leher terbuka dari dress hitam yang dikenakannya.

She looks really shine.

Kepercayaan dirinya meningkat, meskipun jauh di dalam sana masih tidak menyangka, ia mendaptkan beribu kasih sayang dari keluarga laki-laki yang juga menyayanginya dengan luar biasa.

Nina mengangkat pandangannya percaya diri, ditatapnya dengan ramah sebagian tamu undangan yang memberikan tepuk tangan. Sampai saat pandangannya menemukan manusia yang sudah memenuhi isi pikirannya, seperti diwujudkan, Januar Jaziel ada di sana–datang terburu-buru dan menyelip di antara tamu-tamu. Laki-laki itu menghentikan langkahnya, saat maniknya berhasil menangkap gadis yang ia khawatirkan keberadaannya sejak tadi, sepasang mata itu tersenyum memandang sang gadis yang sama sumringahnya, Januar tersenyum bersyukur memiliki keluarga yang sangat menghargai pilihannya, walaupun ia tidak tahu akan sampai kapan, ia tidak akan hentinya berharap agar segalanya berjalan dengan sebagaimana mestinya.