ilyoujae

Cuaca sejuk pagi itu seakan merestui agenda keluarga ini, hampir dua jam perjalanan dilalui tanpa hambatan, Nina yang duduk di belakang awalnya mengira perjalanan akan terasa canggung, ternyata tidak seperti keluarga-keluarga royal pada umumnya, keluarga Januar sangat ramah dan hangat.

Agenda hari ini melibatkan dua mobil, satu mobil Pajero yang digunakan untuk membawa perlengkapan yang dikemudi oleh sopir pribadi keluarga ini, dan satu lagi mobil Alphard yang saat ini Nina dan keluarga Januar gunakan.

Reksa atau suami Vanessa sekaligus papi dari Kenzo bertugas mengendarai mobil hari ini, di sebelahnya ada Jeremi atau Papa dari Kak Vanessa dan Janu yang duduk dengan santai namun tetap terlihat berwibawa. Di bagian tengah diisi oleh Vanessa dan Kenzo, sedangkan Januar memilih untuk duduk di belakang menemani Nina. Bagi Nina sendiri, duduk di belakang pun bukan masalah di mobil sekelas Alphard ini.

Nina mengikuti Januar yang keluar lebih dulu dari mobil, Villa bernuansa modern dengan bahan kayu jati tampak sangat indah berdiri megah di depan mereka saat ini, di sampingnya tidak lupa ada pekarangan besar dengan pepohonan rindang yang mengelilingi, tak hanya itu, villa ini berhadapan langsung dengan pegunungan hijau yang tampak indah dipandang dari jauh.

“Nina, udah sering ke Bogor?” Nina mengangkat kepalanya mendengar suara paruh baya itu menyebut namanya dengan ramah.

Gadis itu melirik ke sebelahnya sekilas, Januar yang sadar hanya tersenyum membiarkan Nina menjawab, “Udah beberapa kali, Om. Biasanya karena ada agenda kampus,” jawab Nina sebaik mungkin, Jeremi mengangguk pelan.

“Kalau ke daerah sini udah pernah?” tanya Jeremi lagi.

“Belum Om, ini pertama kali, ternyata bagus banget.”

“Villa kita disini sering banget ada yang nawar mau beli, Nin. Karena emang posisinya bagus, tapi nggak pernah mau dilepas sama Papa,” kini Vanessa yang bersuara, Nina yang mendengar mengangguk menanggapi.

“Ya ngapain dijual, kenangannya banyak banget, kamu sama Ziel waktu kecil juga suka banget main disini, mama kamu juga paling suka sama villa kita yang disini,” sahut Jeremi, seperti halnya orang tua biasanya memang suka mengingat kenangan-kenangan kecil yang dialami keluarganya.

“Ayo masuk dong, Pa,” Januar memotong obrolan mereka yang masih tertahan di pekarangan Villa.

Jeremi yang menyadari langsung melanjutkan langkahnya, memasuki Villa besar tiga lantai miliknya itu.

“Ayo Nin masuk,” ajak Vanessa, Kenzo sendiri sudah berlarian ke halaman Villa yang menyediakan area bermain. “Kenzo ayo masuk dulu, Sayang. Nanti aja mainnya,” lanjut Wanita itu.


Saat ini, keluarga itu sudah berkumpul di halaman luas tepat di samping Villa, cuaca benar-benar berpihak kepada mereka, tidak terik tapi tidak juga mendung.

Nina dan Januar sudah menggelar tikar besar dan menyusun makanan yang dibawa, sedangkan di bagian lain Vanessa dan Reksa sibuk memanggang ayam dan daging.

“Aku nggak apa-apa nggak bantuin mereka?” Tanya Nina.

Januar yang sibuk menyusun makanan langsung menoleh. “Nggak apa-apa, Kak Vanessa tau kok kamu gak bisa kena asap gitu, nanti batuk lagi gimana.”

“Kalau gitu yang nyusun ini aku aja, kamu diem aja duduk,” timpal Nina sambil menarik Januar untuk duduk kembali, Nina melanjutkan kegiatan menyusun makanan dan piring-piring, sedangkan Januar yang dipaksa duduk kini tertawa kecil.

“Bareng aja, Sayang. Biar cepet selesai,” ucap Pemuda itu.

“Ih apasih sayang sayang, malu nanti didenger,” jawab Nina dengan sedikit memelankan suaranya, sang lelaki hanya menanggapi dengan tawaan.

“Dih kok malu, kayak lagi backstreet aja,” kata Januar.

“Udah diem deh, jadi bantuin nggak?” kata Gadis itu lalu mengabaikan, ia tetap fokus dengan kegiatannya.

“Ih tadi gak mau dibantuin padahal,” Januar pun mengalah dan ikut membantu kegiatan Nina.

Kegiatan makan siang keluarga itu berlangsung dengan menyenangkan, hidangan rumahan yang tersaji dan indahnya pemandangan yang mereka lihat mampu menciptakan kehangatan di tengah-tengah mereka.

Jeremi tampak bahagia melihat anak-anaknya berkumpul bersama karena ini pertama kali keluarganya berkumpul seperti ini untuk sekadar melepas penat sepeninggal istrinya.

Tak beda jauh dengan Januar yang sedari tadi tidak melepas senyum dari wajahnya, pemuda itu tampak sangat bahagia. Nina diam-diam memperhatikan sesekali tersenyum menatap eyesmile yang membuat pemuda itu tampak lebih menarik.

Nina merasa benar-benar diterima di keluarga ini, padahal membayangkan saja Nina tidak pernah, ini jauh dari ekspektasinya. Mendapat atensi bukan hanya dari Januar tetapi dari seluruh keluarga Janu adalah hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, lagi-lagi ia bertanya, apa yang menjadi alasan ia seberuntung ini.

“Kak Nina, ayo main,” Nina merasa tangannya ditarik pelan, Kenzo menggenggam tangannya, anak laki-laki berumur 7 tahun itu tersenyum berbinar menatapnya.

“Mau main apa, Ken?” tanya Nina, kini ia sudah tunduk agar bisa melihat Kenzo lebih jelas.

“Itu sama uncle Ziel,” kata Kenzo sambil mengangkat tangannya menunjuk orang yang ia maksud.

Nina dapat melihat Januar atau uncle Ziel yang kenzo maksud sedang duduk di ayunan sambil melambaikan tangannya. Nina ikut tersenyum, gadis itu merangkul si tampan Kenzo dan mengajaknya untuk menghampiri Januar.

“Kak Nin, Kenzo kira hari ini Kakak ikut buat belajar bareng sama Kenzo, tapi tadi kata Mami, Kak Nina ikut karena Kak Nina sekarang Keluarga Kenzo juga.” Kenzo berbicara sambil sesekali mengangkat kepalanya agar bisa melihat Nina.

Nina tersenyum haru mendengar ucapan anak itu, ia mengusap-usap rambut Kenzo gemas, “Kenzo nggak apa-apa kalau Kak Nina jadi keluarga Kenzo?” Tanyanya.

“Nggak apa-apa, Kak Nina baik sering ajarin Kenzo, nggak pernah marah-marah juga.” Jawab Kenzo lagi, bahkan anak itu kini tersenyum memperlihatkan gigi kelincinya.

“Ken, Kak Nina itu seumuran sama uncle, harusnya panggil dia aunty.” Itu suara Januar, Kini Kenzo sudah berlari duduk di ayunan yang di bagian tengah, Januar di sebelah kanan, dan Nina baru saja duduk di ayunan sebelah kiri.

“Kata Mami panggilnya kakak aja,” jawab Kenzo.

“Kalau gitu panggil uncle pake kakak juga dong biar adil.”

“Nggak bisa, kan uncle adiknya Mami, Kak Nina kan bukan jadi nggak bisa dipanggil aunty,” jawab Kenzo lagi.

“Tapi Kak Nina itu pac-,” Januar langsung mengatupkan bibirnya karena tak sengaja melihat Nina membulatkan mata membuatnya sadar hampir kelepasan berbicara di depan anak berumur tujuh tahun.

“Yaudah deh terserah Kenzo aja,” kata Januar mengalah dan mengakhiri perdebatannya dengan Kenzo.

“KENNN SINI NAK SEMANGKANYA UDAH DIPOTONG NIH.”

Kenzo langsung berlari mendengar teriakan Vanessa yang menyebutkan buah favoritnya.

“Jangan lari, Ken,” ucap Januar, tapi tampak sia-sia karena anak itu sudah berlari jauh menghampiri sang ibu.

Januar mengalihkan pandangannya kini menatap gadis cantik yang sedang tersenyum melihat ke depan, Januar tak sadar bibirnya ikut terangkat dan melukis senyuman disana, ia bahkan juga tidak percaya, di tengah-tengah kebahagiaannya ada Nina juga yang ikut serta.

“Nin, foto disana yuk,” Januar memecah keheningan, Nina yang dipanggil langsung berbalik menanggapi, ia mengangguk mengiyakan ajakan Januar yang menunjuk tumbuhan berbunga yang tampak tersusun cantik.

Januar dan Nina berjalan beriringan sambil mengagumi keindahan tanaman yang tertata dengan rapi.

“Kamu duduk disitu biar aku fotoin,” kata Januar, Nina nurut dan langsung duduk di tempat yang Januar maksud.

Januar mulai mengarahkan ponselnya yang sudah menampilkan layar kamera, “Aduh biasa aja dong senyumnya,” katanya seraya berakting tampak seperti terpesona, namun dibuatnya berlebihan.

“Apasih ih kayak gak pernah liat aku senyum aja,” balas Nina.

Januar tertawa. “Tapi yang barusan itu manis banget,” lanjutnya, kini ia kembali mengangkat ponselnya.

“Udah ih buruan,” kata Nina lalu melanjutkan berpose karena melihat Januar mulai serius menangkap foto.

“Nah, udah cantik,” Januar melangkah menghampiri Nina dan duduk di sebelah gadis itu.

Januar memperlihatkan hasil fotonya ke Nina yang diperhatikan dengan serius oleh gadis itu.

“Ih itu-”

“Udah cantik pokoknya ini mah, udah nggak boleh komentar, nanti aku post di feed instagram,” ucap pemuda itu yang langsung memotong perkataan Nina.

Nina tersenyum menanggapi dan tidak berkata apa-apa lagi, Januar kembali mengangkat ponselnya memperlihatkan layar kamera depan yang menampilkan wajah mereka berdua.

Januar bersandar sambil merangkul Nina, sedangkan sang gadis hanya diam menyadari posisi keduanya yang sedekat ini. Januar mulai menekan tombol kamera berkali-kali dan menangkap potret mereka berdua.

“Senyum dong, ih. Jangan gugup gitu, cuman dirangkul kok ini,” ucap Januar sambil melihat gambaran Nina dari kamera ponselnya yang masih menyala.

Nina langsung menunduk malu, menyadari Januar yang bisa melihat wajahnya dengan leluasa dari layar kameranya.

Januar menurunkan ponselnya, tapi ia belum mau untuk mengubah posisi, kepalanya masih bersandar di bahu Nina dan tangannya yang masih merangkul gadis itu.

“Makasih ya udah ikut hari ini,” kata Januar, sangat pelan, tapi posisi mereka yang sedekat itu membuat Nina dapat mendengar ucapan Januar dengan jelas.

Nina berdeham singkat. “Makasih juga udah welcome sama aku, keluarga kamu baik banget,” Jawab Nina dengan sama pelannya yang juga masih bisa didengar oleh Januar.

Keduanya kembali diam dan hanyut dalam pikiran masing-masing, Januar memejamkan matanya sambil mengeratkan rangkulan yang ia berikan kepada Nina. Nina pun menurut tidak mengelak sedikit pun, keduanya seakan menyalurkan perasaannya masing-masing di bawah pohon rindang dan cuaca sejuk di siang menuju sore hari itu hanya dengan satu rangkulan dan sandaran di tubuh masing-masing.

Nina berlari pelan menghampiri mobil berwarna putih terparkir rapi di halaman gedung fakultasnya, halaman parkiran sore itu tampak lebih sepi dari biasanya, entah karena sudah sore atau memang kebetulan saja.

Dibukanya pintu penumpang mobil itu yang langsung menampilkan penampakan indah dari sang pengemudi yang sudah memperhatikannya dari beberapa menit yang lalu.

Nina menghela napas, menetralkan degupan jantung yang semakin menjadi. Ini bukan pertama kali dia duduk di mobil itu dengan Januar di sampingnya, tapi ini pertama kali sejak peristiwa confess ala-ala yang dilakukan Januar semalam.

“Nunggu lama?” tanya Nina, ia memberanikan diri membuka suara lebih dulu agar tidak terlihat terlalu gugup di hadapan Januar.

Januar menggeleng pelan. “Bentar doang kok,” jawab cowok itu sambil menghidupkan mesin mobilnya.

“Mau kemana?” Nina bertanya, ia sedang menarik seatbelt-nya, sebelum disuruh Januar.

Januar belum menjawab sampai mobil mereka sudah melaju pelan keluar area gedung Fakultas. “Mau ke tempat mama gue, boleh nggak?” tanya Januar meminta persetujuan.

Nina berpikir sejenak, jika yang dimaksud Januar adalah mamanya yang baru pergi lima hari yang lalu, artinya kini mereka sedang menuju ke pemakaman.

“Ke makam, Nin, maksudnya,” sambung pemuda itu, setelah sebelumnya menoleh melihat wajah Nina yang tampak kebingungan.

“Oh, boleh kok, ayo.” Nina menjawab tanpa ragu.

Januar tersenyum, lalu kembali fokus mengemudi.

Keduanya menghabiskan waktu perjalanan dengan lebih banyak hening, sepertinya keduanya sama canggungnya karena kejadian semalam. Beberapa kali mobil itu diisi pertanyaan-pertanyaan random Januar seperti “gimana kuliahnya hari ini”, “tugasnya lagi banyak apa enggak”, hingga pertanyaan mengenai bagaimana Nina bisa kerja sebagai guru privat Kenzo–keponakan Januar–karena Januar sepertinya terlewat belum pernah bertanya sama sekali mengenai hal itu.

Keduanya sudah sampai di pekarangan pemakaman elite. Nina keluar lebih dulu, diikuti Januar yang memilih ke bagasi mobil terlebih dahulu untuk mengambil buket bunga, serta satu kemeja yang memang selalu tergantung di bagasi mobil cowok itu.

“Pakai dulu, biasanya suka ada serangga,” kata Januar sembari menyerahkan kemeja berwarna coklat yang baru ia ambil. Nina menurut mengambilnya dan segera melapisi kaos yang ia pakai dengan kemeja yang diberikan Januar.

Mereka pun berjalan beriringan setelah memastikan tidak ada yang ketinggalan. Berbeda dengan pemakaman umum biasanya yang bebas keluar masuk, tempat ini dilengkapi satpam yang menjaga di gerbang masuknya dan siapa pun yang ingin berkunjung harus memiliki akses dan membayar tiket masuk.

“Mau pegang bunganya? Wangi banget,” Januar menyodorkan buket bunga di tangannya itu, Nina yang dituju reflek menyiapkan tangan dan segera mengambil alih.

Nina mencium aromanya, aroma segar dari bunga asli ditambah wewangian khusus yang membuatnya langsung tersenyum.

“Mau bunga begitu?” Tanya Janu.

Nina menggeleng cepat.

“Kenapa?”

“Nggak mau aja, hm lebih ke enggak butuh? Sayang aja ntar dibeli terus mati, gue juga bukan addicted bunga atau tanaman gini, tapi suka-suka aja sih kalau nyium wanginya,” jawab gadis itu.

Januar mengangguk mengerti, sedikit merasa lega karena tidak langsung membelikan satu untuk Nina juga tadi.

Keduanya sudah sampai di pekarangan pemakaman yang mereka tuju, disana terlihat satu nisan yang jelas tampak masih baru dan bunga-bunga segar disekelilingnya.

Januar duduk di sebelah makam itu, diikuti Nina yang duduk di sebelahnya, mata nina fokus melihat satu bingkai foto kecil berisi foto keluarga di sebelah batu nisan bertuliskan nama Rosiana Irmawan.

Januar mengelus nisan itu sambil tersenyum. “Halo mama, Ziel datang lagi,” sapanya. Nina tersenyum tipis mendengar Januar menyebut nama khususnya di keluarga. “Hari ini Ziel bawa teman, bukan Ezra, Naufal, atau Reon. Tapi Nina, namanya Nina, kemarin dia juga datang ke rumah, maaf ya ma gak sempat ngenalin Nina ke mama waktu mama masih bisa ngomong, masih bisa senyum, dan masih bisa buka mata,” lanjut pemuda itu, entah kenapa suasana berubah haru. Nina yang mendengar jadi merasa terenyuh.

“Halo Tante, tante cantik banget,” kini Nina yang bersuara, ia memuji sambil memandangi bingkai foto keluarga yang dari tadi mencuri perhatiannya. Nina tidak bohong, dari foto kecil di sana, Nina dapat melihat sosok cantik yang tersenyum hangat sedang dipeluk oleh suami dan kedua anaknya. Matanya mirip sekali dengan milik Januar.

“Mama pasti lagi jawab, 'kamu juga cantik',” sahut Januar menggoda sambil menyeringai memamerkan deretan giginya seperti tak berdosa.

“Ngarang banget lo!”

“Serius kok, biasanya mama jawab gitu kalau ada yang puji,” ucap Januar lagi, tidak mau mengalah yang membuat Nina langsung mencibir.

“Kasih bunganya,” suruh Januar.

Nina mengangkat bunga di tangannya itu. “Gue yang kasih?” tanya Nina memperjelas. Januar mengangguk, ia menepuk bagian kosong di depan nisan memberitahu di mana harus diletakkan bunga itu.

Nina nurut, agak maju sedikit ke depan dan menyimpan dengan rapi bucket bunga itu di tengah tengah, hingga hampir menutupi setengah nisan.

“Makasih kata mama,” kata Januar setelah Nina kembali ke posisinya. Nina tertawa pelan menanggapi.


Janu dan Nina kini keluar dari area pemakaman menuju parkiran, suasana sejuk sore itu membuat keduanya menikmati udara di tambah pepohonan rimbun dan bahkan ada taman dengan danau kecil tepat di depan pemakaman tempat mereka sekarang.

“Mau kesana, nggak?” Januar menunjuk taman kecil yang dengan beberapa orang tengah menikmati sejuknya sore hari itu.

“Ayok,” Nina mengangguk riang, ia bahkan melangkah lebih dulu.

Akhirnya mereka memilih berjalan kaki dan meninggalkan mobil Janu di tempat parkir.

“Jangan jauh-jauh, Nin. Nanti capek baliknya,” Januar sedikit meninggikan suaranya melihat Nina yang semakin menjauh sesekali gadis itu merentangkan tangannya menikmati udara segar yang jarang ia rasakan.

Januar terkekeh, memilih duduk di atas rumput hijau karemamelihat dua bangku yang tersedia sudah memiliki penghuni, tak lama Nina datang menghampiri dan langsung duduk di sebelah Janu.

“Seru banget kayaknya,” sindir pemuda yang saat ini masih tak lepas menatap Nina, eyesmile yang dimiliki semakin terlihat manis.

Nina mengangguk santai. “Tiap hari gue liatnya cuman jalanan ribut, Nu. Hidup gue isinya cuman rapat, kuliah, kerja, bahkan weekend juga nggak punya waktu santai, sebenarnya gampang, tapi terlalu malas aja, kalau ada waktu kosong bawaannya cuman mau tidur,” oceh perempuan itu yang masih tak sadar dengan lawan bicaranya yang tak lepas memperhatikannya.

Tanpa diberitahu pun Januar sudah sangat paham betapa padatnya kegiatan Nina sejak awal Januar mengenalnya.

“Makasih ya, udah ngajak kesini.” Nina berkata pelan. Kemudian gadis itu menoleh dan matanya tepat tertuju pada netra hitam yang sudah sejak tadi tak lepas memandangnya.

Cowok itu sempat terusik kaget sebelum kemudian menjawab juga sama pelannya, “kembali kasih.”

Nina segera memalingkan wajahnya, tak sanggup meladeni tatapan mata indah Januar yang selalu sukses membuatnya jadi salah tingkah. Ditambah apa yang dilakukan pemuda itu semalam kembali berputar di memorinya, ia tahu tujuan Januar hari ini adalah untuk meminta kejelasan jawaban dari permintaannya semalam.

“Jadi yang semalam udah bisa dijawab, belum?”

Nina mengerjap, semakin tak mampu menoleh melihat pemilik suara. Padahal ia sudah mempersiapkan jawaban dari pertanyaan ini sejak malam. Ternyata ditanya secara langsung dampaknya jauh berbeda.

Januar terkekeh melihat Nina yang melongo dan masih diam penuh pertimbangan, “Gak apa apa kalau belum bisa, Nin.” Januar mengulurkan tangannya menepuk gemas rambut Nina. “Lo jangan ngira gue ajak ke mama gue hari ini biar lo ngerasa bersalah, engga sama sekali, gue udah janji jauh-jauh hari pengen ngenalin lo ke mama, kok.”

Satu fakta baru Nina ketahui hari ini, Januar benar-benar membuatnya gila karena diperlakukan seistimewa ini. Detik selanjutnya, gadis itu menoleh, menangkap basah Januar yang baru saja menarik tangannya dari atas kepala Nina. Januar menaikkan alis, kaget tiba-tiba ditatap balik.

Nina berdehem singkat. “Padahal jawabannya udah jelas.” Nina kembali diam membiarkan Januar menerka-nerka.

“Tadi gue harusnya ada rapat, tapi gue izin mati-matian ke senior gue dan akhirnya gue bisa ikut kesini,”lLanjut Nina, ia mengatupkan bibirnya, memandangi Januar yang mengerjap berkali-kali menganalisis maksud perkataan Nina.

“So, it's a yes?”

“Maybe?”

Januar memalingkan wajahnya dan mengusapnya kasar, menahan senyum salah tingkah dan degupan jantung yang semakin meningkat.

“Yang jelas dong, iya apa enggak?” tanya Januar lagi. Matanya berbinar.

Nina tertawa, wajah gadis itu memerah, dan Januar menyadari itu.

“I ... YA.” Nina menekankan ucapannya.

Selanjutnya, hanya terlihat Januar yang sibuk menyembunyikan senyumannya, walau tapi tampak sia-sia karena matanya yang berbinar dan membentuk melukis senyuman tidak bisa berbohong.

Januar melangkah mendekati gadis yang sedang duduk sendirian di halaman rumahnya, hari sudah gelap dan Nina belum pulang karena Januar memintanya menunggu sebentar. Rumah Januar masih cukup ramai di dalam, tapi suah tidak seramai sore tadi. Tempat Nina duduk sekarang juga hanya menyisakan beberapa orang.

Januar duduk tepat di sebelah Nina yang kosong. “Udah makan, kan?” tanya Januar, Nina mengangguk pelan.

“Lo udah makan?” Nina balik bertanya.

“Nanti abis ini makan, sekarang belum lapar,” jawab Januar.

Nina memandangi Januar yang tampak sangat lelah, pandangannya juga terlihat kosong. Kemeja yang tadi sore masih rapi, kini sudah sedikit berantakan dengan lipatan lengan yang tidak rapi.

“Nggak cerita malam ini juga gak apa-apa, Nu. Istirahat aja dulu,” kata Nina yang menyadari kondisi Januar yang masi kurang baik.

Januar menggeleng pelan, kemudian bergerak memperbaiki posisi duduk. “Masih ada energi, kok,” katanya dengan berusaha tersenyum.

Nina akhirnya memilih diam, tidak bertanya apa-apa lagi. Lalu hening beberapa saat, Januar juga kembali menatap kosong ke depan sembari berpikir akan memulai cerita dari mana.

Pemuda itu terdengar menghela napas, kemudian melirik Nina sekilas, sebelum mulai berbicara, “Mama udah koma 3 bulan, dia divonis radang selaput otak di awal tahun,” kata Januar membuka ceritanya. Nina yang mendengar menoleh memperhatikan pemuda itu yang masih menatap lurus ke depan, mata Januar berkaca-kaca.

“Gue udah bolak balik jagain Mama di rumah sakit berharap gue masih bisa dapat momen kecil sama mama, tapi ternyata beberapa bulan belakangan ini gue udah gak bisa ngobrol. Padahal gue sampe beli apartemen di sebelah rumah sakit biar gampang nengoknya,” Januar tersenyum kecut lalu tertunduk.

Nina reflek mengulurkan tangannya, mengelus pelan pundak cowok di sampingnya itu.

“Gue gak pernah mau nangis karena dari awal divonis Mama gue minta gue untuk nggak pernah nangis, dia cuma minta gue tetap ada di samping dia, dan tetap jalanin hidup gue sepeeri biasanya,” lanjut pemuda itu.

“Gue mungkin berusaha keliatan baik-baik aja, tapi nyatanya gue hancur Nin, mama itu pusat dunia gue, perempuan nomor satu di hidup gue, tapi sekarang udah pergi,” Januar menutup matanya dengan telapak tangan, kini ia sudah menangis, Semakin menangis saat Nina sudah merangkulnya dan Januar entah sadar atau tidak sudah menyandarkan kepalanya di pundak Nina. Itu adalah tangis pertamanya Januar hari ini.

Nina diam-diam sudah ikut menetskan air mata, tapi ia berusaha menahan isakannya. Ia membiarkan Januar menangis tersedu-sedu, meluapkan apa yang disimpannya selama ini.

“Nu, mama lo pasti bangga, disayangin dan dihargain dengan sangat luar biasa. Nangis itu manusiawi kok, makasih udah bertahan ya. Lo udah sangat berbakti sebelum mama lo pergi,” ucap Nina seraya mengusap air matanya sendiri.

Januar mengangkat kepalanya, kini menatap kedua mata Nina dengan mata yang masih berair. ”Gue pernah ketemu lo di minimarket, hari itu hari pertama mama koma.” Kata Januar masih tak lepas memandang Nina dihadapannya, Nina yang mendengarnya langsung mengerjap.

“Gue gak tau ini bakal menyinggung atau enggak, tapi lo mirip banget sama mama, malam itu gue liat lo bantuin anak jalanan, ngasih mereka makanan, dan bantu mereka belajar di tenga-tengah lo lagi kerja.”

“Selama hidupnya, mama gue juga selalu kerja, padahal dengan keuangan papa, gue rasa sudah sangat cukup untuk menuhin kebutuhan hidup kita, mama gue baik banget Nin, dia punya panti asuhan dan rumah singgah buat anak jalanan. Sampai ternyata gue baru tau kalau hampir 50% penghasilannya dia salurin kesana, dia kerja bukan buat dirinya tapi buat orang lain. Karena terus kerja sekeras itu, kerjaan juga yang buat dia sakit dan berakhir kayak gini.”

Nina diam membeku, karena dua hal. Pertama, Januar pernah melihatnya sebelum pertemuan pertama–menurut Nina–mereka saat wawancara podcast. Lalu yang kedua, sesuai tebakannya, mama Januar adalah orang yang luar biasa.

Pemuda itu benar-benar tumbuh dari keluarga yang baik.

“Makasih udah ceritain semua ya, Nu. Mama lo orang baik, dia pasti lagi di tempat yang baik sekarang.” Nina tersenyum tipis meskipun masih dengan mata yang sembab.

Januar menarik Nina sekali lagi, lalu detik selanjutnya memajukan badan dan mendekap Nina dengan erat. “Makasih udah ada di sini ya, hampir semua karakter dan sifat mama gue, gue temuin di diri lo, tapi gue harap lo nggak berakhir sakit juga kayak mama gue, ya Nin?”

Nina jalan memasuki pekarangan rumah megah yang sangat ramai sore ini, ini adalah pertama kali Nina melihat rumah Januar. Sejak memasuki wilayah rumah Januar, puluhan mobil sudah berjejer memenuhi kaki jalan, lalu melangkah sedikit, karangan bunga duka cita berjejer dari bermacam-macam instansi dan relasi.

Semua orang hadir dengan wajah pilu dan berduka, hampir semua menggunakan pakaian hitam menandakan duka hadir di rumah ini. Nina membuntuti Naufal yang menepati janji untuk menjemputnya. Gadis itu tengah celingak-celinguk melihat orang-orang di sekitarnya. Keluarga Januar adalah keluarga terpandang yang mempunyai relasi dimana-mana, tidak heran jika banyak yang ikut berbelasungkawa.

Meski belum pernah bertemu, Nina bisa menebak sebaik apa wanita yang sudah melahirkan Januar itu.

“Duduk, Nin,” kata Naufal mempersilahkan Nina duduk di kursi tamu yang berhadapan langsung dengan pintu masuk rumah Januar yang terbuka lebar, Nina duduk tepat di sebelah Ezra dan Reon yang juga sudah lebih dulu hadir.

“Itu Janu,” ucap Ezra yang duduk di sebelah Nina, ia menunjuk Januar dari jauh.

Nina memperhatikan arah telunjuk Ezra, ia dapat melihat Januar yang memakai kemeja hitam sedang berdiri di pintu masuk menyalami beberapa tamu yang bergantian memeluk dan menepuk pundaknya, dari jauh juga gadis itu dapat melihat wanita yang juga ia kenal–Bu Vanessa–yang sedang duduk menutup mulutnya dengan tisu di sebelah peti ibunya yang terbaring tak bernyawa.

Melihat Bu Vanessa kembali membuat Nina menyadari satu hal, Bu Vanessa yang biasa ia temui di rumahnya tidak pernah terlihat menyimpan sakit sebesar itu, wanita itu selalu tersenyum saat bertemu dengan Nina. Ia tidak pernah menujukkan kesedihan sedikit pun, tapi melihat bagaimana Vanessa nangis tersedu-sedu bahkan terlihat histeris, menandakan wanita itu juga punya topeng yang tebal selama ini.

Lalu Nina kembali melihat Januar, pemuda itu sama sekali tidak menangis. Tapi raut wajahnya tak bisa berbohong, tatapan matanya kosong meski dipaksa terlihat tegar.

Beberapa detik gadis itu memperhatikan Januar dari jauh hingga pemuda itu sadar dan melihatnya dengan sedikit kaget. Januar tersenyum tipis, sangat tipis. Hanya sebagai tanda bahwa ia menyadari kehadiran Nina.

Nina yang melihat justru segera menunduk, tak kuasa melihat Januar yang terlihat sedih namun berusaha sekuat itu. Banyak sekali yang ingin Nina tanyakan, tetapi melihat Januar sekarang, ia bisa paham kadaan pemuda itu. Beberapa menit berlalu, Januar datang menghampiri Nina dan ketiga temannya. Pemuda jalan dengan sedikit terburu-buru.

“Datang sama siapa?” Tanya Januar tepat saat ia tiba di depan Nina, ia menunduk karena posisi Nina yang duduk di kursi dan sedangkan tubuhnya yang jangkung itu sedang berdiri.

“Sama gue, Nu.” Naufal yang menjawab, karena Nina masih sibuk memperhatikan Januar dengan tatapan sendu dan mata berkaca-kaca. Januar mengangguk paham. “Maaf ya lo harus denger dari orang lain,” ucap Janu lagi, kini kedua tangannya sudah memegang kedua pundak Nina.

Nina menggeleng pelan. “Kenapa lo minta maaf? Lo lagi berduka, wajar nggak sempet ngasih tau apa-apa, tapi memang bakal lebih baik kalau gue tau dari awal, gue gak bisa bayangin kalau gue gak berusaha nyari tau apa yang sebenarnya terjadi sama lo,” kata Nina, suaranya sedikit bergetar.

Januar menunduk lalu merapatkan bibirnya. “Nanti gue cerita ya, Nin. Gue ke mama dulu, udah mau ke pemakaman juga,” ucap Januar pelan yang dijawab anggukan oleh Nina.

“Nu,” Nina menarik tangan Januar yang baru saja akan melangkah pergi, kemudian gadis itu berdiri.

Tanpa aba-aba, gadis itu melangkah mendekat dan memeluk Januar. Tinggi yang jomplang, membuat Nina hanya sejajar dengan leher Janu, gadis itu menepuk pelan bahu lelaki yang saat ini sudah berdiri mematung, tak memberi pergerakan apa-apa. ”Lo kalau mau nangis, nangis aja, Nu. Jangan terlalu dipendam sendirian.” Nina berbisik pelan.

Nina melangkah pelan melewati jejeran beberapa panitia di depannya, pelan-pelan kini sudah hampir sampai di barisan depan. Barisan itu khusus panitia yang ingin ikut menonton, tentu saja panitia yang sudah tidak ada jobdesc, posisinya tepat di depan panggar pembatas antar penonton, hanya berjarak satu langkah dari panggung.

Nina menyelip-nyelip, entah kenapa tiba-tiba stage tempat panitia menonton langsung ramai melihat empat orang pemuda yang sudah standby dan memberi sapaan ke audiens dari atas panggung. Neoband dengan pakaian senada berwarna hitam sudah siap di atas panggung.

Sayup-sayup Nina mendengar ocehan dari jejeran gadis-gadis di sebelahnya yang terus mengeluarkan pujian dan teriakan histeris.

“Gue naksir bassisnya sih gila cakep banget.”

“Visualnya tuh yang gitaris deh kayaknya, namanya Januar, followersnya banyak.”

“Ih gue juga suka yang itu!!!”

Nina yang mendengar berusaha menahan diri seakan tidak tau apa-apa, ia memilih memperhatikan empat laki-laki yang sepertinya sudah siap untuk memulai penampilan di depan sana. Memang itu tujuan Nina.

Pandangan Nina tertuju pada Januar, dilihatnya pemuda itu yang celingak-celinguk seakan mencari sesuatu yang hilang, dan detik selanjutnya mata keduanya bertemu. Januar tersenyum dari jauh dan melambai kecil.

“AAAAAKKKKK.”

Baru ingin membalas, tapi Nina sudah terlonjak kaget mendengar teriakan dari gadis-gadis di sebelahnya yang saat ini sudah saling berkompak ria satu sama lain mengira Januar baru saja melambai ke arah mereka.

“Okay temen-temen semua, hari ini sesuai spoiler yang udah kita kasih, sebelum kita ke main song,” Reon Sang Vokalis membuka suara, memancing riuh penonton. “Kita bakal nampilin dulu lagu dari kaleb J berjudul it’s only me, jadi siap gak kita baper bareng-bareng, malam ini??” suara gemuruh semakin menjadi-jadi menjawab kata ‘mau’ secara serentak.

“Okay, let’s do it!”

Musik sudah mulai menyala dengan lighting yang juga sudah fokus sempurna ke arah panggung, beberapa penonton mulai melambaikan tangannya mendengar intro dari lagu yang memang akhir-akhir ini menjadi favorit millenials.

Nina juga mengenali intro musik itu, kini mulai ikut mengangguk-angguk mengikuti irama musik. Januar di depan sana juga sudah fokus dengan gitarnya.

Selama ini Ribuan Hari Kudekat denganmu Lewati berbagai hal, ku ada di sisi mu.

Tanpa kau tahu perasaanku padamu sendiri ku berharap memberi kasih walau tak kembali.

Reon membuka lagu dengan suara merdu yang sangat menghayati, membuat hampir semua penonton ikut melambaikan tangan.

I maybe not yours and you're not mine But I'll be there for you when you need me It is only me Believe me girl, it's only me Yeah, it's only me!

Kini Ezra sang drummer juga ikut mengeluarkan suara dua yang tak kalah merdu, sambil memperhalus pukulan drumnya. Tidak perlu heran karena memang keempat pemuda itu bisa menyanyi, tak jarang mereka membagi vokal meskipun Reon akan mendominasi bagian.

I will always be the one who pull you up When everybody push you down And it's only me Believe me girl, it's only me! Yeah it's only me.

Naufal dan Januar ikut bersamaan mengeluarkan suara di bagian reff, tak sedikit penonton yang mengikuti bagian paling epic ini. Dari jauh Nina menyadari Januar yang tak lepas memandangnya sendu, sambil sesekali tersenyum.

Sekali pun, kau tak pernah perdulikan rasaku. Ku takkan acuhkan dirimu. Tapi kuharap, suatu saat nanti kau tahu sendiri ku berharap memberi kasih walau tak kembali.

Nina dibuat terdiam, suara Januar mengambil alih sendirian, pemuda itu menghayati dengan petikan gitarnya dan pandangan yang masih ke arah yang sama, tempat Nina berdiri. Gadis yang dituju tersenyum tanpa arti, entah harus senang karena diperhatikan ataukah harus sedih karena mendengar liriknya.

Nina menggigit bibir bawah, ia yang awalnya sudah menikmati lagu dengan baik, kini pikirannya buyar. Sementara Januar sudah kembali lagi melanjutkan penampilannya.

I maybe not yours and you're not mine But I'll be there for you when you need me It is only me Believe me girl, it's only me Yeah, it's only me!

Keempat pemuda itu mengakhiri penampilan dengan gemuruh tepuk tangan dari hampir semua penonton yang ikut menghayati. Tak sedikit yang berkaca-kaca terharu karena merasa relate dengan lirik dari lagu tersebut.

Salah satunya, Nina. Yang sampai saat ini masih diam tak berkutik. Merasa menjadi korban tamparan lirik lagu ditambah Januar yang tak disangka-sangka mengambil part itu sendirian.

Gemuruh penonton malam ini memenuhi grand outdoor, ratusan audiens tampak riang menghabiskan malam dengan melepas beban walau dengan tubuh yang sudah berkeringat lelah.

Kurang lebih sama dengan lelahnya keadaan panitia di belakang panggung, bedanya menjadi panitia tentu tidak bisa sebahagia penikmat acara, tetapi bahagianya bisa hanya dengan melihat acara berjalan lancar tanpa hambatan dan sesuai rundown hingga selesai.

Nina terus memantau jalannya acara dari pinggir panggung, susunan rundown ada di tangan kiri, talkie walkie yang terus bersuara ada di tangan kanan, dan tanda pengenal crew tergantung di lehernya, tak lupa rambut yang sudah terikat asal.

“Kak nin, bentar lagi neoband, kan?” Nina menoleh, mendapati partner divisinya datang dari arah belakang panggung.

“Iya, gimana Fir udah siap mereka? Pas lagu terakhir nanti, langsung suruh standby ya, masih ada 4 lagu lagi terus giliran mereka, ” jawab Nina mengarahkan Fira, partner divisi yang satu tahun lebih muda darinya.

Gadis di hadapannya mengulum bibir, berpikir sejenak. ”Eum, mereka maunya Kak Nina yang manggil,” lanjut Fira.

Nina mengernyit mendengar jawaban Fira, beberapa detik ia diam berpikir lalu menghela napas panjang. Pasti Januar lagi, pikirnya. Akhirnya Nina mengangguk pelan menyetujui.

“Yaudah gue yang kesana, lo gantiin disini ya,” ucap gadis itu dan melangkah segera ke *backstage untuk memenuhi permintaan Neoband, lebih tepatnya permintaan Januar.

Nina berjalan agak buru-buru karena mengejar waktu, melewati beberapa tenda lalu akhirnya tiba, dibukanya tenda bertuliskan Neoband di depan jalan masuk, ia langsung menghela napas melihat hanya ada Januar di sana–duduk tenang dengan satu tangan memegang ponselnya.

“Yang lain mana?” tanya Nina sambil berjalan mendekati Januar yang sudah sadar akan kedatangannya.

Januar tersenyum. “Udah keluar, gak ketemu ya?” Januar menyimpan ponsel lalu memperbaiki posisi duduk.

Nina memicingkan mata mendengarnya. “Nggak ada tuh, lo ngerjain gue ya? pake request ke panitia lain segala minta dipanggilin,” katanya mencibir.

Januar terkekeh sampai bola matanya hampir tak terlihat, pemuda itu melihat Nina mengubah ekspresi menjadi sedikit kesal, tapi entah kenapa malah jadi lucu di matanya. “Iya sorry, sini duduk dulu, nggak capek apa dari sore mondar-mandir mulu,” kata Januar, sebelah tangannya menepuk-nepuk bagian kosong di sampingnya.

Nina masih mengerucutkan bibir tapi ia nurut, melangkah duduk di sebelah Januar. Harusnya ia menolak, tapi pegal di badannya berdemo meminta untuk diistirahatkan.

“Udah makan?” Tanya Januar lagi, netranya masih tak lepas menatap Nina yang sedang bersandar merenggangkan tubuhnya di sofa tempat mereka duduk.

Nina menggeleng pelan, masih tak menyadari sedang ditatap lekat oleh pemuda itu. “Nanti, nunggu acara selesai,” lanjut Nina.

“Kok gitu? Kita udah dikasih makan dari tadi, masa yang ngurus acara malah gak makan sih?” protes pemuda itu.

“Telat makan doang, nggak sampe skip makan kok,” jawab Nina santai, tidak mempermasalahkan.

“Gak enak pasti udah gak panas makanannya, makanan tuh enaknya pas masih hangat,” omel Januar, lalu pemuda itu mengulurkan tangan ke atas meja mengambil sebungkus roti yang masih tersegel dan segera membukanya.

“Sama aja ah yang penting belum basi, masih bisa dimakan,” Nina masih tak peduli banyak, iatetap fokus mengistirahatkan punggungnya di kepala sofa.

“Nih,” Januar memberikan sebungkus roti yang sudah ia buka, membiarkan Nina agar langsung memakannya.

Nina menatapnya heran. “Ini udah mau keluar, gak enak diliat yang lain, masa gue sambil makan,” jawab Nina sedikit menepis tangan Januar.

“Emang ada aturannya ya gak boleh sambil makan?” Tanya januar lagi tak menyerah. Nina menggeleng pelan, memang tidak ada aturan resminya, tapi kan tetap saja.

“Yaudah kalau gitu makan aja, ganjel perut. Gue gak mau keluar kalau lo nggak mau ambil rotinya,” Januar kembali menyodorkan roti itu, Nina menghela napas, akhirnya mengalah.

“Makasih,” jawab gadis itu pelan, lalu segera melahap roti bulat di tangannya itu.

“Nanti liat gue ya,” kata Januar di tengah-tengah lahapnya nina mengunyah roti yang ia berikan.

Nina menoleh melihat Januar. ”Iya pasti liat kan gue di sebelah panggung,” jawabnya lalu kembali menggigit potongan roti.

“Pindah ke depan dong, kalau di samping gue gak bisa liat.”

Nina mendelik. “Dih mau perform apa mau liat gue?”

Januar tertawa melihat perubahan ekspresi wajah Nina, ditambah mulut cewek itu masih mengunyah. “Ya dua-duanya,” kata Januar, tangannya kini terulur, dirapikannya beberapa helai rambut Nina yang menghalangi gadis itu makan, ditariknya helai rambut itu ke belakang agar terselip kembali di telinga Nina.

Nina yang menyadari spontan tersedak, mulutnya ditutup sesegera mungkin dan memalingkan wajah membelakangi Januar. Sementara yang menjadi penyebab, malah tertawa sambil mengambilkan air mineral baru yang ada di atas meja.