drive in night

Richi masih berjalan mondar-mandir di teras rumahnya, menunggu Hagan yang sudah mengatakan otw sejak 20 menit yang lalu. Jam di tangan kanannya menunjukkan pukul 9.20 malam. Entah kemana tujuan Hagan malam ini, Richi tidak begitu peduli.

Suasana hati gadis itu sedang tidak baik, ia setuju diajak jalan-jalan malam oleh Hagan setelah memastikan Rika sang adik sudah tidur nyenyak di kamarnya.

Rika, gadis manis berusia 17 tahun itu, mentalnya tidak sekuat Richi. Melihat kedua orang tuanya berada di rumah selalu membawa kekhawatiran besar bagi Rika karena 2 tahun belakangan terlalu sering melihat orang tuanya bertengkar.

Richi sebagai kakak, mau tidak mau harus lebih memperhatikan Rika. Beberapa kali ia coba berbicara dengan orang tuanya, tapi seperti orang tua kebanyakan, mama dan papanya tidak aware dengan kesehatan mental yang dialami Rika karena melihat Rika yang tampak baik-baik saja dari luar.

Mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depan pagar rumah Richi, tanpa perlu menebak, Richi sudah berlari menghampiri Hagan yang sedang membuka kaca mobilnya sambil melambaikan tangan.

“Tadi aja nolak, taunya udah nungguin di depan, gengsi lo ya kalau langsung ngeiyain ajakan gue.” Kalimat cibiran dari Hagan menjadi sambutan pertama yang Richi terima setelah memasuki mobil pemuda itu.

“Iyain aja deh.” Jawab Richi malas, ia tidak ada tenaga meladeni ocehan Hagan saat ini.

Hagan melajukan mobilnya, tidak lupa menaikkan volume musik dari audio mobil untuk mengisi keheningan, karena ia tau betul Richi sedang tidak dalam mood untuk ngobrol.

Tidak ada pertanyaan dari Richi mengenai kemana tujuan mereka malam ini, keduanya memang seperti ini, Richi sama sekali tidak pernah mempermasalahkan kemana Hagan akan membawanya pergi,ditambah Hagan bak tour guide yang tidak pernah jalan tanpa tujuan, pemuda itu selalu mempunyai tujuannya sendiri, tempat apa yang akan ia datangi, tempat makan apa yang ingin dikunjungi, serta menu apa yang akan dipesan.

Anehnya, Richi tidak pernah kecewa dengan segala pilihan Hagan, pada dasarnya mereka memang memiliki selera yang sama, mulai dari tempat berkunjung, makanan yang disukai, hobi, hingga hal kecil seperti selera musik yang sama. Contohnya saat ini, keduanya sedang larut dalam alunan lagu Written in the Stars yang sedang berputar memenuhi seisi mobil.

Tiga puluh menit waktu berlalu hingga kini mobil Hagan mulai berjalan pelan memasuki area lapangan parkir, Richi menelusuri sekitarnya, mengernyit dan menatap bingung Hagan yang masih sibuk menyesuaikan posisi mobil agar masuk dengan rapi di barisan parkiran.

“Tempat apaan sih, Gan. Gelap banget, lo jangan aneh-aneh.” Kata Richi tepat setelah Hagan mematikan mesin mobilnya.

“Dih, apaan. Lo kali yang aneh, liat coba baik-baik ada berapa banyak mobil disini, menurut lo itu mobil datang sendiri kesini apa gimana?” Jawab Hagan tak kalah nyolot, kini ia sudah keluar dari mobil, diikuti Richi yang masih terus mengobservasi tempat itu dengan matanya.

“Ya terus ini yang didatengin tempat apa?” Tanya Richi, ia sudah mendekat membuntuti Hagan yang jalan lebih dulu.

Hagan mengangkat jari telunjuknya, menunjuk tempat yang dimaksud. Richi mengikuti arah telunjuk Hagan, dari jauh ia dapat melihat bukit yang dipenuhi gemerlap lampu taman dengan beberapa orang berlalu-lalang.

Hagan menarik tangan Richi, membuat gadis itu mau tidak mau mengikuti langkah Hagan, “cepetan, banyak nyamuk.” Lanjut cowok itu.

“Kok gue gak tau ada tempat gini, biasanya tempat gini tuh pasti rame terus viral.” Kata Richi, gadis itu masih membiarkan Hagan menarik tangannya.

“Karena ini,” Hagan menunjuk ratusan anak tangga yang membentang di sisi bukit. “Butuh effort buat sampe di atas, orang-orang keburu males mau naik.” Lanjutnya.

“Pelan-pelan.” Hagan berjalan menaiki tangga lebih dulu, Richi di belakang mengikuti dengan tangan kirinya tak lepas dari pegangan Hagan.

Satu demi satu anak tangga itu mereka lalui, hingga anak tangga terakhir dan mereka sudah sampai di puncak bukit itu. Richi tertegun, melihat bukit ini diatur sedemikian rupa, tampak cantik dan rapi. Mata gadis itu menangkap satu kios bertuliskan seafood bakar.

“Lo duduk situ, nanti keburu diambil orang bangkunya.” Richi mengikuti perintah Hagan dan berjalan menuju bangku yang Hagan maksud. Sementara si pemuda pergi ke arah kios seafood bakar.

Richi tersenyum melihat pemandangan yang ia saksikan dari tempatnya duduk saat ini, dari atas ia dapat melihat aktivitas dan hiruk-pikuk perkotaan yang masih tampak sibuk di jam 10 malam. Rasanya tenang dan takjub dalam satu waktu, seorang anak rumahan sepertinya tentu tidak punya banyak kesempatan menikmati hal-hal seperti ini, beryukur ia punya Hagan yang mempunyai skill setara dengan tour guide yang selalu menunjukkan tempat-tempat baru untuk Richi.

Tak lama, Hagan datang sambil membawa satu bungkus seafood bakar dengan berbagai macam jenis di dalamnya, pemuda itu ikut duduk di sebelah Richi.

“Nih, gak beli banyak, mahal.” Kata Hagan, dibukanya bungkusan makanan itu dan mengambil satu tusuk crabstick dan satu tusuk lobsterball untuk Richi.

“Ya kayak kata lo tadi, penjualnya juga butuh effort naik kesini, kita bayar effortnya dia.” Richi sudah melahap crabstick miliknya, gadis itu kembali menatap pemandangan yang disuguhkan dari tempatnya, seperti tak ingin kehilangan momen sedikitpun.

“Coba lo hitung ada berapa rumah yang kelihatan.” Celetuk Hagan tiba-tiba, ia ikut memandangi pemandangan kota dari tempatnya duduk saat ini.

“Ngaco.” Jawab Richi.

“Yang paling gampang dah, hitung berapa banyak gedung yang lo liat.” Lanjut Hagan.

“Ya banyak, segabut-gabutnya gue juga gak minat buat ngitungin, sih.”

Hagan tertawa singkat, digigitnya suapan terakhir crabstick miliknya.

“Yang kelihatan dari sini itu cuman sebagian kecil dari kota ini, belum satu kota, satu provinsi, apalagi satu negara. Kalau sebagian kecil dari kota ini aja udah segede ini, bisa bayangin kan ada berapa banyak tempat-tempat indah yang bisa kita datengin?” Hagan melirik Richi yang masih diam tenggelam dalam pikirannya, “Dunia ini terlalu besar untuk kita abaikan dengan terus-terusan nutup diri dan diam di satu ruangan, chi.” Lanjut pemuda itu lagi.

Richi diam tak menjawab, rasanya dunianya sudah nyaman seperti ini sejak beberapa tahun belakangan, semuanya berubah selain omelan dan celotehan Hagan.

“Seberapa kuat apapun lo menurup diri, gue bakal buat lo kembali ke diri lo yang sebenarnya, i miss the old Richi.” Lanjut Hagan, pemuda itu tersenyum simpul masih memandang gemerlap lampu kota dari atas bukit itu.