Cendol
Fokus gadis berambut pendek sebahu itu sudah diambil alih oleh layar laptop di hadapannya yang menampilkan adegan manis dari tontonan yang sedang ia lihat, tubuh gadis itu bersandar di kepala ranjang dengan sebelah tangannya yang memegang mangkuk berisi snack rasa jagung. Lampu di kamarnya ia redupkan dan suhu kamarnya ia turunkan.
Bagi orang lain, hal ini adalah bentuk self reward. Tetapi bagi Richika, ini adalah self healing yang merujuk ke rutinitas. Ia tidak memiliki kegiatan lain untuk mengalihkan segala penat di tubuh dan pikirannya selain menyendiri setiap hari.
Pandangan Richi teralih saat ponselnya bergentar, ia sedikit merutuki diri karena lupa mengganti mode ponsel ke mode DND. Richi mengangkat ponselnya, melihat panggilan masuk dari satu nama yang ia rasa sudah dapat dikategorikan sebagai most interact di ponselnya. Hagan.
Richi menerima panggilan itu setelah menghela napas panjang, “ASTAGA GUE KIRA LO MATI, ANJIR.” Richi reflek menjauhkan ponselnya kaget mendapat teriakan dari pemuda di seberang sana.
“Apasih.” Jawab Richi ketus.
“Gue dari tadi mencet bel kenapa gak ada yang bukain.” Ungkap pemudia itu.
“Belnya gue mute.” Jawab Richi asal, ia mulai bergerak menurunkan kakinya bergegas keluar kamar karena paham jika Hagan masih menunggu di depan rumahnya.
“Emang bisa?” Tanya hagan.
“Ya bisa.” Jawab Richi lagi, kini ia sudah menuruni anak tangga menuju pintu depan.
“Yaudah bukain cepet, gue takut nih rumah lo hawanya serem.” Omel pemuda itu lagi.
Richi memutar knop pintunya yang langsung menampilkan penampakan pria berkaos hitam dilapisi jaket denim dengan goodie bag di tangan kanannya. Si lelaki langsung masuk begitu saja tanpa menyapa sama sekali. Richi menatap sinis si lelaki, ditutupnya kembali pintu utamanya dan berjalan menyusul Hagan yang sudah berjalan masuk ke dapur dan meletakkan goodie bag yang dibawanya ke meja makan.
“Lo bawa apa lagi?” Tanya Richi, ia membuka goodie bag itu dan melihat 2 kotak Tupperware transparan sehingga gadis itu dapat melihat isi di dalamnya.
“Cendol?” Tanya Richi memastikan.
Hagan mengangguk, pemudia itu sedang mengambil satu kaleng soda dari lemari pendingin. “Bunda gue yang buat tuh, rasanya gak jauh beda sama brown sugarnya chatime, gue jamin.” Candanya.
Richi diam tak habis pikir, mengantarkan satu kotak cendol di hampir jam 9 malam bukan satu-satunya karandoman yang pernah dilakukan pemuda di hadapannya ini. Dulu bahkan Hagan pernah membawakan adonan perkedel yang siap digoreng, ayam mentah yang sudah ditaburi adonan tepung, hingga hal sederhana seperti buah-buahan yang sudah dipotong-potong dan dipisahkan di dalam kotak yang berbeda.
Jika ditanya siapa yang berkontribusi besar dalam urusan lambungnya, ya dia adalah Hagan Amaru.
“Orang-orang pada kemana?” Tanya Hagan, kini pemuda itu sudah duduk manis di salah satu kursi meja makan sambil menyesap kaleng soda.
“Rika nginep rumah temannya.” Jawab Richi.
“Om? Tante? Gak pulang?” Lanjut Hagan.
Richi diam, memilih mengabaikan. Hagan yang paham hanya mengangguk pelan, tidak melanjutkan pertanyaan.
“Indomie enak nih.” Seru Hagan, lelaki itu berdiri dan menghampiri lemari dapur tempat persediaan indomie.
“Mau yang kuah apa yang goreng, Chi?” Tanya Hagan sembri menoleh menatap Richi.
“Kuah.” Jawab Richi singkat. Tanpa berpikir Hagan langsung mengambil dua bungkus mie rasa kari yang ia ketahui sebagai varian paling favorite perempuan itu.
Satu hal yang tidak pernah Richi pahami adalah ia yang tidak pernah bisa menolak apapun ajakan Hagan, karena sering bersama membuat Richi seakan mempercayai segalanya kepada Hagan. Richi tidak pernah meminta bantuan secara blak-blakan tapi Hagan seakan mengetahui segala yang Richi butuhkan. Tidak sedikit orang yang mempertanyakan hubungan keduanya, tapi baik Richi maupun Hagan tidak pernah sulit untuk menjawab, karena keduanya sadar hubungan ini hanya sebatas teman atau mungkin satu level di atasnya yaitu sahabat. Setidaknya untuk saat ini.