show up
Puluhan orang sudah mengisi auditorium kampus pagi itu, perlombaan debat sudah dimulai satu jam yang lalu. Bak ruang sidang yang menegangkan, rasanya perlombaan debat memang selalu seperti itu.
Beradu argumen yang sebenarnya tidak ada yang murni benar dan salah, tapi kecerdasan berpikir cekatan dan berbicara yang tepat jadi poin utama.
Bukan hal baru bagi Richi berada di posisi ini, sejak SMA dia sudah sering berkompetisi baik keilmiahan maupun non keilmiahan. Debat hanyalah satu dari sekian banyak hal yang ia minati. Bahkan gadis itu pernah dijuluki the most valuable student di sekolahnya dulu.
Bertahun-tahun menutup diri dan menjadi pribadi yang berbeda tentu bukan hal yang mudah bagi Richi untuk berdiri lagi di tempatnya saat ini.
Dalam beberapat menit, ia sudah menjadi pusat perhatian. Berada di tengah-tengah auditorium dan dipandang beberapa dosen dan civitas akademik, tidak lupa jejeran mahasiswa dari beberapa jurusan dan program studi yang juga turut menyaksikan.
Dewan ini percaya bahwa politik reaksioner berupa sikap pemuda yang selalu mempertanyakan dan banyak menuntut sikap pemerintah akan membuat Negara Indonesia semakin cepat berkembang.
Begitu mosi perdebatan yang Richi, Citra, dan Rangga dapatkan. Ketiganya melakukan case building selama 15 menit untuk mempersiapkan diri.
“Pembicara pertama dari program studi ilmu komunikasi apakah sudah siap?”
Richi tersenyum tipis, ia meraih microphone menandakan kesiapannya. Dipandanginya audience dengan percaya diri, sekilas menatap kumpulan teman-teman satu prodinya yang tampak lebih gugup dari dirinya.
Suara tegas Richi menggema seiring dimulainya timer di layar, gadis itu berbicara lantang dan rapi, pemaparannya jelas ditambah data dan fakta dari berbagai sumber yang seakan sudah melekat di kepalanya.
Seluruh mata tertuju pada gadis itu hingga waktu 7 menit tidak terasa apa-apa dan menyisakan satu menit terakhir, rekan timnya yang masih duduk di belakangnya dibuat diam, ekspresi yang awalnya cemas berubah menjadi terkejut bukan main, ekspektasi mereka kepada Richi tidak sebesar itu, tetapi gadis itu berhasil melampauinya.
“Oleh karena itu dari penjelasan ini saja dewan juri yang terhormat, sudah dapat terlihat bahwa di atas kertas kemenangan bisa menjadi milik pihak oposisi, terima kasih.”
Richi menyelesaikan closing steatment-nya dengan sempurna, detik berikutnya riuh tepuk tangan mengiringi senyuman gadis itu, tribun kanan yang menjadi milik teman-teman satu kelasnya mendadak riuh sorak-sorai tepuk tangan, sementara Richi bersusah payah menahan tawanya melihat Hagan memimpin dengan acungan jempol dengan wajah yang sudah tidak terkontrol.
Sudah ia bilang kalau dia bukan tanding bola jadi tidak perlu rusuh, tapi tetap saja, Hagan tetaplah Hagan.
Waktu ishoma sudah tiba, pertandingan akan dilanjutkan ke babak final dimana ada 6 tim yang berhasil masuk dan salah satunya adalah tim Richi. Gadis itu berjalan menaiki tribun bagian atas yang sudah sepi karena penghuninya sudah melipir beristirahat di luar, begitu juga dengan teman-teman sekelas Richi, sekarang auditorium itu hanya diisi sebagian panitia dan beberapa peserta yang sedang menyantap makan siangnya walau sudah lewat satu jam sejak waktu makan siang, sebab perlombaan selesai lebih lambat dari yang seharusnya.
Richi meneguk air mineral botol dengan tangannya sebelum tersedak tiba-tiba saat entah dari mana Hagan sudah muncul dan duduk menyambar di sebelahnya.
“Uhuk-“ Richi menutup mulutnya, tersedak air menembus hidung sungguh termasuk salah satu kejadian yang menyebalkan.
“Lah kok kaget banget Chi, padahal gue gak niat ngagetin.” Kata cowok itu seperti tak bersalah.
“Lo bisa nyapa dulu gak sih, ngagetin banget gak ada suara apa-apa langsung muncul gitu.” Omel Richi, sudut matanya sudah menampilkan hawa peperangan.
“Iya iya maaf bu, salah lagi deh gue gak apa-apa.” Hagan memilih mengalah.
Pemuda itu menyodorkan satu gelas minuman dingin yang sukses membuat Richi melongo.
“Okky jelly drink?” Tanya Richi memastikan meski sudah jelas-jelas mengetahui dari label produk itu.
Hagan mengangguk, “lo lagi gak bisa makan siang kan, nah ini minuman bisa bikin kenyang,” cowok itu masih setia menyodorkan minuman rasa jeruk itu ke depan Richi yang sama sekali belum disentuh oleh cewek itu.
Richi diam beberapa detik, kebiasaannya yang tidak bisa makan saat sedang gugup masih melekat di ingatan Hagan. Sudah menjadi kebiasaan Richi yang tidak akan pernah mengonsumsi apapun kecuali air mineral saat ia akan ujian, lomba, atau dalam kondisi apapun yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat atau perasaannya tidak tenang.
“Kok cuman dua?” Tanya Richi lagi.
“Satunya buat gue, lo minum satu aja kalau kebanyakan nanti batuk-batuk, kan gak lucu nanti lo lagi debat tiba-tiba uhuk uhuk.” Jawab Hagan sambil memperagakan gaya batuk-batuk yang langsung ditimpali cibiran dari Richi.
“Gue mau yang rasa jambu.” Kata Richi sambil memandang minuman yang sama dengan warna yang berbeda di tangan kiri Hagan.
“Yaudah, tukeran.” Hagan menarik tangan kanannya dan balik menyodorkan tangan kirinya yang memegang minuman warna merah muda itu dan langsung disambar begitu saja oleh Richi.