suatu malam di Jogja

Waktu menunjukkan pukul empat lewat tiga puluh menit di sore hari yang tenang itu. Hagan dengan mobil Hummer hasil pinjaman dengan pamannya pagi tadi, kini sudah sampai di halaman rumah Eyang yang dipenuhi pohon-pohon rindang di sekitarnya.

Langkah pemuda itu dipercepat, memasuki rumah beraksen tradisional yang sudah direnovasi sehingga sudah memiliki sentuhan modern itu.

Tidak perlu effort yang lebih banyak saat netra Hagan sudah bisa menangkap senyuman lepas dari Richi yang sedang membantu Eyang membungkus beberapa oleh-oleh yang Hagan yakini akan ia bawa pulang ke Ibu Kota.

“Nah iki Mas Hagan udah balik,” wanita berumur pertengahan 60-an itu yang pertama kali menyadari kehadiran Hagan, diikuti oleh Richi yang juga ikut menoleh dan memperhatikan Hagan yang sudah beranjak mendekati keduanya.

Hagan mengulurkan tangan dan mencium pundak tangan sang Eyang.”Maaf kesorean, Yang.” Kata pemuda itu.

Hagan tidak fasih berbahasa jawa, lahir dan tumbuh besar di ibu kota membuatnya jadi tidak mengerti bahasa tempat ayah dan bundanya berasal. Terlebih bahasa jawa khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta ini memiliki banyak sekali jenis dan perbedaan cara penggunaannya.

Untungnya, Eyang Ani bukanlah sosok orang tua yang mempermasalahkan penggunaan bahasa, bahkan Eyang Ani termasuk golongan orang tua yang tidak gelagapan saat harus mengikuti bahasa anak jaman sekarang, mengingat umurnya juga yang masih terbilang muda untuk ukuran seorang nenek yang sudah mempunyai 5 orang cucu dewasa.

“Jam enam nanti, Hagan sama Richi berangkat ya, Yang. Hagan bawa mobil Mas Iyok, soalnya mau jalan-jalan dulu sebelum ke Stasiun. Udah izin Mas Iyok, Kok.” Kata Hagan lagi, laki-laki itu sudah duduk tepat di samping Richi yang masih belum bersuara.

Hagan memperhatikan Richi yang masih sibuk dengan kegiatannya. Satu-satunya bagian yang menjadi titik fokus Hagan adalah dua iris mata gadis itu, tanpa perlu alasan dari si empunya, Hagan sudah dapat memastikan Richi habis menangis sebelumya.

Mata gadis itu sembab dan masih tampak sisa berkaca-kaca, namun dengan susah payah ia sembunyikan dengan senyuman yang terukir dari bibirnya.

Hagan diam tanpa menegur apa pun, hatinya khawatir tapi lega di saat bersamaan. Setidaknya, Richi sudah mengeluarkan semuanya lewat tangisan.

______

Hagan dan Richi sudah berada di dalam mobil Hummer hasil pinjaman dari sang paman sebelumnya. Ia sengaja mengosiasi Mas Iyok untuk meminjamkan mobilnya malam ini dan akan ia bawa ke stasiun yang nantinya mobil itu akan diambil kembali oleh orang suruhan Mas Iyok di stasiun.

Keduanya masih diam membisu, lebih tepatnya karena Richi yang masih murung sejak sore tadi. Suasana hatinya beum membaik, Hagan pun tidak berani bertanya apa-apa. Hagan mulai menjalankan mobilnya, setelah melakukan adegan dadah-dadah dengan Eyangnya yang masih berdiri di teras rumah.

Mobil itu telah melaju keluar halaman, dua hari di Jogja memang tidak berasa apa-apa. Tetapi ini lebih baik daripada tidak berkunjung sama sekali.

Seperti biasa, Hagan tidak berniat memberitahu kemana mereka akan pergi, begitupun Richi yang tidak bertanya apa-apa.

Lima belas menit hanyut dalam hening sebelum mobil Hagan berhenti tepat di seberang minimarket yang sudah tidak asing lagi ditemui di berbagai penjuru wilayah Indonesia. Hagan membuka seatbelt dan mematikan mesin mobilnya.

“Lo mau ikut nggak?” Tanya Hagan.

Richi menoleh sebentar, memperhatikan sekitarnya sebelum menyadari ia kini sedang berada di seberang minimarket. “Mau ngapain?” Gadis itu balik bertanya.

“Ya, mau belanja.”

“Buat apa?”

“Ck udah mau ikut apa enggak? kalau enggak, gue tinggal.”

Richi memasang wajah tak tertarik, ia menggeleng dan kembali fokus pada ponsel di tangannya. Hagan mencibir sebelum akhirnya keluar sendirian dari mobil dan segera menyebrang jalan.

Hagan sudah kembali dengan dua bungkus plastik besar di tangan kirinya, perhatian Richi sedikit teralih saat bungkusan itu di bawah ke jok belakang oleh Hagan. Samar-samar ia dapat melihat berbagai macam makanan ringan dan minuman dingin serta rerotian yang terlihat di sana.

“Buat siapa?” Tanya Richi setelah Hagan kembali ke posisi safety dengan seatbelt yang sudah melingkari setengah bagian tubuhnya.

“Buat orang yang butuh.” Jawab Hagan asal.

Richi menghela napas, malas untuk bertanya lebih lanjut, ia mengikuti saja apa yang akan dilakukan Hagan setelah ini.

Tempat yang mereka singgahi adalah sebuah yayasan dengan bangunan sederhana ditambah pekarangan luas yang diisi berbagai macam mainan sederhana seperti ayunan kayu, jungkat-jungkit, hingga dua perosotan yang berjejer.

Mata Richi sibuk menjelajahi tempat itu, hingga sadar bahwa mereka sedang berada di sebuah panti asuhan setelah melihat kumpulan anak-anak berusia sekitar enam sampai sembilan tahun tengah duduk di teras dengan buku bacaan di depannya.

Panti Asuhan Kita. Nama tempat itu.

Richi mengikuti langkah Hagan memasuki rumah itu. Pandangannya tak berhenti memperhatikan anak-anak kecil yang tengah belajar, bermain, hingga menangis di saat bersamaan.

“Halo, Bu.” Sapa Hagan ketika disambut oleh wanita paruh baya yang datang menghampiri keduanya. Wanita itu tersenyum bembalas uluran tangan Hagan.

“Selamat datang, Mas, Mbak.” Jawab wanita itu.

“Lagi pada ngumpul ya, Bu?” Tanya Hagan sembari memperhatikan sekelilingnya.

“Iya jam segini masih pada main, Mas. Sambil nunggu makan malam.” Richi di belakang Hagan sibuk memperhatikan dua anak perempuan berusia sekitar 7 tahun itu sedang bermain masak-masakan. Diam-diam Richi mendengar percakapan keduanya.

“Yay kuenya udah jadi.” Kata si anak perempuan berambut curly sambil mengangkat satu buah mainan berbentuk mangkok yang dibalik. Mereka menganggapnya sebuah kue. “Sekarang kamu tiup lilin, ya.” Lanjutnya.

Gadis kecil lain di hadapannya tersenyum ceria, bertepuk tangan sebelum menutup matanya, memanjatkan doa dalam diam. Kemudian keduanya beracting seakan sedang meniup lilin padahal todak ada apa-apa di sana.

Richi tersenyum pilu. Ada yang sedang berulang tahun juga hari ini. Bedanya anak itu masih tersenyum meski hanya dengan kue yang ada di angan-angannya.

“Ayo kesini semuanya, ini mas sama mbaknya bawa makanan banyak.” Dalam satu panggilan, anak-anak panti itu langsung memburu, tersenyum riang padahal mereka belum ada yang tahu makanan apa yang akan mereka dapatkan.

“Waduh rame banget, tenang dulu, nanti pasti dapat semua.” Kali ini Hagan yang berbicara.”Kalau mau ambil makanannya, harus ada syaratnya, ya.” Lanjut Hagan.

Sebagian anak-anak itu memasang wajah memelas, mendengar kata syarat yang diucapkan Hagan.

“Ih jangan nyerah dong, gampang kok syaratnya cuman tos ke Mbak yang di sebelah ini, terus ucapin selamat ulang tahun, Mbaknya lagi ulang tahun hari ini. Gampang kan?” Sontak anak-anak itu langsung berteriak dengan kompak, sebagian dari mereka sudah membentuk barisan mengantre di hadapan Richi.

Richi masih diam melongo, menoleh melihat Hagan yang ikut tertawa cekikian melihat anak-anak tersebut rebutan mengantre. Hagan yang sadar ditatap seperti itu jadi balik membalas tatapan Richi, Hagan menunjuk dengan dagu ke antrean di depan Richi, dengan maksud agar gadis itu segera memulai rangkaian bagi-bagi makanan ini.

Mau tidak mau Richi mengikuti cara itu, tangannya satu persatu ditepuk pelan oleh anak-anak itu sambil mengucapkan beragam kata-kata ucapan selamat ulang tahun, Hagan di sebelahnya bertugas sebagai pembagi makanan.

“Selamat ulang tahun ya Mbak.”

“Hepi besday, Mbak.”

“HBD Mbak.”

Kata-kata tersebut terus terulang, membuat senyum Richi ikut mengembang. Selanjutnya, mata gadis itu tertegun saat menangkap salah satu dari dua gadis kecil tadi yang sedang melakukan adegan tiup lilin, kini muncul di hadapannya dengan senyum super tulus.

“Selamat ulang tahun, Mbak.” Katanya riang sambil menanggkat tangannya untuk melakukan adegan Tos.”Ulang tahun kita sama.” Lanjutnya lagi sambil memperhatikan deretan giginya.

Richi tersenyum simpul, “Selamat ulang tahun juga ya,” Jawab Richi. “Gan, adek yang ini kasih dua ya, dia juga lagi ulang tahun.” Kata Richi.

Hagan yang merasa terpanggil pun langsung mengeluarkan dua bungkus makanan ringan dengan merk berbeda ke gadis kecil ya dimaksud.

“Makasih ya Mas, Mbak.” Katanya tersenyum riang, lagi.

Agenda bagi-bagi makanan malam itu telah selesai, Hagan dan Richi juga bermain cukup lama dengan anak-anak panti. Selain ikut makan malam bersama yang entah inisiatif dari mana, Richi tadi terketuk untuk membelikan sedikit tambahan makan malam untuk anak panti, sehingga menambah kenikmatan makan malam mereka malam ini.

Setelah makan malam pun, mereka masih sibuk bermain, Richi mengajari anak-anak yang sudah bersekolah untuk mengerjakan PR, lalu Hagan yang asik bermain gitar bersama pemuda-pemuda belasan tahun yang ikut antusias meyaksikan Hagan menunjukkan kebolehannya dalam bermain alat musik.

Hingga waktu menunjukkan pukul dua puluh lewat lima belas menit, Hagan dan Richi berpamitan untuk pulang. Keduanya juga harus segera ke stasiun dan harus tiba di sana pukul Sembilan. Setelah berpamitan yang cukup haru karena keseruan yang mereka lewati malam ini, Hagan dan Richi sudah masuk di mobil mereka.

Energi keduanya cukup terkuras, namun hal itu digantikan oleh kehangatan yang mereka dapatkan malam ini. Mata berbinar dari anak-anak yang bisa dibilang kurang beruntung karena harus tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tua, menjadi alasan kenapa mereka harus lebih banyak bersyukur dan tidak banyak mengeluh, setidaknya keduanya masih punya orang tua untuk dilihat, meskipun tidak semua merasakan kebahagiaan.

Hagan membuka dashboard, mengeluarkan satu kotak berukuran kecil, keluar dari tempat itu. Selanjutnya, ia berikan pada Richi yang baru saja memasang seatbelt. Gadis itu sempat terlonjak, ia sebenarnya sudah tidak mengharapkan apa-apa dari Hagan setelah apa yang baru saja mereka lewati dengan anak-anak panti, Richi sudah menganggap itu adalah hadiah dari Hagan. Tapi tangan Richi sudah terulur untuk meraih kotak itu.

“Bukanya nanti pas lo udah sampe rumah aja,” ucap Hagan. ”Oh iya, jangan berekspektasi gue ngasih yang mahal-mahal ya, Chi. Itu kotaknya doang yang bagus, isinya mah lebih murah dari nasi padang.” Lanjutnya.

Richi mencibir, siapa juga yang berekspektasi tinggi. Hagan bukan orang yang suka memberikan hal-hal mewah dengan harga tinggi, selama enam tahun saling kenal, Hagan tidak pernah memberinya hadiah ulang tahun yang mahal, laki-laki itu akan memberikan barang yang mungkin tampak tidak berguna bagi orang lain tetapi bagi Richi punya makna tersendiri.

Mobil mereka kini sudah melaju, tujuannya adalah stasiun kereta. Mereka akan pulang malam ini, meninggalkan Jogjakarta. Tidak ada kunjungan ke tempat-tempat terkenal di Jogja seperti Jalan Malioboro yang dikenal sebagai jantung kota Jogja atau kunjungan ke Alun-alun kidul yang selalu ramai tiap malamnya.

Richi menyadari, Hagan mengajaknya ikut bukan untuk berlibur untuk melepas pnat dari hiruk-pikuk ibu kota, tetapi agar Hagan dapat tetap menemani Richi di hari ulang tahunnya. Andai saja Richi tidak ikut, mungkin ia hanya akan menghabiskan waktunya berdiam diri dan menonton serial drama korea favoritnya sepanjang hari.