status upgraded

Jam dinding di kamar bernuansa monokrom itu menunjukkan pukul 7 pagi, semerbak wewangian dari parfum milik si pemilik kamar memenuhi seisi ruangan itu. Hagan sudah rapi, ripped jeans yang ia kenakan terlihat serasi dipasangkan dengan sweater abu-abu yang sudah ia tarik lengannya hingga di bawah siku.

Tidak ada kelas yang akan ia hadiri, tidak juga dengan rapat organisasi atau segala hal tentang kepanitiaan. Hari ini ia akan ke bandara, mengantar gadis yang hampir setiap hari ia temui, yang sayangnya tidak akan terjadi lagi selama enam bulan ke depan. Richi akan berangkat ke Los Angeles pagi ini untuk melaksanakan program exchange selama satu semester.

Hagan mengambil satu buah jam tangan dan memasangnya di pergelangan tangan kirinya sebagai sentuhan terakhir sebelum keluar dari kamar. Langkahnya terhenti di depan pintu kamarnya, kemudian dengan cepat kembali dan menarik satu buah laci di meja belajarnya, mengambil satu buah benda kecil yang segera ia masukkan ke dalam kantong jeans yang ia kenakan.

Hagan buru-buru keluar dari kamar, menuruni anak tangga satu persatu, dan berjalan cepat ke arah dapur untuk menemui sang bunda. Pemuda itu mengambil satu buah bakpao berisi selai srikaya yang tidak lain adalah buatan bundanya sendiri.

“Jam berapa sih pesawatnya, mas?” Tanya Linda, wanita paruh baya itu membawakan satu gelas susu vanilla untuk putra semat wayangnya itu.

“Sekitar jam 8, Nda.” Jawab Hagan dengan mulut yang masih penuh.”Richi udah pamit sama Bunda?” Tanya Hagan.

Linda mengangguk, “Richi telpon Bunda semalam.” Lanjutnya. Hagan mengangguk-angguk kecil menanggapi, cowok itu sudah menyeruput susu hangat buatan Bundanya. Matanya sedikit melirik ke layar ponsel yang ia letakkan di atas meja, ada notifikasi beruntun yang masuk.

Hagan meletakkan gelasnya, menggantinya dengan ponsel dan membaca satu persatu pesan yang masuk dari orang yang sama.

‘Woi ke kampus sekarang gan’ ‘Urusan pemira’ ‘Disuruh kaprodi nih, cepetan gue gak mau datang sendirian, lo yang calon kahim’

Hagan langsung berdecak membaca rentetan pesan dari Rifki, sahabat sekaligus calon wakil himpunannya itu. Tak ada pilihan lain, Hagan segera menghabiskan potongan bakpau terakhirnya dan buru-buru berpamitan ke Bundanya.

“Kenapa?” Tanya Linda ikut panik melihat Hagan yang buru-buru menyeruput susu hangatnya hingga habis.

“Ada urusan di kampus, mau ke kampus dulu, Nda. Pamit ya.” Jawab Hagan sambil meraih tangan bundanya untuk dicium dan segera berpamitan.


Tiga puluh menit menghabiskan waktu di dalam ruangan bersuhu dingin milik kepala program studi. Hagan, Rifki, serta beberapa pengurus himpunan lain baru saja menyelesaikan pertemuan dadakan dengan kaprodi, pemilihan raya untuk himpunan kali ini harus dilaksanakan secara aklamasi setelah satu pasang paslon yang lain mengundurkan diri.

Hagan tidak lepas bolak-balik memperhatikan jam di tangan kirinya, sudah pukul tujuh lewat empat puluh menit. Kurang lebih dua puluh menit lagi waktu yang ersisa untuk menemui Richi. Sebelumnya, hagan sudah memberitahu Richi jika akan terlambat, tapi melihat waktu yang semakin sempit mau tidak mau Hagan harus pergi ke bandara sekarang. Butuh lima belas menit untuk ke bandara, belum lagi jika terkena macet.

Hagan berlari menghampiri Rifki dan beberapa temannya yang berjalan lebih dulu dihadapannya, “Ki, lo selesaiin dulu yang lain, gue harus ke bandara, gue ditunggu Richi.” Kata pemuda itu. Belum sempat Rifki membalas, Hagan sudah lebih dulu berlari ke arah parkiran.

“RAPATNYA GIMANAAAAA?” Teriak Rifki dengan sekuat tenaga, membuat beberapa orang di koridor memperhatikannya dengan tatapan keheranan.

“LO YANG GANTIIN DULU, LO CALON WAKAHIMNYA.” Jawab Hagan dari kejauhan dengan suara tidak kalah tinggi.


Dengan kemampuan relasi dan pengetahuannya memahami jalan tikus, Hagan akhirnya sampai ke lokasi bandara. Cucuran keringat dan dentuman detak jantungnya beradu cepat. Waktunya kurang dari sepuluh menit lagi. Ia berdecak sebal, niatnya datang lebih awal ke bandara beberapa jam yang lalu tidak sesuai realita yang terjadi. Rencananya hancur dan niatnya diambang batal.

Hagan mempercepat langkahnya, bahkan sudah berlari secepat mungkin. Kalau bukan kali ini, kapan lagi. Ada ucapan yang belum disampaikan, ada perasaan yang belum diutarakan. Mau tidak mau dan siap tidak siap, ia tidak boleh kalah dengan gengsi dan berakhir mengulurnya lagi.

Sementara, di sisi lain. Richi tak berhenti memperhatikan sekitarnya. Sesekali ia membuka roomchat milik Hagan yang terakhir kali mengirimkannya pesan bahwa ia sudah sampai.

Richi mengaku bahagia hari ini, sebab mama dan papanya ikut meluangkan waktu untuk mengantarnya, meski hal ini tidak bisa menjadi alasan kembali utuhnya keluarganya, setidaknya ia bersyukur setelah kasus manipulasi prestasinya terungkap, kehidupan Richi perlahan terasa membaik. Bahkan ia tidak merasa khawatir harus berangkat meninggalkan keluarganya hari ini, tetapi ada satu titik di hatinya yang terasa kurang. Dia harus bertemu Hagan, sebelum ia menghabiskan waktu enam bulan di benua yang berbeda.

Hembusan napas Richi terasa lega saat matanya berhasil menangkap keberadaan Hagan yang setengah berlari menghampirinya dengan sama leganya, pemuda itu terengah, tepat di hadapan Richi ia membungkuk menopang badannya dengan kedua tangan yang ia tumpu pada lututnya.

“Engap, Chi.” Kata pertama yang keluar dari mulut Hagan, setelah ia kembali menegakkan tubuhnya.

“Harusnya kalau gak bisa datang, bilang aja.” Jawab Richi. Hanya agar terlihat tidak berharap, padahal hatinya berkata sebaliknya.

Hagan tidak memperdulikan ucapan Richi, ia melangkah mengampiri Mama dan Papa Richi yang juga menyadari kedatangan cowok itu,

“Halo Om, Halo Tante.” Kata Hagan sambil mencium tangan Desi dan Willy, Orang tua Richi yang sudah tidak asing lagi dengan Hagan.

“Cie kak Hagan.” Celetuk Rika, gadis berambut sebahu di sebelah Richi itu menggodanya.

“Udah ah bentar lagi harus boarding nih.” Kata Richi. Gadis itu menghampiri kedua orang tuanya, menyalimi keduanya satu-persatu.

“Kalau ada apa-apa kabarin papa.”

“Hubungin mama kalau udah sampe.”

Richi mengangguk, tersenyum tipis melihat kedua orang tuanya. Mau sebesar apapun kecewa Richi, orang tua tetaplah orang tua. “Lancar proses sidangnya ya, Ma, Pa. Jangan berantem lagi, kasian Rika.” Ucap Richi. Sementara Rika di sebelah Richi datang memeluk sang Kakak. Setelah selesai dengan semua keluarganya, richi kini beradapan dengan Hagan. Keduanya sama-sama diam.

“Lo gak mau ngomong apa-apa?” Tanya Richi.

Hagan menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan, menghapus ketegangan yang tiba-tiba menghantuinya, sama sekali bukan Hagan yang biasanya.

“Mau, tapi di sana.” Hagan menunjuk tempat yang tidak jauh dari mereka, bukan tempat khusus, tujuannya hanya ingin sedikit menjauh agar memiliki keleluasaan untuk menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan.

“Izin ngobrol sebentar ya, Om, Tan.” Kata Hagan kepada Mama dan Papa Richi. Belum sempat bertanya, Hagan sudah berlalu begitu saja membuat Richi mau tidak mau harus ikut mengekori Hagan. Keduanya berhenti bersamaan dengan suara announcement untuk boarding pesawat yang akan digunakan Richi.

“Cepet banget, sabar Mbak.” Kata Hagan mencibir.

“Lo yang cepetan.” Balas Richi.

Hagan terkekeh seperti biasanya, bedanya kali ini Hagan tidak berani menatap perempaun di hadapannya itu.

“Chi.” Panggilnya.

“Apa.”

“Lo janji dulu jangan ngeledeken gue habis ini.” Kata Hagan lagi.

“Lo mau nembak gue?” Hagan melotot kaget, seperti ditembak tepat sasaran. Richi di hadapannya masih menatapnya datar. Nyali Hagan menciut tiba-tiba.

“Lanjutin.” Kata Richi lagi.

Hagan berdeham sambil memalingkan wajahnya. Pemuda itu merogoh kantong jeans sebelah kanannya, mengambil satu benda kecil yang ia sembunyikan di genggamannya. Dibukanya genggaman tangannya itu dengan pelan, menampilkan satu buah gantungan kunci dengan bentuk kotak bertuliskan ‘you stole my…’ dengan pola berbentuk hati yang kosong di bawahnya.

Richi diam meperhatikan benda itu, hanya beberapa detik sampai ia menyadari itu adalah pasangan dari gantungan kunci berbentuk hati hadiah dari Hagan di hari ulang tahunnya. Gantungan kunci yang Hagan bilang bukan gantungan kunci couple sebelumnya.

You stole my heart.” Ucap Hagan membaca tulisan di gantungan kunci itu.”Bentuk hatinya ada di lo kan?” Lanjutnya lagi, matanya sudah ia beranikan menatap gadis di hadapannya yang tadi terlihat menantang tapi akhirnya ciut juga.

Richi mengerjap, “Gue gak nyuri, lo yang ngasih ke gue.” Jawab Richi. Hagan mengangguk, “Gue ngasih lo karena gue maunya lo, Chi.” Kata Hagan. “Bohong kalau lo gak ngerti maksud gue.” Lanjut pemuda itu.

Richi memalingkan wajah, menggigit bibir bawahnya tanda kebingungan, salah tingkah lebih tepatnya. Gadis itu memang memahami maksud Hagan, tapi tidak memahami situasinya. Lalu dia harus apa kali ini?

Panggilan announcement dari flight Richi kembali menggema. Membuat Richi semakin terpaku.

“Gantungan kunci yang ada di elo butuh pasangan, kalau lo ngerasa itu bukan gue, lo boleh ambil yang ini juga, gak apa-apa kasih ke orang lain yang lo mau.” Hagan mengulurkan tangannya mempersilahkan Richi mengambil gantungan kunci di telapak tangannya itu.

Richi menghela napas, membulatkan tekadnya. Diraihnya punggung tangan Hagan, ada jeda beberapa detik saat Richi memperhatikan gantungan kunci di tangan Hagan itu. Jujur saja, jantung Hagan sudah berdisko ria, sialnya Richi masih belum melepas tangannya dari punggung tangan Hagan.

Setelah puas beradu dengan pikirannya sendiri, Richi menutup telapak tangan milik Hagan. Dibiarkannya Hagan menggenggam kembali gantungan kunci di telapak tangannya itu.

“Itu udah punya lo dari awal, gak akan gue ambil apalagi kasih ke orang lain.”

Hagan mengangka alisnya berusaha mencerna kesimpulan, “Jadi?” tanyanya memastikan.

“Kak Richi cepetan boarding!!” Teriak Rika membuyarkan suasana di tengah dua insan yang sedang sama-sama mencerna situasi satu sama lain itu.

“Bohong kalau lo gak ngerti maksud gue.” Jawab Richi mengulang kalimat Hagan sebelumnya.”Udah ah gue ketinggalan pesawat nih, ntar.” Richi sudah merapikan posisi totebag di pundaknya dan bersiap melangkahkan kaki.

Tetapi satu tarikan pelan dari Hagan membuat langkah Richi berhenti, ditatapnya pemuda itu yang juga masih menatapnya bingung. Richi menghela napas lagi, “Confession approved, let’s upgrade our status.” Ucap gadis itu memberi kesimpulan.

“Kalau masih gak ngerti, terserah lo aja deh, Gan.” Richi sudah berlari menjauh meninggalkan Hagan yang diam mematung beberapa saat sebelum akhirnya mengusap wajahnya yang tersipu malu dengan senyuman tertahan di sudut bibirnya.

Dilihatnya Richi yang sudah berlari memasuki gate menuju pesawat sambil sesekali menoleh melambaikan tangan untuk keluarganya, dan lambaian terakhir gadis itu berikan pada Hagan sebelum gadis itu benar-benar hilang dari pandangan, Hagan tak ingin menyianyiakan kesempatan dengan segera membalas dengan lambaian tangan dan senyuman terlebar yang ia miliki.

Hari pertama upgrade status dan memulai long distance relationship yang sesungguhnya.