hold your hand
Hagan menurunkan standar motornya setelah berhenti di depan rumah bernuansa putih yang tampak sangat dingin. Pemuda itu membawa 2 kantong makanan dan minuman di tangan kanannya dan melangkah menuju pintu masuk.
Baru ingin memencet bel tapi ia kembali menarik tangannya dan segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi si pemilik rumah. Takut bel rumahnya masih dimute dan tenaganya memencet bel jadi sia-sia.
“Bukain pintu.”
“Pencet bel aja, ada rika di bawah, gue lagi di kamar mandi.” Jawab gadis di seberang sana.
“Kata lo belnya dimute?” Tanya Hagan.
“Siapa yang mute sih emang, percaya aja lo.”
Hagan menghela napas, menyesal karena dia benar-benar percaya kalau bel rumah ini dimute.
“Sia-sia gue nelpon ngabisin paketan aja.” Jawab Hagan dan segera mematikan sambungan telpon itu.
Dua kali ia memencet bel, hingga sang pemilik rumah membuka pintunya.
Gadis berambut panjang itu menyambutnya dengan senyuman, “Halo kak hagan.” Sapanya.
Namanya Rika, adik perempuan Richi yang usianya 3 tahun lebih muda.
“Hai, Rik.” Jawab Hagan sambil melangkahkan kakinya masuk menuju ruang tengah.
“Si Richi mana?” Tanya Hagan, kini sang pemuda sudah duduk merebahkan dirinya di sofa lebar depan televisi, diletakkannya belanjaannya di atas meja.
“Masih mandi kayaknya.” Jawab Rika, tangannya mulai menelusuri kantong berisi makanan yang Hagan bawa tadi, “Banyak bener kak.” Sambungnya.
“Kakak lo nitip tapi gak ngomong mau berapa yaudah sekalian banyak aja.” Kata Hagan santai, pemuda itu sudah menyandarkan tubuhnya, melepas lelah karena dari pagi tadi cukup sibuk dengan agenda kuliah dan organisasi.
“Aku ambilin piring ya, Kak.” Pamit Rika yang dibalas anggukan pelan dari Hagan.
Dari atas tangga, hagan dapat melihat perempuan berambut pendek sebahu dengan outfit santai bercelana pendek dan kaos oblong polos menuruni satu demi satu anak tangga. Tangan sebelah kanannya membawa dua tumpuk buku dan tangan kirinya memegang laptop.
“Lemes bener, Gan.” Kalimat pertama yang keluar dari bibir Richi saat melihat Hagan yang bersandar seakan tak berdaya di sofa.
“Kepanitiaan lagi padet, capek banget, Chi.” Katanya mengeluh.
Richi meletakkan laptop dan buku-bukunya di atas meja dan duduk tepat di sebelah Hagan yang masih memejamkan mata seperti memberitahu bahwa ia benar-benar lelah.
“Lo bantu buat pendahuluan sama penutup aja, kasarannya kan udah ada gue kirimin semalam, bawa laptop kan?” Richi menoleh memperhatikan Hagan, si lelaki mengangguk pelan sambil merenggangkan kedua tangannya.
Hagan bergerak mengikuti Richi yang duduk di bawah tepat di depan sofa, pemuda itu turut mengeluarkan laptop dan membukanya meski raganya sedikit malas, tapi Hagan harus bersyukur, karena mau semalas apapun Hagan mengerjakan, selama bersama Richi, ia masih bisa memastikan tugas ini akan aman dan tetap selesai.
Tiga puluh menit berlalu, Richi yang tetap fokus mengetik dan memperhatikan layar laptopnya, sedangkan Hagan yang bolak balik menggigit es batu setiap selesai mengerjakan satu paragraf. Keduanya hampir selesai berkat kerajinan Richi yang sudah mencari jurnal dan membuat skema di malam sebelumnya.
“Chi, gue udah sakit pinggang.” Keluh Hagan, ia menyandarkan punggungnya di sofa dan meluruskan kedua kakinya di bawah meja.
Richi mengabaikan, masih terus melanjutkan tarian jemarinya di atas keyboard agar pekerjaannya segera selesai, tak boleh menunda sebab ia ingin segera bermalas-malasan tanpa beban.
Fokus Richi terhenti saat hempasan pintu terdengar dan membuat tubuhnya reflek bergerak kaget, Richi menoleh begitupun dengan Hagan yang bahkan hampir tersedak es batu.
“Aku juga baru pulang, gak cuman kamu yang capek, dan gak cuman kamu yang kerja di rumah ini.” Teriak wanita paruh baya itu dengan wajah memerah tanda sedang naik pitam.
“Tapi kamu gak pernah bisa hargain aku sebagai kepala keluarga, di mana sopan-santun kamu sebagai istri!!” Lelaki dewasa di belakangnya ikut membentak, dilemparnya tas dari tangannya, membuat Richi langsung menutup mata tak lagi ingin melihat.
Hagan yang tak tahu apa-apa dengan reflek merangkul Richi yang sudah tertunduk lesu di sampingnya, Rika sang adik keluar dari kamar dengan panik karena suara lantang kedua orang tuanya bergema di dalam rumah.
Rika berlari menghampiri Richi yang dsambut pelukan dari sang kakak membuat Hagan tahu diri dengan menarik tangannya dari bahu Richi agar perempuan itu bisa menenangkan adiknya yang sudah bergetar hebat melihat orang tuanya brtengkar.
“Gak apa-apa, Rik.” Bisik Richi dengan lirih, suaranya bergetar tapi raganya berusaha kuat.
Richi menatap kedua orang tuanya, sang ibu menyadari dan sempat beradu pandang seperkian detik dengan anak sulungnya itu.
“Liat itu papa kamu emang gak pernah bisa ngertiin mama.”
Richi tersenyum kecut, ia mengusap kasar wajahnya. Seharusnya bukan itu, tidak seharusnya orang tua mengadu kebukuran masing-masing pasangannya di depan sang anak. Meskipun tanpa diberitahu, sebagai anak yang sudah dewasa, mustahil ia tidak mengetahui apa-apa.
Pandangan Richi teralih, dilihatnya tangan kanannya yang digenggam erat, Hagan di sebelahnya menatap Richi seakan berkata “Kamu harus kuat.” Hagan semakin mempererat genggamannya saat menyadari Richi mulai berkaca-kaca.
“Gak apa-apa, Chi.” Bisik pemuda itu tepat di telinga Richi.