Cinda kembali menyandarkan punggungnya di kepala kursi, mendengus kesal sekali lagi menatap layar laptop di hadapannya yang tengah menampilkan aplikasi paling penting sejagat raya yaitu Microsoft word. Ia tidak bohong mengenai tugas yang harus dikerjakan, meskipun sebenarnya tidak dikerjakan malam ini pun tidak apa-apa.
Cinda menatap layar ponselnya, menampilkan jejeran pesan whatsapp di sana, sudah empat orang yang mengajaknya ke Erka hari ini. Pertama Dave, disusul Gio, lalu Rilla, dan terakhir sahabatnya sendiri yaitu Salsa. Satu helaan napas kembali terdengar, di kepalanya sedang berdebat, hati dan egonya sedang sahut-menyahut. Egonya menahan untuk tetap diam di rumah, sedangkan hatinya bergemuruh ingin pergi karena rasa iba dengan segala yang Aristama sudah persiapkan.
Kalau boleh jujur, tiga minggu tidak bertemu Aristama, Cinda jadi lebih banyak berpikir. Sebelum hubungannya berjalan dengan Aristama, ia sudah pernah mengalami kecewa yang tidak mudah karena Julio. Cinda tidak main-main saat bersama Julio, lalu saat laki-laki itu meninggalkannya dengan sangat tidak adil di saat semua perjuangan Cinda menghargai 6 bulan waktunya, Cinda berakhir merasa ia tidak berharga. Hal yang sama yang ia rasakan beberapa minggu yang lalu, apakah ia tidak seberharga itu sampai harus mengalami hal yang sama dua kali berturut-turut?
Bagaimana kalau sebenarnya Aristama belum selesai dengan Rilla? Bagaimana kalau ternyata ia hanya opsi kedua?
Ia berharga untuk keluarganya, ia tidak mau terus bertanya-tanya mengenai value dirinya hanya karena laki-laki yang ia suka belum bisa menganggapnya berharga.
Rasa gelisah kembali menyerang Cinda, dilihatnya jam dinding di dekat jendela kamarnya, tepat sekali jam 7 malam. Gadis itu membuka laci meja dan mengambil earphone yang kemudian ia sambungkan dengan laptop di hadapannya. Ia sudah masuk di web radio yang sudah tidak asing lagi, seumur hidup Cinda jarang sekali mendengarkan radio. Tetapi bersama Aristama dua bulan terakhir, web Erka bahkan berada di urutan nomor dua yang paling banyak dikunjungi di pencahariannya.
Cinda menekan play button bersamaan dengan selesainya lagu pembuka dari siaran malam itu. Suara lantang dengan vokal dan artikulasi jelas menandakan kualitas dari pria di balik microphone itu. Aristama Edward Saach.
“Yow, 25.8 FM, Radiokampus. Back with me, Aristama Sach. It’s been a long time, guys. Gue rindu banget sama microphone di studio ini dan gue rindu para Erkas yang banyak banget ngasih semangat dan wish ke gue selama menjalani karantina. Gue belum dapat pengumuman, it will be release tomorrow.” Aristama membuka siaran itu dengan ciri khasnya seperti biasa. Cinda yang mendengar sedikit terbawa perasaan. Sudah lama ia tidak mendengar suara Aristama.
“So, today … gue memperkenalkan newest segmen di Erka yang berjudul Confesession yang akan gue pandu bersama sahabat gue Ragio setiap hari rabu jam 7 malam. Tapi khusus malam ini, siaran sepenuhnya bakal gue ambil alih sendirian. Confesession adalah wadah yang gue buat untuk membantu temen-temen Erkas menyatakan perasaan, entah itu perasaan suka, permintaan maaf, rasa menyesal, dan apapun yang ingin lo sampaikan kepada orang tertentu yang terlalu susah untuk lo ungkapkan secara lisan langsung di depan orang yang dituju. For me, nggak berani untuk mengungkapkan secara langsung tidak melulu karea lo tidak punya keberanian, tapi terkadang ada satu tumpuan yang membuat perasaan itu tidak bisa tersampaikan.” Aristama lanjut menjelaskan.
Ada satu tumpuan yang membuat perasaan itu tidak bisa tersampaikan. Menjadi highlight bagi Cinda.
“Untuk first segmen hari ini, selama tiga puluh menit ke depan, gue akan jadi confession pertama.” Cinda memperbaiki duduknya, ia merapatkan kursi sedikit ke meja, menumpu kedua sikunya di atas meja. Perasaannya masih gelisah sekaligus penasaran.
“For someone i met at the erka's lobby, a place where i spend most of my time. Someone with a cute tumblr, someone with brightness smile, someone who never looks bad in any situations. Mungkin lo lagi dengar ini dengan perasaan bingung, marah, dan masih kecewa. Tapi gue terima kasih karena lo masih mau dengar.” Cinda menggigit bibir bawahnya mendengar suara lantang Aristama berubah lembut saat menjelaskan tentang dirinya.
“Gue pernah bilang, fall in love is not easy, yang selalu dengar siaran gue mungkin bakal notis. Dan lucunya, perempuan ini bilang sebaliknya love is easy, easy to love. Awalnya gue gak percaya love at first sight, gue gak percaya jatuh cinta bisa semudah itu, tapi semua berjalan begitu cepat, gue denial berkali-kali, tapi saat gue ketemu dia gue seakan lupa sama denial-denial gueitu. I’ve been prepared this scene but I made a mistake, but yeah i wouldn’t stoped, im so sorry, maaf karena buat lo nunggu lama, nunggu sesuatu yang seharusnya bisa jadi hal yang lebih baik dari ini, i realized you’re not only my love at first sight, you’re more than that. Gue gak tau apa gue masih pantas bilang ini, im really in love with you, i will try to be okay whatever your answer after this, I only know that’s my answer.”
Air mata Cinda hampir saja menetes kalau saja ia tidak segera mendongahkan kepalanya. Dia tidak pernah medengarkan kalimat seperti ini sebelumnya, entu pengecualian untuk Mama, Papa, dan Abangnya yang memang menjadi standarnya dalam mencintai. Perasaan bersalah tumbuh berkali-kali lipat, di tengah perasaan berkecamuk, bisikan seperti berlalu masuk di telinga Cinda 'He treat you very well before, but he left you then.'
Cinda spontan menarik dan melepas earphonenya, lalu menutup dengan paksa laptop di hadapannya membuat tidak ada lagi suara Aristama yang terdengar di telinganya.
Cinda beranjak, menghempaskan tubuhnya di atas ranjang dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, air matanya sudah menetes di dalam sana.
Sebenarnya semua bisa berjalan mudah, Cinda hanya tinggal mengatakan 'iya' dan berteriak betapa ia sudah menaruh hati ke Aristama sejak jauh-jauh hari. Tapi perasaannya campur aduk, tidak lagi hanya rasa senang dengan kupu-kupu berterbangan, tapi perasaan takut dan tidak percaya diri mengiringi di belakangnya.
Cinda tidak menyadari ia kehilangan kesadaran setelah puas menangis di balik selimut, ketukan pintu berkali-kali terdengar terburu-buru dari luar kamarnya. Gadis itu lupa kalau tadi ia mengunci rapat pintu itu. Cinda menerangkan lampu kamarnya yang semula low mode menjadi normal. Cinda mampir sebentar di depan kaca, wajahnya sedikit bengkak tapi ia terlalu malas untuk menyembunyinkannya, sekilas ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam lebih lima belas menit.
“Ketiduran ya kamu?” Pertanyaan pertama keluar dari mulu Wanita paru baya berambut panjang dengan paras yang masih cantik di umurnya yang ke-50. Namanya Dewi, Tante Dewi, Mama cantiknya Cinda.
Sang anak tersenyum tipis, ia tidak perlu menjelaskan, keadaan wajahnya sudah cukup menjawab.
“Di bawah ada teman kamu, yang pernah datang kesini, Aristama itu.” Cinda yang semula malas tiba-tiba langsung melotot mendengar nama Aristama. Mamanya tidak mungkin berbohong mengenai ucapannya.
“Turun ya, dia nunggu di bangku depan, dari tadi.” Dewi berlalu begitu saja meninggalkan Cinda yang masih melongo.
Gadis itu mengusap wajahnya gusar dan segera masuk kembali ke kamar. Niatnya tadi akan membiarkan wajah bantal dan bengkaknya tampil apa adanya, tapi situasi berbeda membuatnya seger masuk ke kamar mandi dan mencuci wajah sesegera mungkin.
Beberapa menit berlalu, setelah memastikan wajanya terlihat lebih baik, Cinda langsung berjalan keluar, menuruni anak tangga, celingak-celinguk ia mencari keberadaan cowok itu di ruang tamu tapi nihil, hingga jawaban terakhir pasti Aristama tengah duduk di bangku teras rumah cinda.
Tepat sekali sasarannya, Aristama tengah duduk di salah satu kursi besi yang tersedia di sana. Mereka berdua saling melihat, dua raut wajah yang berbeda tapi dengan suasana hati yang sama. Gusar dan gelisah.
“Lo di sini, Ar.” Cinda membuka suara menghalau rasa canggung, gadis itu sudah ikut duduk.
Aristama mengangguk. “Apa kabar?”
“Kayak yang lo liat aja,” jawab Cinda, ia tersenyum simpul.
“I wish you get better.”
Cinda mengangguk. “same wish for you, kala gitu.”
“Tentang siaran tadi-“
“Gue dengerin.” Cinda memotong kalimat Aristama.
“Thank you.”
Sepertinya, keduanya sadar akan kondisi masing-masing. Interaksinya tidak seleluasa biasanya, tidak ada wajah ceria Cinda dan senyum tipis yang sering mengembang di wajah Aristama.
Cinda mengangkat kepalanya, menatap lautan bintang yang terang berhamburan malam itu. “Itu … confess paling indah yang pernah gue dapet,” kata Cinda, kini ia menoleh menatap Aristama. “Tapi gak tau kenapa juga rasanya paling menyesakkan,” lanjutnya menatap Aristama penuh arti.
“Im sorry.” Kepala pemuda itu langsung menunduk.
“No, Stop bilang sorry, dengar itu buat gue makin sadar how hurt it is.”
“Cin, I don’t want to force yourself gue udah pernah bilang, and love you I really do. Tapi kalau emang apa yang udah gue perbuat masih membayang-bayangi lo, gue bakal paham,” jelas Aristama pasrah, matanya sayu dan tatapannya berubah sendu.
Cinda mengangguk mengerti, Aristama ternyata paham maksudnya. “Gue gak akan nyuruh lo nunggu gue, i know waiting is the fucking things ever. Kalau ternyata lo mau berhenti atau lo ketemu orang baru nanti, just do it. Tapi gue juga gak akan nyuruh lo nyerah sebelum lo mau nyerah. Semua terserah lo, sekarang biarin gue kembaliin self love gue.”
Aristama diam. Ternyata benar, apa yang ia khawatirkan terjadi. Satu kesalahan dapat mengubah segalanya. Aristama tidak dapat berbuat apa-apa, menatap wajah Cinda saja terasa sulit untuknya.
“You don’t love me back, Cin?” tanya Aristama dengan hati-hati.
“I do, Ar,” cinda menjawab secepat kilat. “Tapi biarin gue simpan sendiri. Let me rest,” lanjutnya berat.
Aristama tidak menyahut lagi. Jawaban-jawaban dari Cinda sudah cukup jelas, ia harus menepati janji untuk tidak memaksakan apapun. Meski jauh di lubuk hatinya, ia merasa kecewa berkali-kali lipat. Bukan kecewa karena ia ‘ditolak’ tapi ia kecewa pernah melewatkan kesempatan.
Sementara Cinda masih diam, berkali-kali mengatakan dalam hati pada dirinya sendiri bahwa ini yang terbaik untuk dirinya saat ini. Kalau bukan begini, ia hanya akan semakin menghabiskan waktu untuk menanyakan kepada dirinya apakah dirinya sebenarnya sudah cukup dan apakah dia hanyalah bagian dari pilihan yang ada.