ilyoujae

Bait terakhir lagu dandelions mengakhiri suara Ruth Berhe yang mengisi waktu break siaran sore itu. Aristama kembali menyalakan microphone, ia meilirik gadis di sebelahnya sekilas memastikan apakah gadis itu siap untuk melanjutkan siaran yang akhirnya dibalas anggukan.

“Halo kawula muda, kembali lagi di prambors talk, bersama gue Aristama Sach. Disini masih ada Cinta Dayna, boleh disapa lagi nih, Cin.”

Cinda tersenyum dan mendekatan microphone di hadapannya, “hai.”

“Oke, tadi kita udah ngobrol bareng sama Cinda tentang film pertamanya dan bagaimana perjalanan karir dia 6 bulan terakhir, ada gak nih Cin, pesan-pesan buat orang terdekat lo yang udah menemani lo sampai sekarang?”

Cinda diam sebentar, sedikit berpikir akan memulai dari mana sampai akhirnya gadis itu menyentuh badan microphone bersiap untuk bersuara.

“Gue selalu ngerasa kalau gue itu gak punya bakat, gue gak punya ketertarikan sama suatu hal tertentu. Kadang hal itu buat gue mempertanyakan valuable diri gue. Am I worth? Am I enough? Tapi gue ternyata beruntung, orang-orang di dekat gue selalu yakinin gue kalau waktu setiap orang itu beda-beda, kadang satu dua hal yang gak pernah kita sangka-sangka yang membawa kita mulai merangkak. Mama, papa, dan abang gue yang gak pernah berhenti mendukung apapun yang gue lakuin dan sekecil apapun pencapaian yang gue dapat. Dua orang sahabat gue yang tanpa mereka gue gak bisa ada di sini, arum dan salsa semoga lo berdua selalu Bahagia. Dan…” Cinda mengambil jeda, ia menggigit bbir bawahnya, Aristama mengangkat alis menunggu lanjutan dari jawaban Cinda.

Cinda menarik napas panjang, memberanikan diri menatap Aristama, “… dan untuk satu orang lagi, seseorang yang gak pernah nyerah sama sekali sama apapun yang dia mau. Gue pernah jatuh cinta dan kecewa sekaligus sama orang ini, dan sampe di titik ini akhirnya gue menemukan satu alasan lagi how worthy I am, terima kasih karena masih mau berjuang dan nungguin gue, im still on you, too.”

Garis wajah Aristama sulit diartikan, sementara Cinda sudah tersenyum tipis lalu kemudian menundukkan kepalanya. Beberapa detik kemudian, Aristama mengangguk, namun kemudian ia tertawa dan memalingkan wajahnya. Salah tingkah yang sedang ditutup-tutupi.

“Okay, the last person you mentioned will be very happy to hear that,” kata Aristama memberi tanggapan.


Cinda menurunkan kaca dashboard mobil, lalu mengarahkan kaca itu ke wajahnya. Gadis itu memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan. Ia sedang menunggu di mobil Aristama, pemuda itu menyuruh Cinda keluar lebih dulu.

Tanpa perlu menunggu lama, pintu mobil bagian kemudi sudah di buka dari luar oleh sang pemilik mobil. Cinda baru mau membuka suara, namun suaranya terjeda saat melihat dengan santainya Aristama memberikan satu buket bunga tepat di hadapan Cinda.

“Congratulations, selamat udah selesaiin shooting film pertama lo, can’t wait to see your acting, kata Aristama dengan senyum tulus.

Seulas senyuman juga terukir di wajah Cinda, gadis itu mencium sekilas aroma bunganya sebelum memindahkan bunga itu ke pangkuannya.

“Thank you,” jawab Cinda. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Keduanya kembali mengalihkan tatapan masing-masing. Aristama masih belum juga menyalakan mesin mobilnya.

“Cin,” panggil Aristama.

Cinda menoleh, masih dengan bunga di pelukannya.

Aristama menarik napas panjang. “Can we walk together, now?” tanyanya lembut. “After a long time waited,” lanjutnya.

Cinda mengerjap, ia langsung menunduk tidak sanggup menatap mata sendu milik Aristama.

“Im sorry, for make you walk alone,” ujar Cinda masih dengan kepala menunduk.

“I’ts okay for me.” “Im sorry for your long waited.” “Gue juga pernah ngelakuin yang sama, kan? It’s okay.” “Im sorry for your confused.”

Aristama mendesah pelan, lalu memperbaiki posisi duduknya agar lebih dekat dengan Cinda. “Cin im okay with everything, gue cuman mau nanya sekarang apa kita udah bisa jalan- sama-sama?” tanyanya lagi. “Kalau belum juga gak apa-apa,” lanjut pemuda itu karena Cinda masih tak kunjung menjawab.

“Menurut lo, apa gue worth untuk lo tunggu?” Cinda mendongak menatap Aristama.

Aristama langsung mengangguk cepat. “Hm, always.”

Rasanya, saat itu juga Cinda ingin berteriak keras, jawaban cepat tanpa ragu dari Aristama menembus pertahanan hatinya. Entah karena jawaban itu terdengar tegas atau karena yang mengatakan adalah Aristama.

Cinda langsung mengulurkan telapak tangannya, Aristama mengangkat alis bingung. “Let’s walk together,” jelas Cinda.

Detik yang sama, senyum Aristama mengembang dengan mata yang berbinar ia menyambut telapak tangan Cinda, mengenggamnya erat seperti tidak akan ia lepas lagi.

Satu lemparan jarak jauh tepat memasuki ring basket dengan sempurna, Dave mengambil alih bola besar itu lalu melemparkannya ke tepi lapangan.

“Istirahat dulu, Tam.” Aristama yang mengacak pinggang langsung menurut ikut menghampiri Dave.

“Stress banget kayaknya, lo.” Dave melemparkan satu botol air mineral dingin sambil terkekeh. Aristama yang menerima juga tertawa pelan. Dua pemuda itu kini sedang berada di lapangan basket umum, sore tadi Aristama sudah resmi mengakhiri training dan karantinanya. Dave adalah orang pertama yang Aristama temui, bahkan Gio yang banyak ia susahkan saja belum ia tengok batang hidungnya.

Aristama ikut duduk di kursi kayu tepat di sebelah Dave yang tengah meneguk air dinginnya, Aristama sudah selesai lebih dulu.

“The playlist, it’s cool,” kata dave memuji tiba-tiba.

Aristama diam sejenak sebelum menyadari maksud Dave adalah playlist 3 for 3 yang dibuat Aristama sebelum ia karantina, lebih tepatnya adalah playlist yang ia buat untuk Cinda. “Thank you.”

“Gimana? Ada perkembangan?” Tanya Dave. Pemuda itu menarik kedua lengannya ke belakang, menumpu berat tubuhnya dengan kedua lengan itu.

Aristama tersenyum tipis. “Berat, Bang.” “Rencana lo selanjutnya apa?” “Lusa gue siaran lagi di erka, segmen baru, segmennya gue yang buat sendiri, namanya Confesession, gue buat untuk orang yang mau anonymus confess, dan untuk perdana nanti gue yang bakal jadi confession pertamanya.”

“Wow? Sounds nice,” Dave terdengar teratrik.

“Tapi kayaknya gue harus nurunin ekspektasi,” kata Aristama dengan nada suara rendah. “There will be chance gue ditolak.”

Tiga minggu berpisah dengan Cinda, tidak ada pesan dari gadis itu kecuali satu bubble yang bahkan tidak lagi di balas Cinda setelahnya. Meskipun harus dipaksa percaya diri, dengan kondisi sekarang, Aristama tidak akan berharap lebih, tapi ia juga tidak akan mundur.

“Im sorry for rilla,” seru Dave dengan rasa bersalah.

Aristama menggeleng cepat. “No, rilla juga sahabat gue bang, gue yang gak bisa memosisikan diri,” kata pemuda itu.

“You love her?” “Rilla?” “Adek gue, Tam.” Dave tertawa renyah. “Rilla mah cewek gue, lo jangan suka.” “I love her.” Aristama menjawab yakin. “Her siapa?” “Ya adek lo lah bang, masa pacar lo.”

Suara tawa Dave kembali terdengar. Sedangkan Aristama hanya menggeleng-geleng tak habis piker.

Sudah kembali serius, Dave membuka suara lagi, “Rilla buat lo sekarang gimana, tam? Gue tau sebelum sama gue, ada yang terjadi sama kalian berdua.”

Bukan rahasia umum, Dave sebelumnya tidak pernah bertanya tentang hal ini ke Rilla apalagi Aristama, tapi rahasia yang bukan rahasia umum ini jelas sudah masuk ke telinga Dave bahkan sebelum Rilla berpacaran dengannya. Tapi bagi Dave itu bukan masalah besar, Rilla sekarang sudah bersamanya, Aristama juga sangat menghargainya, tidak ada gelagat atau interaksi yang berlebihan di antara mereka berdua. Tapi ternyata ini menjadi masalah bagi adik perempuannya. Cinda tidak salah, ia memang harus kecewa. Hubungan Aristama dan Rilla memang harus diperjelas tanpa menyakiti satu pun di antara mereka.

“We are just best friend.” Aristama menjawab tanpa ragu.

“But you confess to her?” Dave menembak langsung.

Aristama sempat kaget beberapa detik, tapi selanjutnya pemuda itu paham. “Gue ketemu rilla di club radio waktu SMA, kita sering siaran sama-sama, kita siapin siaran bareng, kuliah bareng di tempat yang sama, dan sampai sekarang di erka bareng. Di tahun ke empat gue temenan sama dia, gue pernah ngelewatin batas yang kita bangun, gue masih gak bisa bedain saat itu gue emang suka atau karena gue emang cuman nyaman karena udah lama bareng dia, butuh tiga tahun gue bareng dia sampai gue ngerasain rasa suka itu. She rejects me. Im okay with that, tapi sejak itu gue ngerasa hubungan gue sama rilla gak bisa sedekat dulu, baru setelah dia jadian sama lo, gue sama rilla bisa membaik. Ya gue akhirnya realize kalau gue emang udah cukup cuman temenan sama dia.” Pemuda itu menceritakan dengan jelas.

“Ah iya, lo udah tau kan rilla punya asam lambung akut, dia pernah hampir mati karena itu, dia harusnya bisa minta tolong ke gue tapi waktu itu karena hubungan gue sama dia renggang, dia gak mau hubungin gue. Everything is my fault then.” Aristama melanjutkan.

Dave mengangguk-angguk paham. Seperti perkiraannya, pernah ada masa lalu di antara Aristama dan Rilla tapi baginya sudah bukan masalah besar.

Aristama sudah bangun dari duduknya, cowok itu mengambil kembali bola basket yang sudah dianggurkan sejak tadi, lalu mendribel satu dua kali.

Dave ikut menghampiri Aristama, mengabil ancang-ancang untuk menerima bola. “How about Cinda?” tanya laki-laki berlesung pipi itu sekali lagi.

Aristama yang baru saja ingin melempar bola, mengurungkan niatnya, ia menahan bola itu di tangan sambil memutar-mutarnya pelan. “Kali ini rasanya beda, ngeliat cinda gue ngerasa tertarik, sangat. Semakin gue kenal dia semakin gue penasaran, but i don’t realize kalau gue udah suka. Gue pengen setiap hari ketemu, gue pengen setiap hari tau tentang dia, gue pengen ngelakuin hal baru. Gue sempat denial kenapa secepat ini, tapi semakin gue denial semakin sering juga dia muncul di pikiran gue,” jawab Aristama. “Ternyata jatuh cinta emang bukan tentang waktunya tapi karena dia orangnya.” Cowok itu menutup jawaban dengan melempar bola basket dari jarak jauh ke ring basket dan melesat dengan sempurna.

Aristama yang baru ingin mengambil lagi bola itu langsung mengacak pinggang karena Dave sudah lari lebih dulu mengamankan bola, “what if cinda gak bisa nerima lo?”

Pertanyaan yang sama yang sejak tadi berputar di kepala Aristama. Bagaimana kalau ternyata ia benar-benar sudah terlambat dan cinda tidak mau memercayainya lagi. Haruskah ia berhenti atau tetap melanjutkan apa yang sudah dijalani sejauh ini. Tiga minggu ruang di pikirannya sedikit terusik akan hal itu, tapi satu hal yang pasti, ia tidak boleh segera menepi meskipun harus disuruh berhenti. Bukankah Aristama berpengalaman soal ini?

Pemuda itu melangkah menghalau bola yang baru saja dilempar oleh Dave. “It’s ok, tapi mau gimana pun gue cuman bakal berhenti setelah perasaan gue ke dia benar-benar selesai,” kata pemuda itu dengan percaya diri.

Cinda kembali menyandarkan punggungnya di kepala kursi, mendengus kesal sekali lagi menatap layar laptop di hadapannya yang tengah menampilkan aplikasi paling penting sejagat raya yaitu Microsoft word. Ia tidak bohong mengenai tugas yang harus dikerjakan, meskipun sebenarnya tidak dikerjakan malam ini pun tidak apa-apa.

Cinda menatap layar ponselnya, menampilkan jejeran pesan whatsapp di sana, sudah empat orang yang mengajaknya ke Erka hari ini. Pertama Dave, disusul Gio, lalu Rilla, dan terakhir sahabatnya sendiri yaitu Salsa. Satu helaan napas kembali terdengar, di kepalanya sedang berdebat, hati dan egonya sedang sahut-menyahut. Egonya menahan untuk tetap diam di rumah, sedangkan hatinya bergemuruh ingin pergi karena rasa iba dengan segala yang Aristama sudah persiapkan.

Kalau boleh jujur, tiga minggu tidak bertemu Aristama, Cinda jadi lebih banyak berpikir. Sebelum hubungannya berjalan dengan Aristama, ia sudah pernah mengalami kecewa yang tidak mudah karena Julio. Cinda tidak main-main saat bersama Julio, lalu saat laki-laki itu meninggalkannya dengan sangat tidak adil di saat semua perjuangan Cinda menghargai 6 bulan waktunya, Cinda berakhir merasa ia tidak berharga. Hal yang sama yang ia rasakan beberapa minggu yang lalu, apakah ia tidak seberharga itu sampai harus mengalami hal yang sama dua kali berturut-turut?

Bagaimana kalau sebenarnya Aristama belum selesai dengan Rilla? Bagaimana kalau ternyata ia hanya opsi kedua?
Ia berharga untuk keluarganya, ia tidak mau terus bertanya-tanya mengenai value dirinya hanya karena laki-laki yang ia suka belum bisa menganggapnya berharga.

Rasa gelisah kembali menyerang Cinda, dilihatnya jam dinding di dekat jendela kamarnya, tepat sekali jam 7 malam. Gadis itu membuka laci meja dan mengambil earphone yang kemudian ia sambungkan dengan laptop di hadapannya. Ia sudah masuk di web radio yang sudah tidak asing lagi, seumur hidup Cinda jarang sekali mendengarkan radio. Tetapi bersama Aristama dua bulan terakhir, web Erka bahkan berada di urutan nomor dua yang paling banyak dikunjungi di pencahariannya.

Cinda menekan play button bersamaan dengan selesainya lagu pembuka dari siaran malam itu. Suara lantang dengan vokal dan artikulasi jelas menandakan kualitas dari pria di balik microphone itu. Aristama Edward Saach.

“Yow, 25.8 FM, Radiokampus. Back with me, Aristama Sach. It’s been a long time, guys. Gue rindu banget sama microphone di studio ini dan gue rindu para Erkas yang banyak banget ngasih semangat dan wish ke gue selama menjalani karantina. Gue belum dapat pengumuman, it will be release tomorrow.” Aristama membuka siaran itu dengan ciri khasnya seperti biasa. Cinda yang mendengar sedikit terbawa perasaan. Sudah lama ia tidak mendengar suara Aristama.

“So, today … gue memperkenalkan newest segmen di Erka yang berjudul Confesession yang akan gue pandu bersama sahabat gue Ragio setiap hari rabu jam 7 malam. Tapi khusus malam ini, siaran sepenuhnya bakal gue ambil alih sendirian. Confesession adalah wadah yang gue buat untuk membantu temen-temen Erkas menyatakan perasaan, entah itu perasaan suka, permintaan maaf, rasa menyesal, dan apapun yang ingin lo sampaikan kepada orang tertentu yang terlalu susah untuk lo ungkapkan secara lisan langsung di depan orang yang dituju. For me, nggak berani untuk mengungkapkan secara langsung tidak melulu karea lo tidak punya keberanian, tapi terkadang ada satu tumpuan yang membuat perasaan itu tidak bisa tersampaikan.” Aristama lanjut menjelaskan.

Ada satu tumpuan yang membuat perasaan itu tidak bisa tersampaikan. Menjadi highlight bagi Cinda.

“Untuk first segmen hari ini, selama tiga puluh menit ke depan, gue akan jadi confession pertama.” Cinda memperbaiki duduknya, ia merapatkan kursi sedikit ke meja, menumpu kedua sikunya di atas meja. Perasaannya masih gelisah sekaligus penasaran.

“For someone i met at the erka's lobby, a place where i spend most of my time. Someone with a cute tumblr, someone with brightness smile, someone who never looks bad in any situations. Mungkin lo lagi dengar ini dengan perasaan bingung, marah, dan masih kecewa. Tapi gue terima kasih karena lo masih mau dengar.” Cinda menggigit bibir bawahnya mendengar suara lantang Aristama berubah lembut saat menjelaskan tentang dirinya.

“Gue pernah bilang, fall in love is not easy, yang selalu dengar siaran gue mungkin bakal notis. Dan lucunya, perempuan ini bilang sebaliknya love is easy, easy to love. Awalnya gue gak percaya love at first sight, gue gak percaya jatuh cinta bisa semudah itu, tapi semua berjalan begitu cepat, gue denial berkali-kali, tapi saat gue ketemu dia gue seakan lupa sama denial-denial gueitu. I’ve been prepared this scene but I made a mistake, but yeah i wouldn’t stoped, im so sorry, maaf karena buat lo nunggu lama, nunggu sesuatu yang seharusnya bisa jadi hal yang lebih baik dari ini, i realized you’re not only my love at first sight, you’re more than that. Gue gak tau apa gue masih pantas bilang ini, im really in love with you, i will try to be okay whatever your answer after this, I only know that’s my answer.”

Air mata Cinda hampir saja menetes kalau saja ia tidak segera mendongahkan kepalanya. Dia tidak pernah medengarkan kalimat seperti ini sebelumnya, entu pengecualian untuk Mama, Papa, dan Abangnya yang memang menjadi standarnya dalam mencintai. Perasaan bersalah tumbuh berkali-kali lipat, di tengah perasaan berkecamuk, bisikan seperti berlalu masuk di telinga Cinda 'He treat you very well before, but he left you then.'

Cinda spontan menarik dan melepas earphonenya, lalu menutup dengan paksa laptop di hadapannya membuat tidak ada lagi suara Aristama yang terdengar di telinganya.

Cinda beranjak, menghempaskan tubuhnya di atas ranjang dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, air matanya sudah menetes di dalam sana.

Sebenarnya semua bisa berjalan mudah, Cinda hanya tinggal mengatakan 'iya' dan berteriak betapa ia sudah menaruh hati ke Aristama sejak jauh-jauh hari. Tapi perasaannya campur aduk, tidak lagi hanya rasa senang dengan kupu-kupu berterbangan, tapi perasaan takut dan tidak percaya diri mengiringi di belakangnya.


Cinda tidak menyadari ia kehilangan kesadaran setelah puas menangis di balik selimut, ketukan pintu berkali-kali terdengar terburu-buru dari luar kamarnya. Gadis itu lupa kalau tadi ia mengunci rapat pintu itu. Cinda menerangkan lampu kamarnya yang semula low mode menjadi normal. Cinda mampir sebentar di depan kaca, wajahnya sedikit bengkak tapi ia terlalu malas untuk menyembunyinkannya, sekilas ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam lebih lima belas menit.

“Ketiduran ya kamu?” Pertanyaan pertama keluar dari mulu Wanita paru baya berambut panjang dengan paras yang masih cantik di umurnya yang ke-50. Namanya Dewi, Tante Dewi, Mama cantiknya Cinda.

Sang anak tersenyum tipis, ia tidak perlu menjelaskan, keadaan wajahnya sudah cukup menjawab.

“Di bawah ada teman kamu, yang pernah datang kesini, Aristama itu.” Cinda yang semula malas tiba-tiba langsung melotot mendengar nama Aristama. Mamanya tidak mungkin berbohong mengenai ucapannya.

“Turun ya, dia nunggu di bangku depan, dari tadi.” Dewi berlalu begitu saja meninggalkan Cinda yang masih melongo.

Gadis itu mengusap wajahnya gusar dan segera masuk kembali ke kamar. Niatnya tadi akan membiarkan wajah bantal dan bengkaknya tampil apa adanya, tapi situasi berbeda membuatnya seger masuk ke kamar mandi dan mencuci wajah sesegera mungkin.

Beberapa menit berlalu, setelah memastikan wajanya terlihat lebih baik, Cinda langsung berjalan keluar, menuruni anak tangga, celingak-celinguk ia mencari keberadaan cowok itu di ruang tamu tapi nihil, hingga jawaban terakhir pasti Aristama tengah duduk di bangku teras rumah cinda.

Tepat sekali sasarannya, Aristama tengah duduk di salah satu kursi besi yang tersedia di sana. Mereka berdua saling melihat, dua raut wajah yang berbeda tapi dengan suasana hati yang sama. Gusar dan gelisah.

“Lo di sini, Ar.” Cinda membuka suara menghalau rasa canggung, gadis itu sudah ikut duduk.

Aristama mengangguk. “Apa kabar?”

“Kayak yang lo liat aja,” jawab Cinda, ia tersenyum simpul. “I wish you get better.” Cinda mengangguk. “same wish for you, kala gitu.” “Tentang siaran tadi-“ “Gue dengerin.” Cinda memotong kalimat Aristama. “Thank you.”

Sepertinya, keduanya sadar akan kondisi masing-masing. Interaksinya tidak seleluasa biasanya, tidak ada wajah ceria Cinda dan senyum tipis yang sering mengembang di wajah Aristama.

Cinda mengangkat kepalanya, menatap lautan bintang yang terang berhamburan malam itu. “Itu … confess paling indah yang pernah gue dapet,” kata Cinda, kini ia menoleh menatap Aristama. “Tapi gak tau kenapa juga rasanya paling menyesakkan,” lanjutnya menatap Aristama penuh arti.

“Im sorry.” Kepala pemuda itu langsung menunduk.

“No, Stop bilang sorry, dengar itu buat gue makin sadar how hurt it is.”

“Cin, I don’t want to force yourself gue udah pernah bilang, and love you I really do. Tapi kalau emang apa yang udah gue perbuat masih membayang-bayangi lo, gue bakal paham,” jelas Aristama pasrah, matanya sayu dan tatapannya berubah sendu.

Cinda mengangguk mengerti, Aristama ternyata paham maksudnya. “Gue gak akan nyuruh lo nunggu gue, i know waiting is the fucking things ever. Kalau ternyata lo mau berhenti atau lo ketemu orang baru nanti, just do it. Tapi gue juga gak akan nyuruh lo nyerah sebelum lo mau nyerah. Semua terserah lo, sekarang biarin gue kembaliin self love gue.”

Aristama diam. Ternyata benar, apa yang ia khawatirkan terjadi. Satu kesalahan dapat mengubah segalanya. Aristama tidak dapat berbuat apa-apa, menatap wajah Cinda saja terasa sulit untuknya.

“You don’t love me back, Cin?” tanya Aristama dengan hati-hati.

“I do, Ar,” cinda menjawab secepat kilat. “Tapi biarin gue simpan sendiri. Let me rest,” lanjutnya berat.

Aristama tidak menyahut lagi. Jawaban-jawaban dari Cinda sudah cukup jelas, ia harus menepati janji untuk tidak memaksakan apapun. Meski jauh di lubuk hatinya, ia merasa kecewa berkali-kali lipat. Bukan kecewa karena ia ‘ditolak’ tapi ia kecewa pernah melewatkan kesempatan.

Sementara Cinda masih diam, berkali-kali mengatakan dalam hati pada dirinya sendiri bahwa ini yang terbaik untuk dirinya saat ini. Kalau bukan begini, ia hanya akan semakin menghabiskan waktu untuk menanyakan kepada dirinya apakah dirinya sebenarnya sudah cukup dan apakah dia hanyalah bagian dari pilihan yang ada.

Tata si kucing berusia tiga tahun itu baru saja selesai diperiksa, Tata lagi-lagi terkena gangguan pencernaan, itu juga yang menjadi alasan kucing berbulu lebat itu tampak murung belakangan ini. Asisten dokter mengelus sekali lagi punggung Tata sebelum mempersilahkan Cinda sebagai majikan mengambil alih Tata.

Cinda meundukkan kepala berterimakasih, ia mengangkat Tata dan memasukkan kembali kucing gembul itu di pet carrier lalu menuju meja dokter utama yang sudah selesai memeriksa Tata beberapa menit yang lalu.

dr. Shena Indriawan, nama yang tertulis di atas mejanya. Dokter utama berusia paruh baya yang penampilannya terlihat jauh lebih muda dari usianya. Raut wajahnya berwibawa dan cerdas, serta garis wajah yang jika dilihat lagi memiliki banyak kemiripan dengan Aristama. Benar, Dokter Shena inilah ibu dari Aristama.

Di kunjungan sekaligus pertemuan pertama Cinda dengan Dokter Shena, Cinda sudah memperkenalkan diri, tetapi sejak masuk ke ruangan ini tadi, Dokter Shena belum menunjukkan gerak-gerik kalau ia masih mengenal Cinda. Cinda tidak masalah, toh dia siapa memangnya yang harus selalu diingat oleh orang sekelas Dokter Shena? Lagipula ia bisa berkenalan lagi nanti.

“Saya sudah tulis semua diagnosis dan resepnya, bisa dipantau tiga hari ke depan untuk makanan yang dikonsumsi,” “kalau ada tanda-tanda keparahan setelah pemeriksaan ini bisa langsung hubungi dokter tiara.”

“Baik, makasih dokter.”

“Ada yang mau ditanyakan lagi sambil menunggu hasil pemeriksaan?” Dokter Shena memastikan.

“Cukup, Dok. Penjelasannya udah jelas.” Cinda menjawab sopan.

Dokter Shena mengangguk paham, ia kembali sibuk dengan kertas-kertas yang ada di mejanya.

“Apa kabar, Cinta?” “Hah?” Cinda tampak bingung, lalu detik berikutnya mengangguk mengerti. “Ah kabar baik, Tante.” “You move from dokter to tante.” Dokter Shena tersenyum melihat wajah gelagapan Cinda. Cinda tersenyum kikuk. “Maaf dok.”

“Gak masalah,” kini Dokter Shena menopang lengannya di atas meja. “Kata karyawan di luar, Aristama lagi nunggu kamu.”

Cinda kembali salah tingkah. “Eh? Saya gak tau kalau Aristama udah datang”

“Hubungan kamu dengan dia ternyata lebih dekat dari yang saya bayangkan.” Cinda tahu kalau Dokter Shena sedang berbicara santai tapi tetap saja suhu ruangan itu seperti menjadi lebih dingin dari sebelumnya.

“Kami masih berteman biasa.” Cinda kembali tersenyum canggung.

Dokter Shena mengangguk paham. “Good luck for you. At least kamu bukan perempuan yang ditemuinya di radio erka itu karena kalau iya dia akan semakin gila dengan erka.”

Cinda mengerjapkan mata mencoba mencerna maksud Dokter Shena. Ternyata Dokter Shena masih belum juga melunak. Dokter Shena belum memberikan dukungan ke Aristama atas pilihannya.

Cinda menggigit bibir bawahnya sedang menimbang-nimbang. “Tapi saya ketemu Aristama di Erka, Tante,“ Cinda memperhatikan perubahan raut wajah Dokter Shena. “ Dan Aristama di Erka adalah Aristama yang paling menarik menurut saya. Aristama gak akan gila dengan Erka, tapi Aristama mungkin akan gila kalau dia enggak di Erka.”

Dokter Shena tersenyum kecut. “Ternyata kamu gak tau apa-apa, dia lebih milih sibuk dengan dunianya dan tidak menuruti-“

“Saya tau semuanya tante, Aristama sudah cerita semuanya.” Cinda memotong kalimat Dokter Shena. “Kalau saja Aristama anak orang tua saya, dia sudah jadi anak emas di keluarga. Kalau kata mama saya, pilihan orang tua memang yang terbaik, tapi orang tua kadang gak tau yang terbaik di sini apakah untuk si anak atau hanya untuk orang tua?”

Suasana ruangan pemeriksaan itu menegang. Raut wajah Dokter Shena sudah tidak senyaman sebelumnya. Serta Cinda yang mati-matian mengenggam tangannya yang sialnya gemetaran, tapi demi harga diri dan menutupi rasa malu ia harus meladeni tatapan maut dari Dokter Shena.

“Ini hasil pemeriksaannya, mbak.” Cinda menghembuskan napas dengan lega saat Dokter Tiara dating memberikan satu lembar berkas hasil pemeriksaan Tata. Ingin sekali Cinda memeluk dan berterimakasih kepada Dokter Tiara sekarang juga karena sudah meloloskannya dari situasi ini.

“Makasih, Dokter.” Cinda bangun dari duduknya, ia menundukkan badan sedikit sambil berterima kasih. Setelah itu, Cinda menoleh melihat Dokter Shena yang masih memasang wajah datar yang tidak tertebak.

“Maafin saya Tante, tadi saya hanya berbicara sebagai teman Aristama,” kata Cinda mengklarifikasi. “Terima kasih sekali lagi, Dokter Shena.”

Cinda mengangkat pet carrier Tata kemudia segera keluar dari ruangan itu. Tepat di luar ruangan, gadis itu melompat-lompat kesal sambil berkali-kali memukul bibirnya. “Gila gue udah, gila. Bye world.”

“Lo terakhir belajar nyetir kapan?” Aristama baru saja mengeluarkan mobilnya dari lahan parkir. Mobil sudah melaju perlahan keluar area Crowners menuju jalan raya.

Cinda berpikir sebentar mencoba mengingat-ingat, “tujuh bulan lalu kayaknya, itu kedua kalinya gue belajar nyetir setelah terakhir waktu gue SMA, waktu itu gue nabrak pagar rumah orang, dan sama kayak sebelumnya, gue berakhir nabrak pembatas jalan.”

Aristama tertawa, ia melirik Cinda sekilas yang ekspresi wajahnya sudah berubah masam.

“Emang segitu gak bakatnya gue dalam kehidupan sampe nyetir kendaraan apapun aja gak bisa, Ar.” Cinda mengerucutkan bibirnya melas.

“Lo ngerasa trauma ngga?” “Belajar nyetir mobil? Engga sih. Gue lebih ke udah gak tertarik aja, apes mulu.” “Kalau gitu mau belajar sama gue?”

Tembakan Aristama membuat sang gadis menoleh seketika, si pemuda di balik kemudi tetap terlihat santai.

“Hah? Sekarang?” Cinda bertanya memastikan.

Aristama menanggaguk dan kembali melirik Cinda yang belum mengalihkan pandangan darinya. “Iya, belajar mobil enaknya malam gini, suasananya lebih tenang dan bikin lebih fokus.”

“Gue udah pernah ngajarin orang naik mobil.” “Serius? Siapa?” “Rilla, liat aja dia sekarang udah bisa nyetir mobil sampe bandung.”

Cinda diam mendengar nama Rilla. Pandangannya teralih menatap jalanan di hadapannya.

“Nggak mau?” Aristama bertanya memastikan, menyadari Cinda yang belum bersuara sama sekali.

“Oke, ayo, siapa takut.” Cinda menjawab dengan cekatan dan percaya diri.

“Tapi jangan nabrak lagi,” goda Aristama.

“Gak janji.” Detik selanjutnya keduanya tertawa bersamaan.

Aristama menggeleng tanda tak habis pikir, selalu seru jika bersama Cinda. Senyum yang tidak pernah luntur dari wajah tegas nan manis itu serta celetukan-celetukan yang tak terduga keluar dari lisannya. Cinda selalu seperti itu, gadis manis yang selalu terbuka dengan siapapun, selalu menerima siapapun, dan selalu nyaman dengan siapapun. Kadang tanpa gadis itu sadari, ia mudah sekali menaruh perasaan yang berujung menyakiti hatinya sendiri.

Dua puluh menit di perjalanan, mobil Aristama kini memasuki gerbang perumahan elite yang tampak lenggang. Cahaya lampu jalan yang terang-benderang memperjelas keheningan komplek itu.

“Kita belajar di sini?” Cinda celingak-celinguk memandang sekeliling komplek.

“Iya, ini komplek perumahannya Gio, orang-orang bilangnya perumahan tentara, emang sepi sih. Kebanyakan yang punya rumah keluarganya suka dinas ke luar kota.” Aristama memelankan laju mobilnya, menghentikan tepat di bahu jalan tidak jauh dari area taman.

“Luas banget jalanannya, dua arah pula.”

Cinda ikut melepaskan seatbeltnya karena melihat Aristama sudah lebih dulu melakukannya.

“Makanya di sini paling enak kalau mau belajar nyetir, lampu jalannya juga terang. Dulu Rilla juga belajarnya di sini.”

Kali ini Cinda hanya mengangguk-angguk, ia mendengar nama Rilla lagi.

“Yaudah ayo, tukeran.” Aristama membuka pintu kemudi dan segera beralih ke pintu sebelah kiri. Begitu juga dengan Cinda.

Keduanya sudah selesai bertukar posisi duduk, Cinda sedikit memajukan jok kemudi untuk lebih dekat dengan stir mobil. Seperti kebiasaan perempuan pada umumnya.

“Lo udah tau dasarnya kan? Rileks aja, Tarik gasnya pelan-pelan.”

Cinda mendengar tanpa merespon apa-apa. Badannya tegang bahkan saat baru ingin memindahkan mobil sedikit lebih ke tengah. Dengan hati-hati Cinda mengarahkan stir, mobil melaju pelan.

“Good.” Aristama tersenyum. Meskipun posisi duduknya yang awalnya santai kini sedikit ia condongkan karena ikut tegang.

“Di depan sana nanti belok kanan, lo ambil ancang-ancang tiga meter sebelum belokan, jangan terlalu pinggir juga,” Kata Aristama lagi. Cinda merespon dengan anggukan, terlalu fokus hingga bingung harus merespon dengan kata-kata.

Aristama bertepuk tangan pelan. “Nice.” Cinda berhasil membelokkan mobil, sesekali gadis itu menghela napas gugup.

Kecepatan mobil kembali normal, Cinda mulai terlihat rileks, begitu juga dengan Aristama yang sudah kembali menyandarkan punggungnya di jok penumpang. Segalanya berjalan baik hingga Cinda tidak sengaja menginjak pedal rem secara tiba-tiba, membuat Aristama kaget bukan kepalang serta Cinda yang sudah menutup mata dan mengenggap stir dengan erat.

“ITU APAAN.” Teriak Cinda histeris.

Aristama mengedarkan pandangan melihat ke luar mobil kemudian tersenyum lega. “Kucing lewat, Cin. Gak ketabrak kok, it’s okey.”

Cinda membuka matanya perlahan, melihat kucing berwarna orange dengan tidak berdosanya berlalu begitu saja. “Ah gue gak mau lanjutin lagi deh.” Cinda menarik tangannya dari stir kemudi.

“Ih jangan nyerah lah, itu kan rintangannya, nanti kalau lo nyetir di jalan raya rintangannya bakal lebih banyak, bukan cuman kucing nyebrang, tapi orang nyebrang gak liat-liat juga banyak.” Aristama meyakinkan Cinda. “Yuk lanjutin, abis ini gue ajak makan ice cream. Gue tau kedai ice cream yang enak.”

Cinda mengalah, perlahan kembali ia ulurkan kedua jemarinya untuk mengenggam stir kemudi. Lagi-lagi Aristama tersenyum melihat wajah melas Cinda yang masih menyisakan rasa gugup di sana.

Mobil masih melaju dengan kecepatan pelan, tujuan mereka adalah kembali ke titik awal memulai tadi. Aristama yang awalnya fokus menatap jalanan di depan teralih Ketika satu panggilan masuk terdengar dari ponselnya. Sebelum mengangkat telefon, Aristama mengisyaratkan kepada Cinda untuk terus melanjutkan laju mobilnya.

“Iya la?” jawab Aristama untuk seseorang di balik telefon. Cinda masih menebak-nebak siapa ‘la’ yang dimaksud.

Aristama melirik Cinda setelah mendengar jawaban dari orang di seberang sana yang tidak dapat di dengar oleh Cinda, “Oh oke tunggu ya, gue kesana sekarang.”

Sambungan telfon terputus, Aristama memasukkan kembali ponselnya ke saku celana.

”Ar?” tegur Cinda saat melihat Aristama yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu.

“Gue anterin pulang ya cin? Maaf gak bisa selesaiin, Rilla ngajak ketemu, kayaknya dia mau nanya gimana pertemuan gue sama bokap hari ini.”

Cinda diam sejenak, ia kembali mendengar nama Rilla, membuatnya semakin penasaran ingin bertanya sebenarnya bagaimana hubungan Aristama dan Rilla, apakah ternyata benar rumor-rumor di luar sana yang mengatakan keduanya pernah terlibat perasaan lebih dari teman bahkan hingga sekarang? Cinda spontan menggeleng menghalau pikirannya. Aristama yang melihatnya bingung.

“Ah, maksud gue itu, gak apa-apa, udah kemalaman juga.” Cinda menjawab. Gadis itu lupa kalau jam baru menujukkan pukul 9 dan bahkan mereka pernah pulang jam 4 pagi sebelumnya.

Pertemuan ketiga di club & bar Crowners. Malam ini mereka berdua tidak datang di waktu-waktu dini hari seperti dua pertemuan sebelumnya. Cinda bahkan sempat izin ke mama dan papanya, tidak perlu mengendap-endap agar tidak ketahuan orang rumah untuk pulang dan pergi.

Aristama menjemput Cinda di rumahnya, laki-laki itu juga sempat berpamitan dengan orang tua Cinda. Keberuntungan sedang berpihak kepada Cinda karena kebetulan Dave sedang tidak ada di rumah sehingga ia tidak perlu menahan semburat malu karena digoda habis-habisan oleh kakak laki-lakinya itu.

Di sinilah mereka sekarang, duduk di meja kecil khusus dua orang yang posisinya tidak terlalu bising. Hanya ada dua cocktail di hadapan keduanya, no alcohol seperti yang sudah disepakati.

“How’s your day, Cinda?” Aristama menopang kedua tangannya di atas meja, pemuda itu tersenyum tipis. Posisi keduanya berhadap-hadapan.

Cinda mengerjap.

“Not … bad,” jawab Cinda. “Hari ini gue nemenin salsa siaran, pulang dari erka harusnya gue ada kelas tapi dibatalin jadinya gue langsung pulang dan sempat ikut jogging di taman komplek,” jelas gadis itu antusias.

Aristama mengangguk masih dengan garis bibir yang terangkat. “Glad to hear that.”

“Lo oke, Ar? Lo menang award erka hari ini, kata salsa itu prestisius, entah udah ke berapa kalinya gue bilang ini, tapi beneran lo keren banget!” kata Cinda brsemangat.

Aristama langsung terkekeh pelan. “Gue oke, Cinda,” pemuda itu menghela napas pelan. “Sampai sebelum gue ketemu bokap hari ini.”

Raut wajah Cinda langsung berubah. Gadis itu memang sudah menebak kalau hal ini akan terjadi, ia juga tahu hari ini Aristama mengunjungi papanya. Ini juga yang menjadi alasan mereka berada di sini sekarang.

Cinda yang masih diam membuat Aristama paham kalau gadis itu bingung.

“But I did well, Cin.” Aristama berkata. “Gue akan tetap di jalan gue, walau bokap udah sangat membenci anak tunggalnya ini. Sekarang tinggal gimana gue ngehadapain nyokap, she is my greatest treasure, I can’t live with her, gue takut nyokap akan benci gue juga karena gak bisa nurutin kemauannya,” tambahnya.

Cinda mengangguk-angguk mengerti, Aristama will be Aristama. Pemuda itu berani mengambil risiko.

“Mama lo bakal support lo, Ar. Percaya sama gue.” “Oh ya? Lo kenapa sepercaya itu? lo baru ketemu dia sekali,” Aristama memasang wajah penasaran. “Gue yakin aja.” Cinda menjawab.

Kembali hening. Aristama masih memandang lurus ke arah Cinda, sementara sang gadis sibuk menyeruput minumannya.

“Ar, gue iri sama lo.” Cinda berkata tiba-tiba membuat Aristama yang tadinya baru ingin menarik gelas minumannya langsung mengurungkan niat.

“Hm?” “Karena lo punya bakat dan lo konsisten akan itu.” “Emangnya lo engga?” “Gue gak bisa apa-apa, Ar.”

Aristama memperbaiki posisi duduknya, ia terlihat tertarik dengan topik pembicaraan ini.

But, you looks confident with yourself,” kata Aristama, kini matanya menatap Cinda lebih intens. “Orang tua lo menerima apapun pilihan lo, mereka gak pernah mengekang lo, dan selalu mendukung lo, right?” sambungnya.

Cinda tersenyum dan mengangguk membenarkan. “That’s why I confident,” jawab Cinda. “Gue selalu senang ngeliat orang-orang di sekitar gue grow and glow, tapi dalam waktu yang sama gue bertanya-tanya why i can’t be like them, gue selalu ngerasa stuck dan berputar di comfort zone gue.” Cinda kini menundukkan pandangannya, tidak sadar pembicaraan jadi sedalam ini.

You don’t need to be them, lo harus tau pencapaian paling tinggi adalah saat kita bisa menerima diri, kayak lo sekarang ini, gak ada salahnya following the road.”

“Duh, emang beda ya kalau ngobrol sama ahlinya,” celetuk Cinda mencairkan suasana.

Aristama ikut terkekeh. “Ada-ada aja, gue penyiar, bukan motivator.”

“Kalau gitu, lo harus following the road juga, lo milih mimpi lo sebagai penyiar jadi lo harus percaya diri what ever the ending. Im on your side, Ar.”

Aristama tersenyum lembut. “Me too, Cinda.”

Setelah itu, mereka berdua sama-sama menyeruput minuman di hadapan masing-masing. Mereka tidak sadar kalau baru saja mereka kembali berbagi kisah yang sebelumya tidak pernah mereka bagikan ke orang lain.

Pukul 02.15 dini hari.

“Gak mau dibangunin aja kak pacarnya?”

Cinda menoleh, bukan karena sebutan pacar, lagi pula wajar bartender berpikiran seperti itu, seorang gadis rela datang pukul 2 dini hari hanya untuk pemuda yang sedang kelewat mabuk. Cinda menerima satu gelas air mineral dari bartender. Sudah tiga puluh menit gadis itu tiba dan duduk di meja bartender mendapati Aristama tengah menopang kepala di lipatan tangannya. Menurut informasi dari bartender, Aristama sudah tertidur sejak tiga puluh menit yang lalu.

“Dia dari tadi sendirian?” tanya Cinda.

Bartender itu mengangguk.

Cinda mengulum bibirnya, ragu-ragu ingin mengulurkan tangannya ke pucuk rambut Aristama, berniat membangunkannya. Sampai akhirnya tangan itu mengambil alternatif menyentuh pundak Aristama, lalu sedikit menggoyangkannya.

“Ar, lo denger gue?” Cinda mendekatkan wajahnya, samar-samar ia mendengar Aristama meracau.

Benar saja, perlahan iris mata Aristama terbuka, tatapan pemuda itu masih sayu. Aristama mengerjap, mengedipkan mata berkali-kali untuk melihat gadis di depannya.

“Cin ... Cinda?”

Aristama langsung membangunkan tubuhnya, diikuti oleh Cinda yang juga mengubah posisi duduk.

Aristama menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menetralkan kesadaran. Ia kembali menatap Cinda, pelan-pelan dia mengulurkan tangannya, Cinda diam saat tangan Aristama sudah berhasil menyentuh pipi sebelah kanannya. Pemuda itu tengah memastikan sesuatu.

Hanya seperkian detik hingga keduanya sama-sama sadar, Aristama menarik tangannya, Cinda yang terkejut langsung mengalihkan pandangan.

***

Parkiran area bar Crowners lenggang, Aristama dan Cinda berada di Pajero milik si lelaki, Aristama sudah merasa lebih baik dari sebelumnya, walau tentu dia tidak bisa langsung mengemudi saat ini juga.

“Makasih, Cin. Maaf karena lo sampe harus kesini,” kata Aristama yang baru saja meneguk satu kaleng susu putih yang dibelikan Cinda sebelum sampai di bar.

Cinda menghela napas, menyandarkan tubuhnya di jok penumpang. “Gue juga bingung sih kenapa gue sampai kesini.”

“Gue udah hubungin Gio, nanti dia yang nyetirin kita pulang,” kata Aristama. Suasana mobil kembali hening, Aristama yang masih berkutat dengan alkohol yang belum sepenuhnya hilang dari tubuhnya dan Cinda yang masih memikirkan alasan kenapa sampai di sini.

“Are you okay, Aristama?” gumam Cinda bertanya. “Sebelumnya lo sendiri yang bilang ke gue, kalau lagi ada masalah, jangan minum apalagi sendirian, bukannya lo sebelumnya juga bisa tahan gak minum?” lanjut Gadis itu.

“Im not okay, Cinda.” Aristama bergumam.

“It's really hurt you?” “No, i just ... lost”

Cinda tidak menanggapi lagi, mereka melanjutkan perdebatan pikiran di kepalanya.

“Saat lo liat gue, apa yang lo pikirin?” tanya Aristama masih dengan posisi yang sama, mereka masih sama-sama menatap lurus ke depan, bersandar lelah di jok masing-masing.

“Erka, Radiokampus, penyiar radio.” Cinda menjawab.

“Ya, it's me.” Aristama mengangguk, “But not for my mom,” lanjutnya.

Ucapan Aristama berhasil membuat Cinda menoleh, ia menatap Aristama bingung, kaget, sekaligus penasaran.

Aristama menoleh sebentar, melihat Cinda yang tidak berkedip. “Bokap gue pejabat pemerintah, ini tahun ketiga perceraian mereka, bokap maunya gue fokus kuliah dan ngejalanin segala prosedur untuk jadi penerus dia di dunia politik, awalnya mama gue gak masalah gue mau ngelakuin apapun, tapi setelah perceraian mereka, mama terobsesi untuk ngebuktiin ke keluarga bokap kalau mama bisa ngedidik gue jadi seperti yang bokap mau, karena selama ini keluarga bokap selalu ngeremehin mama.”

Aristama menarik napasnya, sebelum kembali bercerita. “Gue gak mau, Cinda. Gue udah jatuh cinta sama apa yang gue lakuin, jelas gue ngerasa jahat sama mama tapi gue gak mau nyerah hanya karena obsesi mama atas validasi keluarga bokap gue.”

Aristama menundukkan kepalanya, ia mungkin bercerita setengah sadar, tapi ucapannya masih sangat tertata dan jelas terdengar. Skill public speaking-nya jelas sudah tidak diragukan lagi.

Cinda menatap Aristama iba, diulurkannya tangannya untuk mengelus punggung Aristama. “You did well, Ar. Good choice, di luar semua itu nyokap lo pasti bangga sama pencapaian lo sekarang.”

Aristama kembali bersandar di balik jok kemudi, cahaya remang yang datang dari lampu mobil dan pantulan tipis cahaya dari luar dapat memperlihatkan dengan jelas wajah berantakan Aristama-yang sayangnya tetap terlihat menarik.

Cinda tiba-tiba mengangguk mantap, ia sedikit menyerongkan tubuhnya, agar lebih leluasa melanjutkan obrolan dini hari itu. “Oke, karena lo yang lewatin batas duluan, dan lo juga udah pernah liat gue dalam kondisi yang paling gue sembunyiin, gue juga bakal cerita.”

Aristama membulatkan matanya, bibirnya sedikit mengerucut, kaget mendengar kalimat Cinda.

“Gue gak pernah ketemu orang tua kandung gue,” baru kalimat pertama dari Cinda, Aristama sudah hampir tersedak mendengarnya.

Cinda kembali memperbaiki posisi duduknya. “Gue diadopsi dari panti di umur gue yang ke-5, orang-orang mungkin gak akan percaya karena mama dan papa gue yang sekarang adalah orang tua yang luar biasa,” Cinda tersenyum tipis. “Mama papa gue gak pernah ngebiarin gue sedih, semua hal bakal mereka lakuin buat gue, karena itu juga gue gak pernah mau datang dengan keadaan sedih di depan mereka. Gue gak mau mereka mikir kalau mereka gagal bikin gue bahagia. Mereka selalu ngajarin gue buat jadi orang yang baik, dari mereka gue belajar kalau kasih sayang emang gak ada tolak ukurnya, bukan mereka yang ngelahirin gue, gak ada darah mereka yang ngalir di tubuh gue, tapi mereka ngasih gue cinta sebanyak itu.”

Cinda menatap Aristama yang juga melihatnya dengan sendu. “Ohiya nama gue dulu cuman Dayna, gak ada nama depan dan nama belakang, mereka yang nambahin nama Cinta di depan nama gue dan nama keluarga di belakangnya, walaupun pada akhirnya gue gak mau dipanggil Cinta sama orang lain karena gue selalu diledekin pas sekolah, tapi gue suka nama itu, nama yang cuman disebutin sama orang yang cinta sama gue.”

Cinda kembali tersenyum, ia mengakhiri ceritanya. Sementara Aristama masih diam, pandangannya tidak teralihkan dari senyuman Cinda.

“How lucky you are, you deserve that.” Kalimat itu keluar bersamaan dengan tangan Aristama yang sudah menggenggam pelan jemari Cinda.

Entah apa yang akan terjadi setelah ini, besok pagi, ataupun setelah hari ini. Mereka sudah sama-sama melewati batas. Batas yang masing-masing mereka buat sendiri, tapi dengan mudah mereka lewati. Hubungan yang masih belum pasti itu, apakah akan mudah mereka lewati.

Memang pada dasarnya, bukan dengan orang yang paling dekat atau orang yang paling lama bersua yang bisa membuat kita bercerita, tapi dengan dia yang mampu menyalurkan perasaan hingga bermetamorfosis memberikan kenyamanan.

Dua kali ketukan yang datang dari jendela mobil tepat di sebelah Aristama, mengakhiri genggaman tangan mereka malam menjelang pagi itu.

Pukul 02.15 dini hari.

“Gak mau dibangunin aja kak pacarnya?”

Cinda menoleh, bukan karena sebutan pacar, lagi pula wajar bartender berpikiran seperti itu, seorang gadis rela datang pukul 2 dini hari hanya untuk pemuda yang kelewat mabuk. Cinda menerima satu gelas air mineral dari bartender. Sudah tiga puluh menit gadis itu tiba dan duduk di meja bartender mendapati Aristama tengah menopang kepala di lipatan tangannya. Menurut informasi dari bartender, Aristama sudah tertidur sejak tiga puluh menit yang lalu.

“Dia dari tadi sendirian?” tanya Cinda.

Bartender itu mengangguk.

Cinda mengulum bibirnya, ragu-ragu ingin mengulurkan tangannya ke pucuk rambut Aristama, berniat membangunkannya. Sampai akhirnya tangannya mengambil alternatif menyentuh pundak Aristama, sedikit menggoyangkannya.

“Ar, lo denger gue?” Cinda mendekatkan wajahnya, samar-samar mendengar Aristama mengigau.

Benar saja, perlahan iris mata Aristama terbuka, tatapan pemuda itu masih sayu. Aristama mengerjap, mengedipkan mata berkali-kali untuk melihat gadis di depannya.

“Cin ... Cinda?”

Aristama langsung membangunkan tubuhnya, diikuti oleh Cinda yang juga mengegakkan kembali tubuhnya.

Aristama menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menetralkan kesadaran. Ia kembali menatap Cinda, pelan-pelan dia mengulurkan tangannya, Cinda diam saat tangan Aristama sudah berhasil menyentuh pipi sebelah kanannya.

Seperkian detik hingga keduanya sama-sama sadar, Aristama menarik tangannya, Cinda yang terkejut langsung mengalihkan pandangan.


Aristama dan Cinda berada di Pajero milik Aristama, cowok itu sudah lebih baik dari sebelumnya, walau tentu dia tidak bisa langsung mengemudi saat ini juga.

“Makasih, Cin. Maaf karena lo sampe harus kesini,” kata Aristama yang baru saja meneguk satu kaleng susu putih.

“Gue juga bingung kenapa gue sampai kesini”

“Gue udah hubungin Gio, nanti dia yang nyetirin kita pulang”

“Are you okay, Aristama?” “Sebelumnya lo sendiri yang bilang ke gue, kalau lagi ada masalah, jangan minum sendirian, bukannya lo sebelumnya juga bisa tahan gak minum?”

“Im not okay, Cinda. Im sorry, i lost.”

“It's really hurt you?”

“No, i just ... lost”

“Saat lo liat gue, apa yang lo pikirin?”

“Erka, Radiokampus, penyiar radio.”

“Hm, it's me.” “But not for my mom” “Bokap gue pejabat pemerintah, ini tahun ketiga perceraian mereka, papa mau gue fokus kuliah dan ngejalanin segala prosedur untuk jadi kayak bokap, awalnya nyokap gue gak masalah gue mau ngelakuin apapun, tapi setelah perceraian mereka, nyokap terobsesi untuk ngebuktiin ke keluarga bokap kalau mama bisa ngedidik gue jadi seperti yang bokap mau karena selama ini keluarga bokap selalu ngeremehin mama”

“Gue gak mau Cinda, gue udah jatuh cinta sama apa yang gue lakuin, gue ngerasa jahat sama nyokap tapi gue gak mau nyerah hanya karena obsesi nyokap atas validasi keluarga bokap gue.”

“You did well, Ar. Good choice, di luar semua itu nyokap lo pasti bangga sama lo”

Dentuman musik dengan volume keras memenuhi setiap sudut ruangan tempat hampir semua orang bersenang-senang itu. Tempat yang lebih dikenal dengan perspektif buruk dan bahkan ladang dosa.

Musik keras, lampu warna-warni, minuman keras, perempuan dengan baju seksi, hingga adegan tak senonoh. Tapi yang jelas, Aristama–pemuda yang sedang duduk di salah satu kursi di depan bartender–tidak sedang melakukan hal yang tidak-tidak, ia menepati ucapannya untuk tidak minum alkohol, hanya ada soft drink di hadapannya.

Sudah 10 menit sejak Aristama menangkap pandang gadis dengan rambut panjang terurai dan busana off-shoulder dress berwarna hitam. Gadis cantik yang sedikit mencuri perhatiannya beberapa hari belakangan.

Cinda masih larut dalam dunianya, menggerakkan tubuh mengikuti irama musik seperti tidak peduli sekitarnya. Sedangkan Aristama masih bergelut dengan pikirannya, apakah ia harus menyapa Cinda atau membiarkannya begitu saja.

Cinda mengambil langkah mundur, keluar dari lingkaran, menuju salah satu meja bundar tak berpenghuni, gadis itu sendirian. Ia mengesap dua teguk cocktail sebelum menumpu kepalanya di atas meja sambil mengacak kasar rambutnya sendiri.

Dari jauh Aristama dapat melihat, seorang pria berpakaian kasual mendekati Cinda, tidak lupa satu gelas alkohol di tangan kanan. Cinda menoleh menerima senyum dari pria itu, Aristama memperbaiki posisi duduk dan penglihatannya, hingga akhirnya ia sadar kalau Cinda sudah tidak sadar seratus persen. Pria di sebelah inda tidak menyia-nyiakan kesempatan dan langsung merangkul Cinda yang untungnya masih mampu ditepis oleh gadis itu.

“Sorry, gue agak pusing,” kata Cinda dengan suara parau.

“Mau ikut ke table gue? Lo sendiri kan?” ajak pria itu masih mencoba merengkuh Cinda.

Cinda menggeleng.

“How about room? Lo udah mabuk, gue bisa tem-“

Babe sorry, i made you wait, are you okay?” potong Aristama tiba-tiba. Pria hidung belang itu menoleh diikuti oleh Cinda yang masih setengah sadar.

Pria di sebelah Cinda itu memandang Aristama seperti bertanya penjelasan.

“Gue pacarnya, sorry don’t disturb her.” Aristama menatap tegas.

“Aristama?” sahut Cinda.

Ucapan Cinda seperti memberi validasi bahwa ia mengenal Aristama, membuat si pria tidak dikenal itu menyerah, memberi tatapan sinis, lalu pergi begitu saja.


Aristama melangkah memasuki mobilnya, ia membawa satu botol air mineral tanggung yang sudah ia buka dan memberikannya ke Cinda.

“Makasih.” Cinda meneguk air mineral itu hingga tersisa setengah.

Cinda masih tipsy tapi sudah lebih baik dari sebelumnya, wajahnya suda lebih segar setelah dibilas, rambutnya yang semula terurai berantakan sudah ia ikat kuncir menampilkan leher hingga bahunya yang terbuka sebelum akhirnya Aristama memberikan jaket boomber-nya untuk Cinda gunakan.

“Jadi lo naik apa kesini? Rumah lo jauh kan?” tanya Aristama setelah memastikan Cinda sudah lebih mendingan.

“Ojol.”

Aristama mengangkat alis. Kaget sekaligus bingung.

“Ya emang mau gimana lagi? Gue gak bisa ngendarain apapun, gue gak bisa minta tolong siapapun juga,” Cinda menerangkan.

“Nggak ada yang tau sama sekali lo clubbing?” tanya Aristama.

“Ada,” jawab Cinda. “Elo, lo yang pertama tau, jadi rahasia ya?” sambungnya.

Aristama menyandarkan punggunya di balik kemudi. Ingin bertanya lebih banyak tapi ia tahan, aneh rasanya berada di satu mobil yang sama dengan perempuan yang baru ia temui 2 kali-yang bahkan menarik perhatiannya di hari pertama ia temui.

Aristama belum memastikan perasaannya, ia tidak akan bohong kalau hari itu, hari dimana ia melihat Cinda untuk pertama kalinya, Cinda menarik perhatiannya, garis wajah tegas yang tersenyum ceria hari itu masih membayangi Aristama, tapi ia belum menentukan apakah perasaan aneh itu masih ada atau sudah lewat begitu saja. Lebih tepatnya, ia masih memikirkannya.

Ruangan yang lenggang tidak begitu terpedulikan oleh gadis berambut panjang yang kini tengah duduk manis di sofa bundar tepat di tengah-tengah lobi selebar 3x3 meter itu.

Erka. Radiokampus. Unit Kegiatan Mahasiswa nomor satu di Universitas. Masuk dalam top 3 stasiun radio tingkat universitas terbaik yang sangat berpengaruh di bidang announcer dan broadcasting mahasiswa. Bahkan rektorat memberikan satu bangunan khusus berlantai 2 yang menjadi hak paten Erka karena suksesnya alur koordinasi dari internal UKM itu.

Cinda duduk sendirian sambil terus menatap handphone di salah satu genggamannya. Salsa–temannya yang juga salah satu announcer Erka–baru saja berlalu untuk mengurus keperluannya di Ruangan lain.

Cinda menyandarkan punggungnya di kepala sofa sekaligus menaikkan salah satu kakinya di atas kakinya yang lain. Hingga akhirnya menyadari salah satu pesan grup dari Arum yang sedang mengoceh karena dibiarkan menunggu sendirian di Restoran Ramen.

Arum dengan kebiasaan ceplas-ceplos dan keahlian menyumpah yang selalu berhasil menghancurkan humor receh Cinda. Puncaknya adalah saat Arum mengatakan akan mecolok setiap mata yang memandang aneh kepadanya. Lagi-lagi Cinda terkekeh tanpa ragu, beruntungnya tidak ada satupun orang di ruangan itu–menurutnya.

Sementara dari depan ruangan lain, sudah berdiri lelaki berkacamata, dengan nametag tergantung di lehernya. Berdiam selama beberapa detik memandang Cinda dari jarak kurang dari 10 meter.

Aristama si tersangka menggeleng cepat tepat setelah Cinda kembali menetralkan ekspresi wajahnya. Aristama tidak mengenal gadis itu sama sekali, yang ia tahu ia ikut tersenyum melihat Cinda tertawa menatap layar di Handphone-nya. Sangat klise. Pemuda itu memperhatikan dengan tidak sengaja, selain rambut panjang indah yang terurai sepinggang, botol air minum berwarna merah muda yang didekap dengan lengan sebelah kanan gadis itu tidak kalah menarik perhatian.

Aristama menggeleng sekali lagi, menghela napasnya sebelum beranjak meninggalkan posisinya yang semula diam membeku, hingga kini sudah melewati Cinda yang sama sekali tidak terusik bahkan menoleh.

Cinda yang masih terlarut dengan humor recehnya, sedangkan Aristama yang baru saja tidak sengaja menaruh perhatiannya.