279. It’s the real ending – Easy to Love

Bait terakhir lagu dandelions mengakhiri suara Ruth Berhe yang mengisi waktu break siaran sore itu. Aristama kembali menyalakan microphone, ia meilirik gadis di sebelahnya sekilas memastikan apakah gadis itu siap untuk melanjutkan siaran yang akhirnya dibalas anggukan.

“Halo kawula muda, kembali lagi di prambors talk, bersama gue Aristama Sach. Disini masih ada Cinta Dayna, boleh disapa lagi nih, Cin.”

Cinda tersenyum dan mendekatan microphone di hadapannya, “hai.”

“Oke, tadi kita udah ngobrol bareng sama Cinda tentang film pertamanya dan bagaimana perjalanan karir dia 6 bulan terakhir, ada gak nih Cin, pesan-pesan buat orang terdekat lo yang udah menemani lo sampai sekarang?”

Cinda diam sebentar, sedikit berpikir akan memulai dari mana sampai akhirnya gadis itu menyentuh badan microphone bersiap untuk bersuara.

“Gue selalu ngerasa kalau gue itu gak punya bakat, gue gak punya ketertarikan sama suatu hal tertentu. Kadang hal itu buat gue mempertanyakan valuable diri gue. Am I worth? Am I enough? Tapi gue ternyata beruntung, orang-orang di dekat gue selalu yakinin gue kalau waktu setiap orang itu beda-beda, kadang satu dua hal yang gak pernah kita sangka-sangka yang membawa kita mulai merangkak. Mama, papa, dan abang gue yang gak pernah berhenti mendukung apapun yang gue lakuin dan sekecil apapun pencapaian yang gue dapat. Dua orang sahabat gue yang tanpa mereka gue gak bisa ada di sini, arum dan salsa semoga lo berdua selalu Bahagia. Dan…” Cinda mengambil jeda, ia menggigit bbir bawahnya, Aristama mengangkat alis menunggu lanjutan dari jawaban Cinda.

Cinda menarik napas panjang, memberanikan diri menatap Aristama, “… dan untuk satu orang lagi, seseorang yang gak pernah nyerah sama sekali sama apapun yang dia mau. Gue pernah jatuh cinta dan kecewa sekaligus sama orang ini, dan sampe di titik ini akhirnya gue menemukan satu alasan lagi how worthy I am, terima kasih karena masih mau berjuang dan nungguin gue, im still on you, too.”

Garis wajah Aristama sulit diartikan, sementara Cinda sudah tersenyum tipis lalu kemudian menundukkan kepalanya. Beberapa detik kemudian, Aristama mengangguk, namun kemudian ia tertawa dan memalingkan wajahnya. Salah tingkah yang sedang ditutup-tutupi.

“Okay, the last person you mentioned will be very happy to hear that,” kata Aristama memberi tanggapan.


Cinda menurunkan kaca dashboard mobil, lalu mengarahkan kaca itu ke wajahnya. Gadis itu memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan. Ia sedang menunggu di mobil Aristama, pemuda itu menyuruh Cinda keluar lebih dulu.

Tanpa perlu menunggu lama, pintu mobil bagian kemudi sudah di buka dari luar oleh sang pemilik mobil. Cinda baru mau membuka suara, namun suaranya terjeda saat melihat dengan santainya Aristama memberikan satu buket bunga tepat di hadapan Cinda.

“Congratulations, selamat udah selesaiin shooting film pertama lo, can’t wait to see your acting, kata Aristama dengan senyum tulus.

Seulas senyuman juga terukir di wajah Cinda, gadis itu mencium sekilas aroma bunganya sebelum memindahkan bunga itu ke pangkuannya.

“Thank you,” jawab Cinda. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Keduanya kembali mengalihkan tatapan masing-masing. Aristama masih belum juga menyalakan mesin mobilnya.

“Cin,” panggil Aristama.

Cinda menoleh, masih dengan bunga di pelukannya.

Aristama menarik napas panjang. “Can we walk together, now?” tanyanya lembut. “After a long time waited,” lanjutnya.

Cinda mengerjap, ia langsung menunduk tidak sanggup menatap mata sendu milik Aristama.

“Im sorry, for make you walk alone,” ujar Cinda masih dengan kepala menunduk.

“I’ts okay for me.” “Im sorry for your long waited.” “Gue juga pernah ngelakuin yang sama, kan? It’s okay.” “Im sorry for your confused.”

Aristama mendesah pelan, lalu memperbaiki posisi duduknya agar lebih dekat dengan Cinda. “Cin im okay with everything, gue cuman mau nanya sekarang apa kita udah bisa jalan- sama-sama?” tanyanya lagi. “Kalau belum juga gak apa-apa,” lanjut pemuda itu karena Cinda masih tak kunjung menjawab.

“Menurut lo, apa gue worth untuk lo tunggu?” Cinda mendongak menatap Aristama.

Aristama langsung mengangguk cepat. “Hm, always.”

Rasanya, saat itu juga Cinda ingin berteriak keras, jawaban cepat tanpa ragu dari Aristama menembus pertahanan hatinya. Entah karena jawaban itu terdengar tegas atau karena yang mengatakan adalah Aristama.

Cinda langsung mengulurkan telapak tangannya, Aristama mengangkat alis bingung. “Let’s walk together,” jelas Cinda.

Detik yang sama, senyum Aristama mengembang dengan mata yang berbinar ia menyambut telapak tangan Cinda, mengenggamnya erat seperti tidak akan ia lepas lagi.