190. driving and you left – easy to love
“Lo terakhir belajar nyetir kapan?” Aristama baru saja mengeluarkan mobilnya dari lahan parkir. Mobil sudah melaju perlahan keluar area Crowners menuju jalan raya.
Cinda berpikir sebentar mencoba mengingat-ingat, “tujuh bulan lalu kayaknya, itu kedua kalinya gue belajar nyetir setelah terakhir waktu gue SMA, waktu itu gue nabrak pagar rumah orang, dan sama kayak sebelumnya, gue berakhir nabrak pembatas jalan.”
Aristama tertawa, ia melirik Cinda sekilas yang ekspresi wajahnya sudah berubah masam.
“Emang segitu gak bakatnya gue dalam kehidupan sampe nyetir kendaraan apapun aja gak bisa, Ar.” Cinda mengerucutkan bibirnya melas.
“Lo ngerasa trauma ngga?” “Belajar nyetir mobil? Engga sih. Gue lebih ke udah gak tertarik aja, apes mulu.” “Kalau gitu mau belajar sama gue?”
Tembakan Aristama membuat sang gadis menoleh seketika, si pemuda di balik kemudi tetap terlihat santai.
“Hah? Sekarang?” Cinda bertanya memastikan.
Aristama menanggaguk dan kembali melirik Cinda yang belum mengalihkan pandangan darinya. “Iya, belajar mobil enaknya malam gini, suasananya lebih tenang dan bikin lebih fokus.”
“Gue udah pernah ngajarin orang naik mobil.” “Serius? Siapa?” “Rilla, liat aja dia sekarang udah bisa nyetir mobil sampe bandung.”
Cinda diam mendengar nama Rilla. Pandangannya teralih menatap jalanan di hadapannya.
“Nggak mau?” Aristama bertanya memastikan, menyadari Cinda yang belum bersuara sama sekali.
“Oke, ayo, siapa takut.” Cinda menjawab dengan cekatan dan percaya diri.
“Tapi jangan nabrak lagi,” goda Aristama.
“Gak janji.” Detik selanjutnya keduanya tertawa bersamaan.
Aristama menggeleng tanda tak habis pikir, selalu seru jika bersama Cinda. Senyum yang tidak pernah luntur dari wajah tegas nan manis itu serta celetukan-celetukan yang tak terduga keluar dari lisannya. Cinda selalu seperti itu, gadis manis yang selalu terbuka dengan siapapun, selalu menerima siapapun, dan selalu nyaman dengan siapapun. Kadang tanpa gadis itu sadari, ia mudah sekali menaruh perasaan yang berujung menyakiti hatinya sendiri.
Dua puluh menit di perjalanan, mobil Aristama kini memasuki gerbang perumahan elite yang tampak lenggang. Cahaya lampu jalan yang terang-benderang memperjelas keheningan komplek itu.
“Kita belajar di sini?” Cinda celingak-celinguk memandang sekeliling komplek.
“Iya, ini komplek perumahannya Gio, orang-orang bilangnya perumahan tentara, emang sepi sih. Kebanyakan yang punya rumah keluarganya suka dinas ke luar kota.” Aristama memelankan laju mobilnya, menghentikan tepat di bahu jalan tidak jauh dari area taman.
“Luas banget jalanannya, dua arah pula.”
Cinda ikut melepaskan seatbeltnya karena melihat Aristama sudah lebih dulu melakukannya.
“Makanya di sini paling enak kalau mau belajar nyetir, lampu jalannya juga terang. Dulu Rilla juga belajarnya di sini.”
Kali ini Cinda hanya mengangguk-angguk, ia mendengar nama Rilla lagi.
“Yaudah ayo, tukeran.” Aristama membuka pintu kemudi dan segera beralih ke pintu sebelah kiri. Begitu juga dengan Cinda.
Keduanya sudah selesai bertukar posisi duduk, Cinda sedikit memajukan jok kemudi untuk lebih dekat dengan stir mobil. Seperti kebiasaan perempuan pada umumnya.
“Lo udah tau dasarnya kan? Rileks aja, Tarik gasnya pelan-pelan.”
Cinda mendengar tanpa merespon apa-apa. Badannya tegang bahkan saat baru ingin memindahkan mobil sedikit lebih ke tengah. Dengan hati-hati Cinda mengarahkan stir, mobil melaju pelan.
“Good.” Aristama tersenyum. Meskipun posisi duduknya yang awalnya santai kini sedikit ia condongkan karena ikut tegang.
“Di depan sana nanti belok kanan, lo ambil ancang-ancang tiga meter sebelum belokan, jangan terlalu pinggir juga,” Kata Aristama lagi. Cinda merespon dengan anggukan, terlalu fokus hingga bingung harus merespon dengan kata-kata.
Aristama bertepuk tangan pelan. “Nice.” Cinda berhasil membelokkan mobil, sesekali gadis itu menghela napas gugup.
Kecepatan mobil kembali normal, Cinda mulai terlihat rileks, begitu juga dengan Aristama yang sudah kembali menyandarkan punggungnya di jok penumpang. Segalanya berjalan baik hingga Cinda tidak sengaja menginjak pedal rem secara tiba-tiba, membuat Aristama kaget bukan kepalang serta Cinda yang sudah menutup mata dan mengenggap stir dengan erat.
“ITU APAAN.” Teriak Cinda histeris.
Aristama mengedarkan pandangan melihat ke luar mobil kemudian tersenyum lega. “Kucing lewat, Cin. Gak ketabrak kok, it’s okey.”
Cinda membuka matanya perlahan, melihat kucing berwarna orange dengan tidak berdosanya berlalu begitu saja. “Ah gue gak mau lanjutin lagi deh.” Cinda menarik tangannya dari stir kemudi.
“Ih jangan nyerah lah, itu kan rintangannya, nanti kalau lo nyetir di jalan raya rintangannya bakal lebih banyak, bukan cuman kucing nyebrang, tapi orang nyebrang gak liat-liat juga banyak.” Aristama meyakinkan Cinda. “Yuk lanjutin, abis ini gue ajak makan ice cream. Gue tau kedai ice cream yang enak.”
Cinda mengalah, perlahan kembali ia ulurkan kedua jemarinya untuk mengenggam stir kemudi. Lagi-lagi Aristama tersenyum melihat wajah melas Cinda yang masih menyisakan rasa gugup di sana.
Mobil masih melaju dengan kecepatan pelan, tujuan mereka adalah kembali ke titik awal memulai tadi. Aristama yang awalnya fokus menatap jalanan di depan teralih Ketika satu panggilan masuk terdengar dari ponselnya. Sebelum mengangkat telefon, Aristama mengisyaratkan kepada Cinda untuk terus melanjutkan laju mobilnya.
“Iya la?” jawab Aristama untuk seseorang di balik telefon. Cinda masih menebak-nebak siapa ‘la’ yang dimaksud.
Aristama melirik Cinda setelah mendengar jawaban dari orang di seberang sana yang tidak dapat di dengar oleh Cinda, “Oh oke tunggu ya, gue kesana sekarang.”
Sambungan telfon terputus, Aristama memasukkan kembali ponselnya ke saku celana.
”Ar?” tegur Cinda saat melihat Aristama yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu.
“Gue anterin pulang ya cin? Maaf gak bisa selesaiin, Rilla ngajak ketemu, kayaknya dia mau nanya gimana pertemuan gue sama bokap hari ini.”
Cinda diam sejenak, ia kembali mendengar nama Rilla, membuatnya semakin penasaran ingin bertanya sebenarnya bagaimana hubungan Aristama dan Rilla, apakah ternyata benar rumor-rumor di luar sana yang mengatakan keduanya pernah terlibat perasaan lebih dari teman bahkan hingga sekarang? Cinda spontan menggeleng menghalau pikirannya. Aristama yang melihatnya bingung.
“Ah, maksud gue itu, gak apa-apa, udah kemalaman juga.” Cinda menjawab. Gadis itu lupa kalau jam baru menujukkan pukul 9 dan bahkan mereka pernah pulang jam 4 pagi sebelumnya.