252. You love her? – Easy to Love

Satu lemparan jarak jauh tepat memasuki ring basket dengan sempurna, Dave mengambil alih bola besar itu lalu melemparkannya ke tepi lapangan.

“Istirahat dulu, Tam.” Aristama yang mengacak pinggang langsung menurut ikut menghampiri Dave.

“Stress banget kayaknya, lo.” Dave melemparkan satu botol air mineral dingin sambil terkekeh. Aristama yang menerima juga tertawa pelan. Dua pemuda itu kini sedang berada di lapangan basket umum, sore tadi Aristama sudah resmi mengakhiri training dan karantinanya. Dave adalah orang pertama yang Aristama temui, bahkan Gio yang banyak ia susahkan saja belum ia tengok batang hidungnya.

Aristama ikut duduk di kursi kayu tepat di sebelah Dave yang tengah meneguk air dinginnya, Aristama sudah selesai lebih dulu.

“The playlist, it’s cool,” kata dave memuji tiba-tiba.

Aristama diam sejenak sebelum menyadari maksud Dave adalah playlist 3 for 3 yang dibuat Aristama sebelum ia karantina, lebih tepatnya adalah playlist yang ia buat untuk Cinda. “Thank you.”

“Gimana? Ada perkembangan?” Tanya Dave. Pemuda itu menarik kedua lengannya ke belakang, menumpu berat tubuhnya dengan kedua lengan itu.

Aristama tersenyum tipis. “Berat, Bang.” “Rencana lo selanjutnya apa?” “Lusa gue siaran lagi di erka, segmen baru, segmennya gue yang buat sendiri, namanya Confesession, gue buat untuk orang yang mau anonymus confess, dan untuk perdana nanti gue yang bakal jadi confession pertamanya.”

“Wow? Sounds nice,” Dave terdengar teratrik.

“Tapi kayaknya gue harus nurunin ekspektasi,” kata Aristama dengan nada suara rendah. “There will be chance gue ditolak.”

Tiga minggu berpisah dengan Cinda, tidak ada pesan dari gadis itu kecuali satu bubble yang bahkan tidak lagi di balas Cinda setelahnya. Meskipun harus dipaksa percaya diri, dengan kondisi sekarang, Aristama tidak akan berharap lebih, tapi ia juga tidak akan mundur.

“Im sorry for rilla,” seru Dave dengan rasa bersalah.

Aristama menggeleng cepat. “No, rilla juga sahabat gue bang, gue yang gak bisa memosisikan diri,” kata pemuda itu.

“You love her?” “Rilla?” “Adek gue, Tam.” Dave tertawa renyah. “Rilla mah cewek gue, lo jangan suka.” “I love her.” Aristama menjawab yakin. “Her siapa?” “Ya adek lo lah bang, masa pacar lo.”

Suara tawa Dave kembali terdengar. Sedangkan Aristama hanya menggeleng-geleng tak habis piker.

Sudah kembali serius, Dave membuka suara lagi, “Rilla buat lo sekarang gimana, tam? Gue tau sebelum sama gue, ada yang terjadi sama kalian berdua.”

Bukan rahasia umum, Dave sebelumnya tidak pernah bertanya tentang hal ini ke Rilla apalagi Aristama, tapi rahasia yang bukan rahasia umum ini jelas sudah masuk ke telinga Dave bahkan sebelum Rilla berpacaran dengannya. Tapi bagi Dave itu bukan masalah besar, Rilla sekarang sudah bersamanya, Aristama juga sangat menghargainya, tidak ada gelagat atau interaksi yang berlebihan di antara mereka berdua. Tapi ternyata ini menjadi masalah bagi adik perempuannya. Cinda tidak salah, ia memang harus kecewa. Hubungan Aristama dan Rilla memang harus diperjelas tanpa menyakiti satu pun di antara mereka.

“We are just best friend.” Aristama menjawab tanpa ragu.

“But you confess to her?” Dave menembak langsung.

Aristama sempat kaget beberapa detik, tapi selanjutnya pemuda itu paham. “Gue ketemu rilla di club radio waktu SMA, kita sering siaran sama-sama, kita siapin siaran bareng, kuliah bareng di tempat yang sama, dan sampai sekarang di erka bareng. Di tahun ke empat gue temenan sama dia, gue pernah ngelewatin batas yang kita bangun, gue masih gak bisa bedain saat itu gue emang suka atau karena gue emang cuman nyaman karena udah lama bareng dia, butuh tiga tahun gue bareng dia sampai gue ngerasain rasa suka itu. She rejects me. Im okay with that, tapi sejak itu gue ngerasa hubungan gue sama rilla gak bisa sedekat dulu, baru setelah dia jadian sama lo, gue sama rilla bisa membaik. Ya gue akhirnya realize kalau gue emang udah cukup cuman temenan sama dia.” Pemuda itu menceritakan dengan jelas.

“Ah iya, lo udah tau kan rilla punya asam lambung akut, dia pernah hampir mati karena itu, dia harusnya bisa minta tolong ke gue tapi waktu itu karena hubungan gue sama dia renggang, dia gak mau hubungin gue. Everything is my fault then.” Aristama melanjutkan.

Dave mengangguk-angguk paham. Seperti perkiraannya, pernah ada masa lalu di antara Aristama dan Rilla tapi baginya sudah bukan masalah besar.

Aristama sudah bangun dari duduknya, cowok itu mengambil kembali bola basket yang sudah dianggurkan sejak tadi, lalu mendribel satu dua kali.

Dave ikut menghampiri Aristama, mengabil ancang-ancang untuk menerima bola. “How about Cinda?” tanya laki-laki berlesung pipi itu sekali lagi.

Aristama yang baru saja ingin melempar bola, mengurungkan niatnya, ia menahan bola itu di tangan sambil memutar-mutarnya pelan. “Kali ini rasanya beda, ngeliat cinda gue ngerasa tertarik, sangat. Semakin gue kenal dia semakin gue penasaran, but i don’t realize kalau gue udah suka. Gue pengen setiap hari ketemu, gue pengen setiap hari tau tentang dia, gue pengen ngelakuin hal baru. Gue sempat denial kenapa secepat ini, tapi semakin gue denial semakin sering juga dia muncul di pikiran gue,” jawab Aristama. “Ternyata jatuh cinta emang bukan tentang waktunya tapi karena dia orangnya.” Cowok itu menutup jawaban dengan melempar bola basket dari jarak jauh ke ring basket dan melesat dengan sempurna.

Aristama yang baru ingin mengambil lagi bola itu langsung mengacak pinggang karena Dave sudah lari lebih dulu mengamankan bola, “what if cinda gak bisa nerima lo?”

Pertanyaan yang sama yang sejak tadi berputar di kepala Aristama. Bagaimana kalau ternyata ia benar-benar sudah terlambat dan cinda tidak mau memercayainya lagi. Haruskah ia berhenti atau tetap melanjutkan apa yang sudah dijalani sejauh ini. Tiga minggu ruang di pikirannya sedikit terusik akan hal itu, tapi satu hal yang pasti, ia tidak boleh segera menepi meskipun harus disuruh berhenti. Bukankah Aristama berpengalaman soal ini?

Pemuda itu melangkah menghalau bola yang baru saja dilempar oleh Dave. “It’s ok, tapi mau gimana pun gue cuman bakal berhenti setelah perasaan gue ke dia benar-benar selesai,” kata pemuda itu dengan percaya diri.