143. Batas – Easy to Love

Pukul 02.15 dini hari.

“Gak mau dibangunin aja kak pacarnya?”

Cinda menoleh, bukan karena sebutan pacar, lagi pula wajar bartender berpikiran seperti itu, seorang gadis rela datang pukul 2 dini hari hanya untuk pemuda yang sedang kelewat mabuk. Cinda menerima satu gelas air mineral dari bartender. Sudah tiga puluh menit gadis itu tiba dan duduk di meja bartender mendapati Aristama tengah menopang kepala di lipatan tangannya. Menurut informasi dari bartender, Aristama sudah tertidur sejak tiga puluh menit yang lalu.

“Dia dari tadi sendirian?” tanya Cinda.

Bartender itu mengangguk.

Cinda mengulum bibirnya, ragu-ragu ingin mengulurkan tangannya ke pucuk rambut Aristama, berniat membangunkannya. Sampai akhirnya tangan itu mengambil alternatif menyentuh pundak Aristama, lalu sedikit menggoyangkannya.

“Ar, lo denger gue?” Cinda mendekatkan wajahnya, samar-samar ia mendengar Aristama meracau.

Benar saja, perlahan iris mata Aristama terbuka, tatapan pemuda itu masih sayu. Aristama mengerjap, mengedipkan mata berkali-kali untuk melihat gadis di depannya.

“Cin ... Cinda?”

Aristama langsung membangunkan tubuhnya, diikuti oleh Cinda yang juga mengubah posisi duduk.

Aristama menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menetralkan kesadaran. Ia kembali menatap Cinda, pelan-pelan dia mengulurkan tangannya, Cinda diam saat tangan Aristama sudah berhasil menyentuh pipi sebelah kanannya. Pemuda itu tengah memastikan sesuatu.

Hanya seperkian detik hingga keduanya sama-sama sadar, Aristama menarik tangannya, Cinda yang terkejut langsung mengalihkan pandangan.

***

Parkiran area bar Crowners lenggang, Aristama dan Cinda berada di Pajero milik si lelaki, Aristama sudah merasa lebih baik dari sebelumnya, walau tentu dia tidak bisa langsung mengemudi saat ini juga.

“Makasih, Cin. Maaf karena lo sampe harus kesini,” kata Aristama yang baru saja meneguk satu kaleng susu putih yang dibelikan Cinda sebelum sampai di bar.

Cinda menghela napas, menyandarkan tubuhnya di jok penumpang. “Gue juga bingung sih kenapa gue sampai kesini.”

“Gue udah hubungin Gio, nanti dia yang nyetirin kita pulang,” kata Aristama. Suasana mobil kembali hening, Aristama yang masih berkutat dengan alkohol yang belum sepenuhnya hilang dari tubuhnya dan Cinda yang masih memikirkan alasan kenapa sampai di sini.

“Are you okay, Aristama?” gumam Cinda bertanya. “Sebelumnya lo sendiri yang bilang ke gue, kalau lagi ada masalah, jangan minum apalagi sendirian, bukannya lo sebelumnya juga bisa tahan gak minum?” lanjut Gadis itu.

“Im not okay, Cinda.” Aristama bergumam.

“It's really hurt you?” “No, i just ... lost”

Cinda tidak menanggapi lagi, mereka melanjutkan perdebatan pikiran di kepalanya.

“Saat lo liat gue, apa yang lo pikirin?” tanya Aristama masih dengan posisi yang sama, mereka masih sama-sama menatap lurus ke depan, bersandar lelah di jok masing-masing.

“Erka, Radiokampus, penyiar radio.” Cinda menjawab.

“Ya, it's me.” Aristama mengangguk, “But not for my mom,” lanjutnya.

Ucapan Aristama berhasil membuat Cinda menoleh, ia menatap Aristama bingung, kaget, sekaligus penasaran.

Aristama menoleh sebentar, melihat Cinda yang tidak berkedip. “Bokap gue pejabat pemerintah, ini tahun ketiga perceraian mereka, bokap maunya gue fokus kuliah dan ngejalanin segala prosedur untuk jadi penerus dia di dunia politik, awalnya mama gue gak masalah gue mau ngelakuin apapun, tapi setelah perceraian mereka, mama terobsesi untuk ngebuktiin ke keluarga bokap kalau mama bisa ngedidik gue jadi seperti yang bokap mau, karena selama ini keluarga bokap selalu ngeremehin mama.”

Aristama menarik napasnya, sebelum kembali bercerita. “Gue gak mau, Cinda. Gue udah jatuh cinta sama apa yang gue lakuin, jelas gue ngerasa jahat sama mama tapi gue gak mau nyerah hanya karena obsesi mama atas validasi keluarga bokap gue.”

Aristama menundukkan kepalanya, ia mungkin bercerita setengah sadar, tapi ucapannya masih sangat tertata dan jelas terdengar. Skill public speaking-nya jelas sudah tidak diragukan lagi.

Cinda menatap Aristama iba, diulurkannya tangannya untuk mengelus punggung Aristama. “You did well, Ar. Good choice, di luar semua itu nyokap lo pasti bangga sama pencapaian lo sekarang.”

Aristama kembali bersandar di balik jok kemudi, cahaya remang yang datang dari lampu mobil dan pantulan tipis cahaya dari luar dapat memperlihatkan dengan jelas wajah berantakan Aristama-yang sayangnya tetap terlihat menarik.

Cinda tiba-tiba mengangguk mantap, ia sedikit menyerongkan tubuhnya, agar lebih leluasa melanjutkan obrolan dini hari itu. “Oke, karena lo yang lewatin batas duluan, dan lo juga udah pernah liat gue dalam kondisi yang paling gue sembunyiin, gue juga bakal cerita.”

Aristama membulatkan matanya, bibirnya sedikit mengerucut, kaget mendengar kalimat Cinda.

“Gue gak pernah ketemu orang tua kandung gue,” baru kalimat pertama dari Cinda, Aristama sudah hampir tersedak mendengarnya.

Cinda kembali memperbaiki posisi duduknya. “Gue diadopsi dari panti di umur gue yang ke-5, orang-orang mungkin gak akan percaya karena mama dan papa gue yang sekarang adalah orang tua yang luar biasa,” Cinda tersenyum tipis. “Mama papa gue gak pernah ngebiarin gue sedih, semua hal bakal mereka lakuin buat gue, karena itu juga gue gak pernah mau datang dengan keadaan sedih di depan mereka. Gue gak mau mereka mikir kalau mereka gagal bikin gue bahagia. Mereka selalu ngajarin gue buat jadi orang yang baik, dari mereka gue belajar kalau kasih sayang emang gak ada tolak ukurnya, bukan mereka yang ngelahirin gue, gak ada darah mereka yang ngalir di tubuh gue, tapi mereka ngasih gue cinta sebanyak itu.”

Cinda menatap Aristama yang juga melihatnya dengan sendu. “Ohiya nama gue dulu cuman Dayna, gak ada nama depan dan nama belakang, mereka yang nambahin nama Cinta di depan nama gue dan nama keluarga di belakangnya, walaupun pada akhirnya gue gak mau dipanggil Cinta sama orang lain karena gue selalu diledekin pas sekolah, tapi gue suka nama itu, nama yang cuman disebutin sama orang yang cinta sama gue.”

Cinda kembali tersenyum, ia mengakhiri ceritanya. Sementara Aristama masih diam, pandangannya tidak teralihkan dari senyuman Cinda.

“How lucky you are, you deserve that.” Kalimat itu keluar bersamaan dengan tangan Aristama yang sudah menggenggam pelan jemari Cinda.

Entah apa yang akan terjadi setelah ini, besok pagi, ataupun setelah hari ini. Mereka sudah sama-sama melewati batas. Batas yang masing-masing mereka buat sendiri, tapi dengan mudah mereka lewati. Hubungan yang masih belum pasti itu, apakah akan mudah mereka lewati.

Memang pada dasarnya, bukan dengan orang yang paling dekat atau orang yang paling lama bersua yang bisa membuat kita bercerita, tapi dengan dia yang mampu menyalurkan perasaan hingga bermetamorfosis memberikan kenyamanan.

Dua kali ketukan yang datang dari jendela mobil tepat di sebelah Aristama, mengakhiri genggaman tangan mereka malam menjelang pagi itu.