ilyoujae

Dari beberapa tempat yang Aruni pikir akan dihampiri oleh Noah. Tempat ini adalah yang di luar perkiraan Aruni. Padahal ini tempat yang cukup basic untuk dikunjungi.

Sebuah coffee shop bertema klasik yang cukup ramai malam itu. Joffe adalah tulisan yang tertera di bagian depan bangunannya. Dari bagian luar saja, Aruni bisa menebak ini bukan coffee shop sederhana, halaman parkiran dipenuhi kendaraan roda empat, bahkan Aruni bisa melihat seri terbaru porsche di sana.

Noah tidak banyak bicara, ia melangkah sedikit duluan setelah mengajak Aruni masuk.

Instrumen musik klasik langsung terdengar saat memasuki arena indoor kafe itu. Aruni tidak lepas pandang untuk memperhatikan isi tempat itu. Pengunjung tempat itu terbilang cukup ramai tapi tidak bising karena sejauh mata Aruni memandang, kafe itu hanya diisi oleh pasangan berkencan yang menikmati kopi setelah fancy dinner, perempuan dengan jas yang sedang mengetik di atas keyboard macbooknya, dan beberapa pemuda yang sibuk dengan iPad di atas meja.

“Hi, brother,”

Seorang pemuda dengan tubuh tinggi kekar baru saja keluar dari pantry dan berdiri di belakang tempat pemesanan.

“Ouh, not alone?” belum sempat Noah membalas, pemuda di seberang sana berucap lagi.

Aruni yang sadar diperhatikan langsung tersenyum kikuk, menunggu Noah saja yang bersuara.

“Temen gue bang, kan gue bilang dari acara kampus tadi, namanya Aruni,”

Pemuda tersebut manggut-manggut saja masih sembari menatap Noah penasaran. Meskipun begitu, pemuda tersebut tetap mengulurkan tangan dengan ramah.

“Jofan, nice to meet you, Aruni.”

“Bang Jofan sepupu saya, Run. The owner of this place,” sambung Noah.

Sudah Aruni duga, Jofan tidak kalah menarik dari Noah. Meskipun menggunakan apron yang tidak berbeda dari waiters lainnya, penampilan Jofan jelas tidak bisa disembunyikan. Western Accent yang keluar dari mulutnya pun tidak bisa berbohong, tidak jauh beda dengan Noah.

“Run, mau minum apa?” tanya Noah.

Mendengar itu, Jofan juga ikut bersuara. “Oh yea, do you need some coffee?,”

Tanpa melihat daftar menu lebih lama, Aruni sudah tahu apa yang akan dia coba. “Eum, caramel macchiato,” jawab Aruni. Menu yang selalu wajib Aruni coba di setiap coffee shop yang ia kunjungi.

Jofan diam sebentar, matanya sedikit melirik Noah tapi Noah tampak biasa saja.

“Ouw, okay. Good choice,” kata Jofan diselingi senyum kikuknya.

“Kamu suka tiramissu? dessert favorit disini ada tiramissu,” Noah dengan tenang kembali menawarkan menu kepada Aruni.

Aruni sedikit melirik beberapa dessert yang terpajang, dessert slice yang tersedia memang sangat menggoda.

“I'd love to, thank you kak.”


Aruni duduk di meja yang terletak di samping jendela besar, meja di bagian ini tadinya full. Beruntungnya saat Aruni dan Noah datang tadi, pemilik meja sebelumnya sudah selesai, tanpa sadar Aruni sudah berancang-ancang memilih meja tersebut sejak awal.

Waiters datang membawa nampan berisi caramel macchiato beserta tiramissu pesanan Aruni. Aruni tadi mengira Noah yang akan mengantarkannya karena setelah Aruni duduk tadi, Noah izin untuk menemui Jofan di pantry.

“Kak Aruni, ada pesan dari mas Noah katanya maaf harus duduk sendirian, tapi sebentar lagi mas Noah keluar kok, kalau butuh sesuatu bisa panggil saya ya, Kak”

“Ah, okay. Terima kasih,”

Entah harus merespon apa, Aruni tak sadar garis bibirnya terangkat. Sederhana sekali yang dilakukan Noah, hanya memberi kabar agar Aruni tidak bingung sendirian, bahkan mungkin bagi Noah itu bukan hal yang istimewa. Hanya bare minimum. Namun, tetap saja dia adalah Jeffri Noah. Siapapun akan salah tingkah jika di posisi Aruni sekarang. He's Jeffri Noah.

Tepat 10 menit sejak waiters tadi datang, Noah datang dari balik pantry membawa satu nampan di tangannya. Buru-buru Aruni meletakkan kembali ponselnya, ia baru saja selesai memberi tahu Feya tentang apa yang terjadi.

“Sorry, Run. Bosan ya?” Noah duduk tepat di hadapan Aruni sembari meletakkan nampan di atas meja.

Aruni tersenyum, menggeleng pelan. “No problem, Kak. Saya suka tempatnya kok jadi gak berasa bosan sama sekali.”

Noah ikut tersenyum tipis, ia mengangguk pelan.

By the way, tiramissunya beneran enak banget loh kak, oh iya caramel macchiatonya juga gak kalah enak, menu kopi pertama yang selalu saya pilih kalau ke coffee shop baru pasti caramel macchiato dan gak bohong, ini paling enak,” Aruni menjelaskan dengan antusias, entah efek sugar rush atau memang Aruni sangatlah bersemangat karena moodnya baik.

Noah tertawa kecil, kali ini tidak ragu-ragu lagi. Hal itu membuat Aruni langsung mengatupkan bibirnya, baru sadar ia kelewat bersemangat.

Sorry, berlebihan ya kak,” kata Aruni kikuk.

Noah menggeleng cepat. “Saya senang liatnya, Run. Gak nyangka kamu bisa seekspresif ini,” kata Noah masih sambil tersenyum.

Aruni mengerjap, tidak tahu harus menjawab apa lagi. Ia menarik cup caramel macchiatonya untuk menyeruput minuman itu agar menutupi merona pipinya.

Sialnya, Noah terlihat biasa saja.

“Oh iya, ini menu signature baru, baru trial hari ini, kamu mau coba?”

Noah mendorong sedikit coffee di atas piring kecil yang tadi ia bawa. Asap mengepul halus di atas cangkir itu. Hot Coffee.

“Eh jangan bilang kak Noah yang buat?” Tanya Aruni penasaran.

Noah mengangguk pelan. “Saya sesekali diajak trial menu baru bareng Bang Jofan, Run. Dulu sempat kursus barista bareng, sebenarnya cuman buat hobi aja tapi bang Jofan setalah lulus kuliah jadi ngembangin coffee shop ini,” jelas Noah.

“Wow, kalau gitu saya harus coba kopi ini,” Aruni terkesima, ia langsung mengambil sendok cangkir yang tersedia untuk mencoba kopi tersebut.

Gadis itu mencium aroma kopi yang masih hangat itu, kemudian tanpa komentar langsung menyeruput kopi dari sendok yang telah ia ambil.

Mata Aruni melebar, ia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Wangi banget, Kak, and i love the taste!”

“Serius?” Noah memastikan. Senyumnya terangkat.

Aruni mengangguk lagi. “Udah fix bakal dijual?”

“Not sure, semoga aja,” jawab Noah sambil menaikkan bahunya.

“Harus kak, saya bakal beli, rasanya ringan tapi aromanya kuat, non coffee drinker juga bakal suka sih.”

Entah sejak kapan Aruni menjadi terlihat seperti reviewer profesional seperti ini.

“Happy to hear that, Run. Thank you.” Noah terkekeh kecil, lebih-lebih karena melihat Aruni yang sangat ceria malam ini.

“Kak Noah gak kepikiran buka coffee shop juga?” Aruni kembali bertanya. Sesaat setelah memasukkan sepotong tiramissu lagi ke mulutnya.

“Kepikiran, tapi belum sekarang, mungkin masih lama.”

“Oh ya? peluangnya gede loh kak, kak noah relasinya luas, pengalaman barista juga ada, pasti bakal ramai,”

’…dan kak noah punya tampang yang mendukung’ lanjut Aruni dalam hatinya. Tidak mungkin ia terang terangan flirting di depan Noah.

“Nanti namanya, Noffee. Noah coffee. Jadi kesannya kayak masih satu manajemen sama Joffee ini,” belum sempat Noah merespon. Aruni kembali memberikan sarannya.

“Haha, sounds great, Run. Thank you for the insight,” Noah terkekeh lebih lebar kali ini. Matanya bahkan berbinar, jelas sekali ia menikmati perbincangan dengan Aruni.

Aruni melangkah memasuki auditorium yang riuh dengan suara musik seni yang sedang mengiringi penari di atas panggung. Rupanya acara sudah dimulai.

Noah melangkah lebih dulu membiarkan Aruni mengikutinya dari belakang. Beberapa kali ia menoleh memastikan Aruni tidak hilang arah di tengah keramaian acara malam itu.

Setelah melewati berbagai booth dan orang yang berlalu lalang. Tibalah mereka di arena VIP yang berada di sayap kanan auditorium.

Sepanjang memasuki tempat itu, Aruni sibuk memperhatikan detail acara yang sedang ia datangi ini. Selain karena Aruni harus mencontoh acara tersebut, Aruni juga mengakui konsep acara itu memiliki konsep yang bagus. Wajar saja ia diminta untuk datang.

“Woi, Noah!” Aruni yang baru saja melakukan scan undangan VIP langsung menoleh mendengar teriakan itu.

Noah yang terpanggil sudah tersenyum sumringah dan langsung menyambut uluran tangan pemuda berjas hitam di hadapannya.

“Apa kabar, Ga?” Tanya Noah.

“Baik gue, lu yang apa kabar? kaget gue kok lu yang datang?” jawab pemuda itu. Namanya Rangga.

“Lagi gue yang bisa, ohiya ini Aruni ketua panitia acara di kami nanti,” Noah tiba-tiba memperkenalkan Aruni. Aruni reflek melangkah mensejajarkan posisinya dengan Noah untuk menerima uluran tangan Rangga.

“Rangga, ketua UKM KLM di sini,” kata Rangga memperkenalkan diri. “Oalah cewek juga nih ketupat lu nanti,” sambung Rangga.

“Iya, keren dia. Track recordnya dari SMA bagus,” jawab Noah.

“Baguslah kalau gitu, nah itu Afifah, ketua panitianya,”

Dari arah berlawanan, gadis dengan rambut pendek sebahu datang dekan talkie walkie di tangannya. Terlihat sibuk sekali. Akan tetapi, wajah seriusnya berubah tersenyum saat Rangga melambaikan tangan memanggil.

“Fah, ini tamu dari kampus sebelah,”

Afifah tersenyum menyapa, mereka saling memperkenalkan diri.

“Eh gue sampe lupa, makan dulu lah kalian yuk. Abis ini Aruni bisa ikut Afifah keliling booth,” kata Rangga yang diangguki oleh Afifah.

Aruni dan Noah pun mengikuti arahan Rangga. Mereka berjalan ke arah prasmanan yang ada di arena VIP. Jarang-jarang Aruni melihat prasmanan disediakan di acara organisasi seperti ini.

Noah mengambil antrean lebih dulu, masih ada 2 tamu yang sedang mengambil makanan di depan mereka. Aruni lagi-lagi mengekor di belakang Noah.

Noah mengambil piring dari atas meja. “Run, ini,” panggil Noah.

Aruni mengerjap, Noah memberinya piring kosong yang diambilnya itu.

“Makasih, Kak,” jawab Aruni. Otaknya masih berproses tentang apa yang barusan dilakukan Noah itu, tapi Aruni belum bisa berpikir jernih karena ada antrean baru di belakangnya. Ia harus segera menyelesaikan adegan mengambil makanan itu.

Hari sudah hampir berganti, jarum jam menunjukkan kurang dari setengah jam sebelum sampai di angka 12. Bukan dua belas siang, tapi dua belas malam. Sekretariat UKM masih ramai diisi oleh panitia pekan ilmiah yang terdiri dari anggota UKM Keilmiahan dan anggota Himpunan Mahasiswa, tidak sedikit juga yang termasuk anggota keduanya.

Salah satunya, Arunika. Ketua panitia acara.

Penampilan Si Ketua Panitia itu sudah cukup berantakan sekarang, ia belum pulang sejak pagi hari. Siapapun yang melihatnya akan merasa prihatin karena aura kelelahan yang tidak bisa ditutupi.

Untungnya Noah datang, Aruni bersyukur. Bukan hanya karena bisa melihat pemuda yang disukainya tetapi juga hadirnya Noah akhirnya menutup rapat malam ini yang sebelumnya tak kunjung usai.

Para senior yang tidak tergabung dalam panitia sudah pergi satu persatu, tidak sedikit bagian dari panitia yang kelelahan juga ikut berpamitan pulang. Hanya tersisa beberapa orang, termasuk Aruni yang membiarkan panitia lainnya pulang lebih dulu.

“Masih ada yang harus pulang sendiri?” Suara Noah yang sejak tadi sudah terdengar memastikan anggotanya aman untuk pulang.

“Saya nunggu dijemput, Kak,”

“Kak hadi, nebeng ya,”

“Kami pulang duluan ya, Kak,”

Kira-kira seperti itu riuh sisa anggota yang pulang malam ini, beberapa dari mereka dijemput—entah dijemput orang tua, pasangan, hingga gebetan, beberapa juga saling berboncengan, dan yang membawa kendaraan saling beriringan.

“Yan, iringin gue ya,” Siska yang membawa kendaraan sendiri meminta Aryan untuk menemaninya pulang yang segera diiyakan oleh Aryan.

“Kak, berkasnya ada yang perlu saya bawa lagi kah buat dikerjain di kos?” Aruni berkata pelan di samping Noah. Gadis itu sudah memasukkan barang-barangnya ke dalam tas untuk bersiap pulang.

Noah menoleh menghadap Aruni.

“Itu kamu bawa semua?” tanya Noah saat matanya menangkap satu totebag berisi tumpukan kertas.

Aruni mengangguk.

Noah diam sebentar, dilihatnya Aruni yang masih sedikit sibuk merapikan isi tasnya, rambut yang biasanya digerai berubah terikat asal dan kemeja yang biasa telipat rapi sudah tergulung asal.

“Kamu dijemput?” tanya Noah.

Aruni mengangguk ragu, pasalnya dijemput disini berarti ambigu untuk Aruni.

“Dijemput ojol, Kak,” jawab Aruni sambil tersenyum canggung.

Noah membulatkan matanya. Pemuda itu melirik jam di pergelangan kirinya. “emang masih ada jam segini, Run?”

“Harusnya masih sih kak, banyak ojol yang sampai subuh kok.” Aruni menjawab.

Kembali hening. Noah melihat beberapa orang di sekitarnya lalu kembali lagi melihat Aruni. Seperti mempertimbangkan sesuatu.

“Sama saya aja, Run,” kata Noah.“Maksud saya barang kamu lumayan banyak, kebetulan saya lagi bawa mobil juga, kalau sama saya aja gapapa?” lanjut pemuda itu.

Aruni mengerjap, ia langsung mendongak menatap Noh. “Eum, sebenarnya saya naik ojol gapapa sih kak, kos saya gak jauh kok, udah biasa juga naik ojol, just in case kakak khawatir anggota kakak pulang sendiri, tenang aja saya gak sendiri kak kan ada ojol,”

Tidak. Jangan kira Aruni menolak. Ia hanya salah tingkah, bingung harus menjawab apa. Padahal dalam hati ia ingin sekali lompat sekarang.

“Udah dipesan emang ojolnya?” tanya Noah lagi.

“Ini baru mau pesan sih kak,” Aruni mengangkat ponselnya yang memang baru membuka aplikasi ojek online.

“Kalau gitu sama saya aja, Run, anggap aja saya ojolnya gapapa,” jawab Noah. “Mobil saya disana, tunggu sebentar ya biar yang lain pulang dulu, gak buru-buru kan?”

Aruni menyadari ini bukan lagi ajakan tapi perintah. Seakan ini yang diharapkan Aruni, gadis itu sudah mengangguk setuju sekarang. Jangan tanya seheboh apa gemuruh di dadanya itu.

Arunika bersama dengan sahabatnya—Zeya—melangkahkan kakinya memasuki area kafetaria fakultasnya, riuh ramai kafetaria sudah bukan hal yang asing di jam makan siang. Kedua gadis itu menyusuri lorong meja mencari tempat yang kosong. Sejauh mata memandang, seluruh meja penuh dan belum ada meja yang ditinggal oleh penghuni sebelumnya.

“Ck, ramai amat. Gue bilang ke Kak kelvin aja apa ya gak usah makan disini,” keluh Zeya saat menyadari tidak ada satu meja pun yang kosong.

Sementara Aruni tidak menyerah, ia masih fokus memperhatikan satu persatu mahasiswa yang sedang makan dan melihat peluang apakah akan ada meja yang segera kosong. Mata bulatnya teliti melihat dari ujung ke ujung, hingga tatapan itu berhenti di salah satu meja yang diisi empat mahasiswa, dua laki-laki dan dua perempuan.

“Ada kak noah, Zey,” kata Aruni pelan.

Mane…” Zeya yang terusik langsung nengikut arah pandang Aruni. “Gue kira lu nyari tempat, taunya nyari kak noah ye,” sambung gadis itu.

“Dih, kagak. Kebetulan doang kali,” elak Aruni.

Bertepatan saat Aruni kembali melihat ke sisi meja Noah, dua orang mahasiswa yang duduk tidak jauh dari Noah dan timnya berangsur berdiri dan meninggalkan tempatnya

“Tuh Zey, orangnya pergi, buruan ayo,” tanpa ragu Aruni langsung menarik tangan Zeya buru-buru agar tidak kehilangan slot tempat itu. Bonusnya lagi, tempat itu tidak jauh dari tempat Noah sedang makan siang saat ini.

Zeya menghela napas puas saat berhasil duduk di tempat yang akhirnya kosong itu. Aruni duduk di kursi yang ada di hadapan Zeya, kursi itu berhadapan langsung dengan posisi duduk Noah.

“Tcih strategis banget ya disitu,” cibir Zeya.

“Yaudah sih rejeki gue udah dapet ni tempat limited,” timpal Aruni tak mau kalah. Walau sebenarnya alasan ia duduk di tempatnya saat ini memang karena cukup strategis untuk melihat Noah yang tidak jauh di depannya.

Jangan salah, bukan hanya Aruni yang mencuri-curi pandang. Gadis itu beberapa kali melihat sekelilingnya dan tidak sedikit gadis yang melirik Noah secara sengaja, mulai dari mahasiswa baru hingga yang paling senior sekalipun. Bagaimana tidak, pemuda itu tetap terlihat bersinar di tengah riuhnya kafetaria ini.

“Kakkk!” Zeya melihat sekelilingnya sebelum akhirnya melambaikan tangan saat melihat Kelvin baru saja datang dari pintu masuk yang berbeda.

Dari jauh Kelvin langsung menyadari lambaian tangan Zeya dengan mengacungkan jempol tanda ia melihat. Akan tetapi, bukannya segera menghampiri Zeya dan Aruni, Kelvin berhenti sejenak di meja tempat Noah dan tiga orang temannya yang baru saja menyelesaikan makannya.

Aruni dan Zeya saling melempar pandang, mereka berdua melihat Kelvin yang menyalami satu persatu orang di meja Noah termasuk Noah sendiri. Setelah salam-salaman, Kelvin tampak berbicara dengan Noah, lalu kemudian Kelvin menjulurkan telunjuknya menunjuk Aruni dan Zeya yang membuat Noah mengikuti arah telunjuk Kelvin.

Noah melihat Aruni dan Zeya, begitupun sebaliknya. Noah mengangguk pelan sambil tersenyum saat Aruni dan Zeya sedikit menundukkan kepalanya untuk menyapa Noah. Setelah itu, Kelvin melambaikan tangannya berpamitan ke Noah dkk, sebelum mendatangi meja tempat Aruni dan Zeya.

“Gimana rasanya dinotis Jefri Noah, Run?” kata pertama yang keluar dari mulut Kelvin saat sudah mengambil posisi duduk di sebelah Zeya.

“Kamu sengaja, Kak?” Zeya memastikan. Sedangkan Aruni masih sedikit membeku, seperti mendapatkan efek dari pesona Jefri Noah.

Kelvin mengangguk kemudian tertawa. “Biar dinotis lah, soalnya peluang Noah bakal ngelirik kesini kalau gak dipancing itu kecil, tu anak menjaga pandangan,” lanjut Kelvin sembari tertawa dengan leluconnya sendiri.

“Emang keliatan banget ya Kak saya suka kak noah?” tanya Aruni.

Zeya berdehem sambil mengangkat kecil tangannya seperti mengatakan ”hehe, gue yang ceritain”

“Lagian tanpa Zeya kasih tau juga dengan gue liat langsung juga udah paham, Run. Malah bakal aneh kalau ada cewek yang gak tertarik sama dia,”

“Berarti aku gapapa ya kak naksir kak noah juga,” celetuk Zeya.

“Jangan kalau kamu udah gak usah, sama yang udah pasti pasti aja,” jawab Kelvin menggoda, entah sejak kapan mereka sudah sedekat ini.

Aruni mencibir saat melihat Zeya yang senyum malu-malu mendengar jawaban Kelvin. Gini amat orang kasmaran.

“Bisa dilihat apalagi sampe diperhatiin Noah itu udah suatu keberuntungan, lo liat aja tuh di depan Noah ada dua cewek yang sibuk mancing Noah buat ngobrol tapi Noah keliatan biasa aja kan?” kata Kelvin. Aruni reflek menatap ke arah Noah lagi, benar saja sekarang Noah sudah mengeluarkan laptopnya dan sibuk sendiri mengerjakan sesuatu disana. Sementara dua orang gadis yang sudah jelas berparas cantik di depannya sedang sibuk mengobrol.

“Setau gue karena dia emang gak mau keliatan bias, dia tuh anaknya baik banget tapi biasanya kalau dia baik dikit ke cewek itu langsung jadi bahan gosip kampus, makanya dia coba hati-hati kalau mau interaksi sama cewek,” lanjut Kelvin.

Aruni mengangguk-angguk paham, seperti sudah terpengaruh oleh ucapan Kelvin yang cukup masuk akal.

“Ada hati yang dijaga kali,” celetuk Zeya. Aruni langsung memicingkan matanya ke arah Zeya.

“Tapi serius Run, jangan berharap lebih sama cowok yang keliatannya tenang, ntar kalau ternyata dia udah punya orang lain di hatinya, lo yang bakal patah hati karena udah berekspektasi dia bisa dimilikin,” kata Kelvin tiba-tiba menasehati.

Arunika bersama dengan sahabatnya—Zeya—melangkahkan kakinya memasuki area kafetaria fakultasnya, riuh ramai kafetaria sudah bukan hal yang asing di jam makan siang. Kedua gadis itu menyusuri lorong meja mencari tempat yang kosong. Sejauh mata memandang, belum ada meja yang ditinggal oleh penghuni sebelumnya.

“Ck, ramai amat. Gue bilang ke Kak kelvin apa ya gak usah makan disini,” keluh Zeya saat menyadari tidak ada satu meja pun yang kosong.

Sementara Aruni tidak menyerah, ia masih fokus memperhatikan satu persatu mahasiswa yang sedang makan dan melihat peluang apakah akan ada meja yang akan segera kosong. Mata bulatnya teliti melihat dari ujung ke ujung, hingga tatapan itu berhenti di salah satu meja yang diisi empat mahasiswa, dua laki-laku dan dua perempuan.

“Ada kak noah, Zey,” kata Aruni.

“Mane…” Zeya yang terusik langsung nengikut arah pandang Aruni. “Gue kira lu nyari tempat, taunya nyari kak noah ye,” sambung gadis itu.

“Dih, kagak. Kebetulan doang kali,” elak Aruni.

Bertepatan saat Aruni kembali melihat ke sisi meja Noah, dua orang mahasiswa yang duduk tidak jauh dari Noah dan timnya berangsur berdiri dan meninggalkan tempatnya

“Tuh Zey, orangnya pergi, buruan ayo,” tanpa ragu Aruni langsung menarik tangan Zeya buru-buru agar tidak kehilangan slot tempat itu. Bonusnya lagi, tempat itu tidak jauh dari tempat Noah sedang makan siang saat ini.

Zeya menghela napas puas saat berhasil duduk di tempat yang akhirnya kosong itu. Aruni duduk di kursi yang ada di hadapan Zeya, kursi itu berhadapan langsung dengan posisi duduk Noah.

“Tcih strategis banget ya disitu,” cibir Zeya.

“Yaudah sih rejeki gue udah dapet ni tempat limited,” timpal Aruni tak mau kalah. Walau sebenarnya alasan ia duduk di tempatnya saat ini memang karena cukup strategis untuk melihat Noah yang tidak jauh di depannya.

Jangan salah, bukan hanya Aruni yang mencuri-curi pandang. Gadis itu beberapa kali melihat sekelilingnyadan tidak sedikit gadis yang melirik Noah secara sengaja, mulai dari mahasiswa baru hingga yang paling senior sekalipun. Bagaimana tidak, pemuda itu tetap terlihat bersinar di tengah riuhnya kafetaria.

“Kakkk!” Zeya melihat sekelilingnya sebelum akhirnya melambaikan tangan saat melihat Kelvin baru saja datang dari pintu masuk yang berbeda.

Dari jauh Kelvin langsung menyadari lambaian tangan Zeya dengan mengacungkan jempol tanda ia melihat. Akan tetapi, bukannya segera menghampiri Zeya dan Aruni, Kelvin berhenti sejenak di meja tempat Noah dan tiga orang temannya yang baru saja menyelesaikan makannya.

Aruni dan Zeya saling melempar pandang, mereka berdua melihat Kelvin yang menyalami satu persatu orang di meja Noah termasuk Noah sendiri. Setelah salam-salaman, Kelvin tampak berbicara dengan Noah, lalu kemudian Kelvin menjulurkan telunjuknya menunjjuk Aruni dan Zeya yang membuat Noah mengikuti arah telunjuk Kelvin.

Noah melihat Aruni dan Zeya, begitupun sebaliknya. Noah mengangguk pelan sambil tersenyum saat Aruni dan Zeya sedikit menundukkan kepalanya untuk menyapa Noah. Setelah itu, Kelvin melambaikan tangannya berpamitan ke Noah dkk, sebelumnya mendatangi meja tempat Aruni dan Zeya.

“Gimana rasanya dinotis Jefri Noah, Run?” kata pertama yang keluar dari mulut Kelvin saat sudah mengambil posisi duduk di sebelah Zeya.

“Kamu sengaja, Kak?” Zeya memastikan. Sedangkan Aruni masih sedikit membeku, seperti mendapatkan efek dari pesona Jefri Noah.

Kelvin mengangguk kemudian tertawa.

Arunika berjalan cepat menyusuri koridor gedung kampus, sesekali ia melirik jam tangan di pergelangan kirinya. Gadis itu sudah bertekad harus datang lebih cepat, ia harus diwawancari pertama agar sempat untuk berangkat ke Bandung jam 4 sore nanti.

Jam di pergelangannya baru menunjukkan pukul 14.30, lebih cepat 30 menit dari jadwal wawancara bersama Dara—Kakak tingkat yang akan mewawancarainya dan beberapa calon anggota Himpunan yang lain.

Beberapa kali Aruni mempertanyakan sebenarnya apa yang sedang ia lakukan saat ini, mendaftar Himpunan demi pemuda baik hati bernama Jefri Noah? tapi di sisi lain dia juga sangat bersemangat untuk apa yang akan terjadi ke depannya. Ia benar-benar senang dengan kehadiran Jefnoah di awal kisah perkuliahannya ini.

Setelah berjalan kurang dari lima menit dari parkiran menuju sekrteratiat himpunan, akhirnya Aruni tiba di depan ruangan itu. Namun, tidak sesuai dugaannya, ia tidak sendirian. Di dua kursi panjang yang ada di depan ruang sekretariat Himpunan ada beberapa orang mahasiswa yang tampaknya juga adalah mahasiswa baru seperti Aruni yang akan diwawancarai untuk keanggotaan himpunan.

Aruni melirik sekilas ke jendela ruangan tapi ia tidak bisa melihat apapun, penasaran siapa yang mewawancarai di dalam sana.

“Run, duduk sini,” Aruni mengalihkan pandangannya saat mendengar suara perempuan yang tak asing bagianya, gadis itu adalah Asha, teman satu kelompoknya saat osjur.

Aruni tanpa rau langsung duduk di sebelah Asha yang mempersilakannya, “Sha, wawancara bareng siapa?” tanya Aruni.

“Kak Noah, Run,” jawab Asha, mata gadis itu berbinar.

“Ohh, lo daftar adkesma juga?” tanya Aruni.

Asha mengangguk. “Lo juga? wawancara bareng kak noah?”

“Gue juga daftar adkesma tapi wawancaranya ntar bareng kak dara,”

“Oalah belum ada liat kak dara sih gue, kayaknya abis kak noah deh, lo cepet amat?”

Aruni menghela nafasnya sebelum menyandarkan pundaknya di dinding. “Iya, gue dateng cepet biar duluan, ntar sore gue mau balik bandung.”

Asha mengangguk-angguk menanggapi Aruni.

Beberapa orang yang tengah duduk di kursi panjang bergantian keluar masuk ke dalam sekre himpunan, menandakan wawancara yang dilakukan Noah di dalam sana berjalan dengan lancar. Beberapa orang baru juga berdatangan saat mendekati pukul 15.00.

Aruni yang tadinya malas-malasan dengan menyandarkan diri di dinding, kini suda mengubah posisi menjadi duduk tegap dengan menyilangkan kakinya. Sedikit merasa bangga karena ia datang lebih dulu daripada beberapa orang yang baru datang untuk wawancara bersama Dara. Sementara itu, mahasiswa yang akan wawancara bersama Noah kini tersisa empat orang.

Aruni sudah bersemangat akan sempat untuk pulang ke Bandung tepat waktu, tapi semangatnya kian memudar setelah waktu sudah lewat 20 menit dari jadwal seharusnya. Dara masih belum datang.

Di tengah keluhan mahasiswa baru yang menunggu, pintu ruangan sekretariat himpunan terbuka bersamaan dengan dua orang terakhir yang diwawancarai Noah.

Jefnoah diam sejenak, ia memperhatikan beberapa orang yang tengah menunggu dengan gelisah karena sudah menunggu cukup lama.

“Semuanya yang bakal wawancara bareng Dara?” tanya Jefnoah.

Semua mengangguk termasuk Aruni.

Jefnoah menghela napasnya panjang, memasang wajah bingung. “Teman-teman maaf banget ya, Dara baru konfirmasi gak bisa datang karena ada urusan mendadak, kalau ada yang mau tunggu sampai jam 5 sore nanti bisa tunggu disini tapi kalau ada urusan lain, kalian bisa balik sabtu besok ya, saya minta maaf banget karena kalian udah nunggu.”

Satu kalimat tersebut berhasil menghasilkan lenguhan tertahan dari para mahasiswa yang telah menunggu, mereka tetap tidak dapat mengeluh banyak karena tetap menjaga sikap di depan Noah sebagai seniornya.

Noah sudah meminta maaf berkali-kali saat beberapa dari mereka memilih berpamitan pergi, kecuali Aruni.

“Aruni?” baru saja Aruni ingin mengatur strategi bagaimana untuk bertanya kepada Noah, pemuda itu sudah memanggilnya lebih dulu.

“Sore, kak.” Aruni balas menyapa.

“Mau nunggu Dara?”

Aruni tersenyum kikuk, bingung ingin menjawab apa.

“Kalau mau nunggu, di dalam aja, Run,” kata Jefnoah sekali lagi, ia mempersilakan Aruni masuk ke dalam ruangan.

“Ehm, Kak?”

Jefnoah mengangkat alisnya.

“Saya kayaknya gak bisa ikut wawancara sama kak dara,” kat Aruni pelan, agak takut-takut.

Jefnoah yang penasaran semakin memasang wajah bertanya-tanya.

“Saya harus balik ke bandung kak, sampai hari senin, kata Aruni melanjutkan kalimatnya.

“Oh ya? jam berapa, Run?” tanya Jefnoah setelah diam seperkian detik saat mendengar perkataan Aruni.

“Jam 4, Kak.”

Jefnoah melirik jam tangannya, kemudian diam berpikir sejenak. Aruni juga ikut diam. Aruni bahkan tak sanggup menatap Jefnoah lebih dari 2 detik, sore ini pemuda itu masih tampak segar meskipun sudah beraktivitas sejak pagi.

“Mau wawancara sama saya aja?”

“Ha?”

Aruni langsung mendongak sesaat setelah mendengar tawaran itu, bibirnya sedikit terbuka tak menyangka akan kalimat Jefnoah barusan.

Jefnoah tersenyum kecil melihat wajah kaget Aruni.

“Kalau kamu mau kita 10 menit aja, sebentar lagi jam 4 kan? kasian juga kamu kalau harus nunggu Dara,” lanjut Jefnoah dengan tenang.

Aruni mengigit bibir bwahnya bingung, sebenarnya ia tidak akan menolak, ini kesempatan baik. Tetapi entah kenapa dia benar-benar gugup, apalagi saat menyadarai koridor depan ruang sekretariat himpunan sudah berangsur sepi.

“Gak apa-apa kak? Gak ganggu waktu kak noah?” Aruni takut-takut memastikan.

Jefnoah mengangguk mantap. “Gak apa-apa, 10 menit aja kok.”

Akhirnya Aruni mengagguk menyetujui, lagipula memang ia tidak akan menolak.

Jefnoah berjalan masuk ke ruangan lebih dulu sebelum berhenti tepat di ambang pintu yang terbuka, ia mempersilakan Aruni masuk lebih dulu.

“Pintunya saya buka aja ya,” Kata Jefnoah. Aruni awalnya hanya mengangguk pelan sebelum ia menyadari bahwa hal itu dilakukan Jefnoah karena hanya ada mereka berdua di dalam ruangan itu, berbeda dengan sebelumnya Jefnoah mewawancari 2 orang sekaligus.

Astaga, cowok ini benar-benar menarik perhatian Aruni.

Aruni duduk di sofa diikuti oleh Jefnoah yang juga duduk di sofa yang ada di hadapan Aruni, mereka dibatasi oleh meja persegi di tengah ruangan.

Sementara Jefnoah mengecek catatan di laptopnya, ponsel pemuda itu berbunyi, menandakan ada panggilan masuk di sana.

“Oy, Yog?” ucap Jefnoah setelah menerima telepon tersebut.

Jefnoah sempat diam beberapa detik sebelum melirik Aruni sekilas. “Iya sorry sebentar lagi gue nyusul, gue wawancara satu orang lagi.”

Saat itu juga, Aruni menatap Jefnoah. Tentu ia tidak akan salah mengira, jelas-jelas Jefnoah sedang ditunggu.

“Kak maaf lagi ditunggu ya?” tanya Aruni segera

“Ah, iya gak apa-apa, Run. Pertemuan biasa aja kok, saya masih sempat nyusul, yuk mulai sekarang ya? udah mau jam 4,” lagi-lagi Jefnoah menjawab dengan santai.

Aruni tidak tahu harus menanggapi apa lagi, yang ia tahu sekarang, laki-laki di hadapannya ini benar-benar menunjukkan semua karismanya, Aruni bahkan tidak sadar detik ini Jefnoah berhasil membuatnya menatapnya lebih dari 5 detik.

Disclaimer: maaf jika ada kesalahan istilah dan penggambaran situasi yang tidak disengaja.

Dua buah koper masih berserakan di lantai kamar Janu dan Nina saat jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Sudah hampir satu jam Nina duduk bersila di hadapan koper-koper yang masih terbuka. Ia sedang melengkapi pakaian-pakaian yang akan dibutuhkannya saat bersalin nanti, satu koper untuknya dan satu koper lagi untuk calon bayinya yang sebentar lagi akan lahir. Sudah masuk minggu HPL membuat Nina harus siap siaga atas kemungkinan sang bayi lahir. Ia sudah merasakan kontraksi-kontraksi kecil sejak beberapa hari terakhir, perutnya semakin buncit dan ia sudah semakin sulit bergerak bahkan untuk tidur.

Nina melenguh pelan sembari menyandarkan punggungnya di pintu lemari besarnya, ia mengusap pelan perutnya kemudian berpindah perlahan menopang pinggangnya yang mulai pegal. Tepat setelah Nina memutuskan untuk menyudahi aktivitasnya, Janu muncul dari balik pintu kamar dengan segelas susu putih di tangan kanannya membuat Nina yang baru ingin mencoba berdiri jadi mengalihkan pandangan.

“Udah selesai, Nin? Sebentar aku bantu,” Janu meletakkan segelas susu yang ia bawa kemudian menghampiri Nina dengan sigap. Nina tidak perlu berkata apa-apa karena Janu sudah merengkuh pinggangnya membantu Nina untuk berdiri dan menuntunnya untuk naik ke atas ranjang.

“Udah lengkap semua barang-barangnya?” tanya Janu sembari membawa Kembali susu yang tadi ia bawa untuk Nina.

Nina mengangguk. “Kalau mau langsung dibawa ke mobil juga udah bisa, biar ntar gak kesusahan pas udah harus ke rumah sakit,” lanjut Nina setelah menegak habis susu putihnya.

Janu mengangguk setuju. “Oke, kamu udah pakai oil?” tanya Janu saat tangannya sudah di atas perut Nina untuk merasakan pergerakan bayinya.

“Belum,”

“Yaudah tunggu bentar ya, aku mau cuci tangan dulu,” izin Janu sebelum segera melangkah ke kamar mandi.

Tak butuh waktu lama, Janu sudah Kembali menghampiri Nina dengan satu tube oil belly di tangannya, oil khusus yang selalu rutin digunakan Nina untuk perutnya. Janu ikut naik ke ranjang, tidak seperti Nina yang posisinya setengah berbaring dengan tumpuan bantal di punggungnya, Janu duduk dengan santai menghadap perut besar Nina yang sudah terekspos sejak Nina mengangkat bajunya sebatas dada.

Dengan sangat telaten, Janu mengusapkan pelan oil di tangannya ke perut Nina, ia sudah beberapa kali melakukan ini sehingga tidak kesulitan sama sekali. Sesekali Janu melirik Nina yang sangat fokus memperhatikan pergerakan di perutnya. “Kamu takut nggak bentar lagi mau lahiran?” tanya Janu di sela-sela aktivitasnya.

Nina tersenyum kecil sembari berpikir, itu juga yang akhir-akhir ini sedang Nina pikirkan, tidak mungkin ia tak merasakan takut, tetapi rasanya dibanding takut ia lebih merasa khawatir apakah ia mampu melahirkan anaknya dengan lancar. Namun, perasaan tersebut nyatanya tidak sebesar perasan tak sabar Nina bertemu dengan bayi yang sudah bersamanya 9 bulan terakhir ini.

“Hm, sedikit? Tapi aku lebih gak sabar ketemu dia sih,” jawab Nina santai. “Kalau kamu?” Nina balik bertanya.

Janu diam sebentar sebelum akhirnya memberikan anggukan kecil. “Aku takut, aku takut gak bisa tenangin kamu pas lahiran nanti karena aku juga pasti gugup bakal ketemu si baby, aku takut juga gak bisa tahan nangis pas kamu nangis berjuang buat ngelahirin baby, dan aku juga takut gak sanggup tahan air mata bahagia pas nanti pertama kali liat baby,” jawab Janu.

Nina terkekeh pelan mendengar jawaban jujur suaminya, Nina masih ingat dengan jelas saat Janu menangis dalam diam tepat setelah Janu menikahinya, Janu masih sama sejak pertama kali Nina mengenalnya. Janu hanya benar-benar akan menangis untuk orang yang amat disayanginya.

You should cry, karena itu akan nunjukin kamu bahagia menyambut baby,” jawab Nina.


Janu menyambut pagi harinya dengan kedatangan Ezra yang pagi-pagi sudah meminta kopi diappartement Janu. Laki-laki itu masih dengan tujuan yang sama yaitu merecokinya soal pekerjaan, di masa cuti Janu memang hampir semua posisi yang harusnya dipegang Janu dialihkan ke Ezra sehingga Janu juga tidak bisa mengabaikan sahabatnya itu begitu saja. Ada beberapa pekerjaan yang mengharuskan Janu tetap ikut andil.

“Ayo lah Nu temenin gue meeting 2 jam deh paling lama,” rengek Ezra tiba-tiba.

Janu menatap sinis Ezra. “Dih, lo udah gue jelasin dari tadi apa aja yang dibutuhin masih ngelunjak aja lo,” kata Janu setelah mengingat hampir 1 jam ia menjelaskan apa yang dibutuhkan Ezra untuk mengurus pekerjaan yang dilimpahkan kepadanya.

“Yeeeee, kali aja lo berubah pikiran, emang Nina gak bisa diprediksi lahirannya kapan?” tanya Ezra santai sambal menyeruput kopi panasnya.

“Enggak, kita gak planning caesar jadi opsi pertama, makanya gak bisa tentuin tanggal lahiran,”

Ezra mengangguk mengerti, mereka kembali sibuk dengan topik pembicaraan seputar pekerjaan yang isinya hampir seluruhnya tentang Ezra yang mengeluh dan Janu yang ingin mengamuk meladeninya.

“PAK…”

Suara Mbak Sari membuyarkan topik pembicaraan Janu dan Ezra di ruang tengah, keduanya mengerjap bingung melihat ART-nya itu datang tergopoh-gopoh menandakan ada sesuatu yang terburu-buru yang harus ia sampaikan.

“Pak, bu nina minta dibawa ke rumah sakit sekarang,” ucap Mbak Sari sesaat setelah menghela napasnya yang tersenggal-senggal.

Ezra membulatkan matanya mendengar laporan tersebut mengingat baru tadi ia menyinggung soal persalinan Nina. Sedangkan Janu tanpa berkomentar apa-apa langsung lari menuju kamar untuk menemui Nina. Kemungkinan bayinya akan segera lahir.


Setelah melewati proses menegangkan untuk membawa Nina ke rumah sakit, akhirnya Nina, Janu, ditemani Ezra tiba di rumah sakit. Jangan tanya kenapa Ezra ikut berangkat Bersama, kedatangan laki-laki itu ternyata memang ada tujuannya. Supir pribadi Janu belum ada yang standby, sedangkan Janu kurang memungkinkan untuk membawa mobil dalam kondisi panik sehingga Ezra yang mengerti situasi segera menawarkan pertolongan.

Sebenarnya kondisi Nina tidak begitu menyulitkan, Nina merasakan kontraksi berkali-kali pagi ini bersamaan dengan perutnya yang terasa sakit, tetapi ia masih sanggup berjalan dan menahan sehingga untuk menghindari hal yang tidak diinginkan Nina memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Lagi pula rencananya Nina akan pergi ke rumah sakit keesokan harinya apabila belum juga mendapatkan tanda-tanda akan segera melahirkan. Benar saja, setelah sampai di ruangan dan dilakukan pengecekan Nina sudah memasuki pembukaan. Kalau tidak ada halangan hingga pembukaan terakhir, Nina akan melahirkan anaknya hari itu juga.

“Nanti kami cek secara berkala ya nin, kalau kontraksinya jadi lebih cepat dan kamu butuh bantuan ada perawat di depan, usahain tetap bergerak ya,” kata Dokter Vanya—Dokter yang menangani Nina sejak awal kehamilan yang sudah seperti dokter pribadi Nina yang siap hadir dimana dan kapan saja.

“Makasih, Dokter.”

Dokter Vanya melangkahkan kaki keluar ruangan diikuti oleh seorang dokter muda dan 2 perawat yang ikut andil. Di ambang pintu, Dokter Vanya berpapasan dengan Janu yang baru ingin masuk ke dalam ruangan.

“Jangan panik-panik, Nu. Aman kok sejauh ini, Nina prediksinya tepat jadi bisa langsung dibawa ke rumah sakit,” kata Dokter Vanya saat Janu sudah berdiri tepat di hadapannya.

“Thank you, Dok. Kira-kira berapa lama lagi sampai pembukaannya lengkap?” tanya Janu.

“Harusnya kalau gak ada halangan 4-5 jam lagi udah bisa, semoga sore ini udah ketemu si baby ya,” jawab Dokter Vanya santai membuat Janu menjadi lebih percaya diri.

Setelah Doker Vanya berlalu, Janu tak lepas mendampingi Nina melawati masa kontaksinya. Keluarga besar sudah dihubungi dan sebentar lagi akan datang satu persatu. Nina masih bisa diajak berbincang dengan baik meskipun beberapa kali tiba-tiba meringis.

Ibu Nina yang pertama datang ditemani adik bungsu Nina—Ashila. Ibu Nina langsung memberikan semangat pada putri sulungnya, keduanya tampak berusaha tenang meskipun sulit untuk ditutupi hingga Ibu Nina tidak sanggup menahan tangis saat Nina meminta restu ibunya.

Sudah hampir 4 jam berlalu dengan kondisi Nina yang semakin merasakan nyeri di perutnya, kalau tadi ia masih bisa berdiri dan berjalan dengan baik bahkan menggunakan birthball dengan tenang, sekarang Nina sudah setengah meringkuk di atas ranjang dengan ringisan berkali-kali setelah merasakan ketubannya pecah sebelumnya. Janu tak meninggalkan tempatnya di sebelah Nina, ia megelus punggung Nina berkali-kali, perasaannya mulai tegang dan takut karena ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk meredakannya.

“Bentar lagi, sayang,” kalimat itu yang sudah diulang Janu berkali-kali.

“Nu, can i?” tanya Nina pelan di tengah ringisannya.

Janu mengusap-usap bagian belakang Nina. “Of course, you can love,” jawab Janu meyakinkan meskipun dirinya juga tak kalah khawatir.

Dokter Vanya datang lagi, kini dengan lebih banyak pendamping di belakangnya. “Kita siap-siap ya, Nu.”

Kondisi Nina sudah siap untuk melahirkan, Dokter Vanya yang akan memimpin persalinan. Janu memilih tetap di sebelah Nina ditemani juga oleh Ibu Nina. Situasinya amat serius dan menegangkan, tidak mudah melakukan suatu persalinan. Beberapa keluarga sudah hadir menunggu di depan, termasuk Jeremi—Papa Janu—dan Vanessa yang juga akan menyambut keponakannya.

“Harus percaya diri ya bu, tiduran aja gak apa-apa, Tarik nafasnya pelan-pelan dan disambung terus yaa,”

Janu tak henti-hentinya mengelus dan mengecup kepala Nina, ia merasakan tangannya juga bergetar di setiap tarikan nafas Nina. Apalagi saat Nina mengeluh kesulitan dan air matanya bercucuran sedikit demi sedikit. Tak ada yang menyadari Janu juga sudah beberapa kali menyeka air matanya sebelum benar-benar mendarat ke pipinya.

“Iya bisa sedikit lagi….,”

Nina mencengkram tangan Janu sekuat mungkin, ibunya juga menuntunnya di sisi yang lain. Seluruh kemampuannya ia berikan tak peduli sesakit apa yang ia rasakan, pipinya basah dan keringatnya bercucuran seiring dengan pergerakan di bawah sana persis seperti melewati rintangan yang begitu besar, hingga Nina akhirnya merasakan sesuatu sudah ditarik keluar dari tubuhnya.

Nina memejamkan matanya dengan nafas berderu, samar-samar ia mendengar isakan pelan Janu, sangat pelan sambil berkata, “thank you, mamina.”

Tepat setelah itu suara tangisan bayi terdengar lantang, Nina diam seperkian detik sebelum melepas tangisan bahagianya.

Bayi laki-laki itu lahir dengan sempurna dengan suara lantang yang tanpa ragu menyapa dunianya.

Setelah melalui proses pembersihan, bayi laki-laki mungil itu diletakkan di atas dada sang Ibu—Nina. Perasaan Nina campur aduk merasakan kulit sang Bayi, ia tidak bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini. Janu tak kalah terharu saat tangan besarnya yang bahkan lebih besar dari kepala bayi itu mulai menyentuh tangan kecil putranya, hatinya kembali tersentuh.

Saat itu juga, ia tidak punya alasan untuk tidak mencintai apa yang ia miliki saat ini.

Welcome our precious love, Jarvey Arijade Jaziel.”

Sinar matahari terus berangsur ke arah barat yang menghasilkan cahaya hangat disertai angin tipis-tipis yang menambah kesan sejuk di halaman rumah Janu dan Nina sore ini. Taman di halaman diubah menjadi garden party bernuansa kuning lembut yang menjadi tema yang diusung hari ini. Si tuan rumah sengaja memilih warna soft yellow sebagai warna utama karena melambangkan kebahagiaan dan rasa optimis, selain itu Nina dan Janu menghindari warna yang menjurus ke warna laki-laki ataupun perempuan seperti merah muda dan biru.

Acara sore ini disusun sederhana tetapi tetap menunjukkan effort-nya sebagai suatu perayaan. Tidak banyak yang diharapkan hadir, hanya keluarga inti dari Janu dan Nina, sahabat-sahabat dekat Janu dan Nina, serta beberapa peran-peran penting di sekitar Janu dan Nina.

Di halaman yang sudah tersulap indah itu tersedia 5 meja bundar dengan masing-masing 7 kursi di sisi-sisinya. Di sisi halaman sudah tersedia 3 spot prasmanan dan tidak jauh dari spot utama disediakan mini playground mengingat akan banyak anak-anak yang datang mendampingi orang tua mereka masing-masing.

Lalu untuk hiburan yang disajikan, awalnya tidak ada sama sekali, tetapi rencana kilat yang disusun h-3 sebelum acara yang akhirnya Janu, Ezra, Reon, dan Naufal bersedia menampilkan pertunjukan lagi untuk pertama kalinya setelah mereka memutuskan untuk pensiun beberapa tahun yang lalu sebagai sebuah grup band.

Beberapa waktu sebelum jadwal acara yang dijadwalkan dimulai, kediaman Janu dan Nina sudah ramai. Keluarga besar lah yang paling pertama hadir, ada Vanessa bersama Kenzo—yang meski hari ini tidak didampingi suaminya yang tidak bisa hadir, kemudian Bapak dan Ibu Nina yang tetap kompak hadir meskipun sudah tidak lagi bersama, lalu kedua adik perempuan Nina—Kania dan Ashila. Keluarga inti sudah duduk di spot yang disediakan.

Kemudian rombongan sahabat Nina datang satu persatu, yang pertama adalah Clairy dan Suami beserta anak perempuan mereka yang belum genap setahun, keluarga ini datang pertama meskipun sejatinya Clairy dan keluarga menetap di Bali, tetapi untuk acara ini mereka meluangkan waktu khusus untuk terbang ke Jakarta. Setelah Clairy, disusul Shera yang juga bersama suami dan anak perempuannya yang sudah bisa berjalan riang.

Terakhir, Eline datang dengan keriwehannya sebagai sahabat yang mengclaim dirinya sebagai rich aunty. Ia tentu tidak datang dengan tangan kosong, karena ini pertemuan pertama bersama sahabatnya setelah tidak bertemu dalam waktu yang lama, ia memutuskan membeli oleh-oleh untuk anak-anak sahabatnya, termasuk bayi Nina yang bahkan belum diketahui identitasnya.

“Nih, Nin. Karena kemungkinan gue nggak bisa balik pas lo lahiran, jadi lo terima duluan kado buat ponakan gue itu, early born gift dari aunty eline yang cantik,” ucap Eline sambil memberikan goodiebag berukuran besar lalu menepuk pelan perut Nina yang sudah semakin besar.

Beralih ke rombongan Neoband sebagai sahabat-sahabat Janu, berbeda dengan Nina yang menyambut sahabatnya yang datang satu persatu, Janu hanya perlu melakukan hal tersebut satu kali karena ternyata rombongan keluarga Naufal dan Reon datang secara bersamaan di waktu yang sama, kita kesampingkan Ezra yang sudah datang sejak siang hari karena benar-benar ikut andil dalam urusan per-EO-an.

Janu menyapa istri dan anak-anak sahabatnya. Naufal datang lengkap dengan istri dan 2 anaknya, anak pertama perempuan yang menjadi putri kecil pertama di tengah persahabatan mereka itu kini sudah berusia lebih dari 3 tahun dan anak kedua Naufal adalah bayi laki-laki yang baru genap berusia 6 bulan. Kemudian Reon yang juga datang lengkap bersama istri dan anak laki-lakinya yang sedang belajar berjalan.

“Weits, harmonis banget nih persahabatan sampe datang barengan gini,” suara Ezra muncul dari belakang Janu yang baru saja menyapa anak-anak lucu sahabatnya.

“Lo gue liat-liat semakin kayak yang punya acara dah,” timpal Reon yang baru saja duduk di kursinya.

Ezra cekikikan.

“Lo gak tau aja ini dia baru berani keluar lagi sejak mantannya dateng,” kata Janu santai tapi menyindir, Ezra yang mati kutu tak mampu mengelak memilih mengalihkan perhatian ke Aira—anak pertama Naufal—seakan ia tidak mendengar apa-apa.

“Oalah baru liat gue, udah lo sapa belum Zra? kisah lama belum kelar-kelar nih?” Reon yang sebenarnya sudah tahu jawabannya hanya ingin menggoda Ezra yang kini sudah memasang wajah sinis.

Sejak Eline datang, Ezra lebih banyak masuk ke dalam rumah mengurus hal yang sebenarnya tidak perlu ia urus, kemudian saat harus keluar ia sebisa mungkin tidak mendekat ke meja sahabat-sahabat Nina, hal yang sama juga dilakukan Eline yang bertingkah seakan tidak ada Ezra—Mantan pacar 5 tahunnya.

Janu dan Nina sendiri sebenarnya bingung dengan kisah Ezra dan Eline, kedua—mantan—sejoli itu masih terus perang dingin hingga sekarang meskipun sudah bertahun-tahun sejak keduanya berpisah dan tidak pernah berhubungan lagi. Namun, baik Janu maupun Nina juga tidak ingin ikut campur banyak, mereka tidak tahu serumit apa perasaan yang pernah ada atau mungkin masih ada antara Ezra dan Eline.

Acara sudah akan dimulai, keluarga dan sahabat-sahabat lengkap berdatangan, dan tim EO sudah merampungkan seluruh hal yang dibutuhkan. Sekarang Janu dan Nina sedang memulai dengan memberikan welcoming speech.

“Sekali lagi, terima kasih karena sudah meluangkan waktu untuk hadir dan senang rasanya bisa bertemu kembali dengan sahabat-sahabat secara intimate seperti ini,” ucap Janu sebelum memberi kesempatan lagi untuk Nina melanjutkan sambutannya. “Kami benar-benar berharap sore ini bisa dihabiskan dengan kehangatan, terlepas dari penyambutan gender reveal anak kami, sebetulnya acara ini memang bertujuan untuk saling bertemu kembali dengan orang-orang terdekat, jadi harapannya kita semua bisa sama-sama menikmati hari ini.” Nina menutup speech-nya dengan sempurna dan disambut tepuk tangan oleh semua mata yang tertuju pada Janu dan Nina yang kini saling bertukar senyum bahagia.

Acara berjalan dengan baik hingga memasuki waktu early dinner, Janu dan Nina bergantian bergabung ke tengah keluarga mereka, kemudian ke sahabat-sahabat Janu, lalu ke sahabat-sahabat Nina. Mereka seakan lupa bahwa inti dari acara adalah gender reveal yang memang sengaja disimpan di akhir acara.

Sekarang waktunya untuk Neoband reborn, entah sudah berapa menit keempat laki-laki dewasa di depan itu melakukan check sound, kalau dulu saat-saat perform selalu diisi dengan kehebohan dan gombalan-gombalan kecil, sekarang mereka jadi jauh lebih jaim, kecuali Ezra yang masih memiliki sikap slengean dan dapat mencairkan suasana di depan.

“Maaf ya, teman-teman saya udah bapak-bapak semua jadi udah lama nih gak pegang alat musik,” celetuknya tiba-tiba mencairkan suasana yang membuat semua orang yang menunggu reflek tertawa.

Tidak lama setelah itu mereka akhirnya menunjukkan jati diri sebagai mantan anak band profesional yang sudah pernah merilis album sendiri. Dalam sekejap, Neoband kembali menghibur pasang mata yang menyaksikan mereka, meski kali ini dengan warna yang berbeda tetapi tidak mengurangi rasa bahagia orang yang melihatnya.

Lantunan musik yang mengiringi suara Reon sebagai vokalis tak pudar menghasilkan sahutan bahagia dari semua orang yang hadir, mereka benar-benar menuntaskan kerinduan pekerjaan masa mudanya hingga mereka berempat tidak sadar bahwa mereka sudah tumbuh bersama-sama dalam waktu yang lama.

Good job, our baby will be so proud of you,” Nina tersenyum tipis sambil menggandeng lagi tangan Janu yang baru datang menghampirinya setelah perform comeback dadakan bersama Neoband. Januar ikut tersenyum membalas Nina dengan elusan di punggung tangan wanita itu.

Setelah dessert time selesai, penghujung sekaligus inti acara pun dimulai. Lantunan musik mengiringi dimulainya ceremony gender reveal tersebut, bahkan hadirin yang awalnya setia dengan tempat duduk masing-masing, kini bersama-sama berdiri mendekat agar bisa melihat Janu dan Nina sebagai pemeran utama yang sudah berdiri di depan menjadi pusat perhatian.

Jika biasanya Gender Reveal identik dengan meletuskan balon dan menunggu warna apa yang akan keluar dari dalam balon, konsep milik Janu dan Nina berbeda. Event Organizer mereka menyusun dengan konsep raport, hampir sama persis dengan raport di acara idola cilik yang apabila raport tersebut dibuka, akan menunjukkan hasil di baliknya. Ini adalah ide Ezra, meskipun terkadang menyebalkan, dia benar-benar ikut andil banyak membantu EO acara hari ini.

Raport gender reveal itu sudah berada di tangan Janu dan Nina, ketegangan dan rasa penasaran murni terlihat dari kedua calon orang tua itu karena mereka benar-benar belum tahu gender dari anak mereka sendiri. Tidak ada yang tahu selain Dokter Vanya yang juga hadir hari itu dan head event organizer yang dipercayakan membuat raport yang mana head event organizer itu juga masih termasuk kerabat Janu.

“Aduh aduuuhh berasa lagi ikut idola cilik beneran tegangnya,” Ezra sudah mengambil alih menjadi pemandu acara, ia lihai menjelaskan apa yang kemungkinan muncul dari balik raport buatan tersebut.

“Saudara Reon dan Naufal siap-siap kalah dari saya ya,” tambah Ezra yang merujuk pada Reon dan Naufal yang sama-sama sedang memegang stik bertuliskan “girl” menandakan tebakan mereka adalah anak perempuan, berbeda dengan Ezra yang percaya diri dengan stik bertuliskan “boy” yang ia genggam di tangan kirinya.

“Kita lihat dulu, oh sahabat-sahabatnya Nina rata-rata juga milih perempuan...” komentar Ezra sembari memperhatikan rombongan sahabat Nina, meskipun di akhir nada suaranya tiba-tiba menurun karena tidak sengaja menangkap pilihan yang sama antara dirinya dan Eline.

“Oke, keluarga besar mempelai kita pilihannya hampir imbang antara bayi laki-laki dan perempuan, wah seru nih, kalau gitu kita hitung mundur bareng-bareng...,”

Ezra menambah volume suaranya, keadaan semakin seru, Janu dan Nina saling bertatapan sebentar memberikan tatapan meyakinkan sambil menunggu hitungan mundur dari Ezra yang diikuti oleh hampir semua orang yang sedang menyaksikan.

“3...,2...,”

”...1.”

Janu dan Nina kompak membuka raport tersebut bersamaan, sehingga dalam sekejap isi raport tersebut menjadi primadona, detik selanjutnya teriakan bahagia dan tepuk tangan mengiringi hasil yang sudah terlihat.

Hal yang pertama kali dilakukan oleh Janu adalah mendekap hangat Nina saat itu juga, “Thank you, love.” Nina membalas dengan senyum yang tak pudar sedikit pun. Ia sungguh bersyukur, terlebih saat melihat tidak ada raut yang Nina takutnya muncul dari semua orang yang dilihatnya hari ini, bahkan Nina dapat melihat senyum mertuanya—Papa Jeremi—yang muncul dari layar ipad Vanessa, sedang ikut berbahagia dari jarak jauh.

“CONGRATULATIONS IT'S A BOY!!” Teriak Ezra sekali lagi menyimpulkan kebahagiaan sore itu, tepuk riuh dan tawa bahagia masih terus terdengar jelas.

Dear little boy, you will be shine, see you.

Pukul 7 pagi matahari dengan cerah memasuki ruang tengah kediaman Januar dan Nina. Si kepala rumah tangga—Januar—baru saja muncul dari pintu samping rumahnya yang menghubungkan antara taman belakang dengan ruang tengah yang juga tersambung ke dapur besar rumahnya.

Laki-laki itu menanggalkan sepatu olahraganya lalu mengganti dengan sendal rumahan, masih dengan satu set training yang ia pakai sebelumnya untuk jogging di sekitar komplek rumahnya. Oh ada satu lagi yang ia singkirkan, airpods di telinganya yang ia letakkan asal di atas meja. Janu memasuki area dapur, ia melirik sekilas Mbak Sari—Asisten Rumah Tangganya—yang tengah memasak beberapa bahan makanan.

“Mbak, udah mateng ayamnya?” tanya Januar sembari mengeluarkan beberapa buah dari kulkas besarnya.

“Udah hampir selesai, Pak,” jawab Mbak Sari setelah melirik panci berisi ayam yang ia kukus.

“Minta tolong potongin ya, Mbak. Saya buat jus dulu,” Janu kembali fokus pada buah apel yang sudah ia masukkan ke dalam blender.

Jangan heran kenapa Janu yang membuatnya sendiri, jus apel yang sedang ia siapkan adalah untuk Nina—Istrinya yang masih bergelut dengan efek hamil mudanya. Setelah Janu memutuskan mengambil cuti saat keadaan Nina semakin tidak stabil karena efek hamil mudanya, Janu lebih banyak menghabiskan waktu menemani Nina di rumah. Ia bahkan ikut turun mengontrol makanan dan minuman yang dikonsumsi Nina.

Seperti pagi ini, ia akan menyiapkan jus apel dan spring roll salad. Semenjak hamil, Nina benar-benar pemilih soal makanan, ia bahkan tidak bisa menelan nasi putih membuat pola makannya menjadi benar-benar berubah.


Dentuman suara pintu kamar mandi terdengar dari kamar utama rumah Janu dan Nina. Nina baru saja memasuki kamar mandi dengan terburu-buru, sudah bukan hal baru lagi bagi Nina karena beberapa minggu belakangan ini hampir setiap hari ia harus memuntahkan isi perutnya yang tak seberapa itu di pagi hari setelah ia bangun. Tidak hanya itu, kepalanya selalu terasa berat saat pagi hari sudah datang, hingga membuat Nina ingin sekali melewati pagi hari yang dulu sangat ia sukai.

Nina membasuh wajahnya sekali lagi setelah mual-mual yang tiada hentinya. Wanita itu menatap wajahnya sekilas di cermin yang terpajang di atas westafel.

Jika ada wanita hamil yang mengalami pertambahan berat badan, justru Nina mengalami sebaliknya, berat badannya turun hingga wajahnya terlihat lebih tirus dan kering. Hormonnya juga tidak menentu, hingga moodnya yang berubah dengan cepat. Ia ingin menangis lagi pagi ini, tapi ketukan dari pintu kamar mandinya membuatnya menarik napas sejenak. Ia tahu suaminya sudah menunggunya di balik pintu.

Morning,” Nina disambut seulas senyum tulus dari Janu yang menatapnya lembut.

Nina juga membalas dengan senyuman, perlahan melangkah mendekati Janu yang sudah melebarkan lengannya bersiap memeluk. Dalam sekejap, ekspresi wajah Nina berubah murung dan matanya kembali berkaca-kaca. Tepat setelah berhasil memeluk Janu, ia menangis lagi tanpa sebab.

Janu tidak mungkin tidak menyadari, ia paham betul bagaimana Nina yang menjadi sangat sensitif di kehamilan trimester pertamanya ini. Laki-laki itu mengusap pelan rambut istrinya sambil sedikit menggerak gerakkan badannya berharap Nina dapat sedikit rileks.

“Gak apa-apa, sayang,” bisik Janu di tengah-tengah dekapannya.

Hampir lima menit berlalu dengan posisi yang sama, hingga akhirnya Nina mengangkat kepalanya untuk melihat Janu.

Melihat Nina tidak mengatakan apa-apa, akhirnya Janu yang membuka lagi pembicaraan, “makan yuk? atau kalau belum mau, minum jus aja ya? aku buat jus apel.”

“Mau,”

“Mau apa?”

“Makan, minum jusnya juga.”

Janu tersenyum simpul, ia mengecup kening Nina sebelum berkata, “pinter.”

Tidak sampai disitu, ia membungkukkan badannya hingga wajahnya sejajar dengan perut Nina yang masih rata.

Januar mengelusnya pelan, “anak baik yang pinter juga ya di dalem, jangan nakal-nakal oke? kasian maminya, sehat-sehat ya?”

Nina tersenyum sekali lagi. Tidak ada yang berubah dari Januar. Bahkan saat dirinya yang berubah pun, Januar tetap sama. Tidak mengurangi sedikitpun apa yang ia berikan ke Nina.

Agustus, 2019

“APES BANGET ASTAGAAA!”

Cewek itu duduk tersungkur di atas kloset, memegangi perutnya yang terasa nyeri sejak beberapa jam yang lalu, ia melirik jam tangan di pergelangan kirinya. Waktu istirahatnya sudah selesai.

Cewek itu kembali mengeluh, ia tidak bisa kemana-mana, datang bulannya hadir lebih awal sebelum jadwal seharusnya. Ia tidak menyiapkan apa-apa, baru merasa was-was beberapa jam yang lalu, saat sedang berkumpul di upacara PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru) tingkat jurusan atau lebih dikenal dengan singkatan osjur.

Lalu tepat setalah upacara pembukaan selesai, pembagian kelompok dan bertemu pembina pendampingnya, ia langsung meminta izin untuk ke toilet, waktunya hanya 15 menit.

Sialnya ia sudah terjebak di toilet itu lebih dari 20 menit. Ia tidak bisa menghubungi siapapun karena tidak membawa ponsel, nekat keluar pun juga tidak mungkin melihat kondisinya sekarang yang datang bulan tanpa persiapan.

Satu lenguhan panjang kembali terdengar. Hari pertama Ospek Jurusan, datang bulan hari pertama yang tiba-tiba, dan terjebak di dalam toilet. Lengkap sudah penderitaan yang dialami cewek itu.


Cowok berbadan jangkung itu berkali-kali menghitung barisan mahasiswa baru di hadapannya, total seharusnya ada 15 orang. Tetapi berkali-kali ia mengecek, kelompok di bawah binaannya masih kurang satu anggota. Ia tahu siapa yang kurang, cewek yang beberapa menit lalu meminta izin untuk ke toilet. Belum kembali hampir 30 menit. Cowok itu berpikir keras, ia harus mencari cewek itu, bagaimanapun anggota kelompok itu di bawah binaannya, ia harus bertanggungjawab karena tadi ia yang memberikan izin.

“Gimana, Jef, lengkap nih?” Dua orang mahasiswa yang memakai almamater yang sama dengan yang digunakan cowok itu datang sambil membawa papan absen.

Cowok itu berdecak pelan.

Jefrian Noah K. Nama yang tertulis di bet nama yang tergantung di lehernya. Orang-orang di kampus mengenalnya dengan nama Jefnoah, dosen-dosen memanggilnya dengan nama Jefrian, dan teman-temannya memanggil dengan nama Noah, terkadang Jef jika orang itu sudah dekat dengannya.

“Kok cuman 14?” cowok bergaris wajah tajam itu menoleh bertanya. Para mahasiswa yang berbaris di depannya langsung tunduk, mengenal cowok itu adalah si ketua pelaksana.

“Kurang siapa, Jef?” kali ini yang bertanya adalah cowok di sebelah si ketua pelaksana, ia adalah ketua komisi disiplin.

“Namanya Arunika, tadi izin ke toilet,” jawab Jefnoah. “Jangan lo catet dulu Namanya, gue bakal nyari anaknya, kita tanya alasannya dulu kenapa sampai telat,” sambung cowok itu saat melihat Edo si ketua komdis mengeluarkan pulpen bersiap mencatat.

“Gak bisa gitu, Jef. Aturan tetap aturan, dia telat ngumpul di sini padahal yang lain sudah berdiri di sini dari 30 menit lalu.” Yoga si ketua pelaksana menentang ucapan Jefnoah.

“Kasih gue 10 menit buat nyari dia, kalau gue telat lo boleh catat namanya,” seru Jefnoah tanpa peduli jawaban dari Yoga maupun Edo, cowok itu sudah berlari membelah lapangan.


Sementara dari dalam bilik toilet, Arunika sudah pasrah. Sepertinya ia harus menunggu smpai jam istirahat makan siang baru mungkin ada orang yang datang ke toilet itu.

Peluh keringat di ujung dahinya menandakan bahwa nyeri di perutnya semakin terasa, wajahnya pucat di tambah ia tidak sarapan dari pagi.

Suara ketukan samar terdengar, bukan dari pintu bilik, tapi dari pintu toilet di depan. Aruni terperanjat, mencoba mendengarkan sekali lagi.

“ARUNIKA? TOLONG JAWAB SAYA KALAU KAMU ADA DI DALAM!”

Mata Aruni membulat, ia bisa mendengar suara dari pintu masuk toilet Wanita. Toilet itu tidak besar, hanya ada 2 bilik di dalamnya di tambah 2 westafle.

Suara ketukan terdengar lagi, Aruni sempat mempertimbangkan apakah akan berdiri atau tidak, kondisinya tidak memungkinkan. Tapi jam makan siang masih 2 jam lagi, ia tidak punya pilihan lain.

Dengan sisa tenaga yang ada, cewek itu berdiri dan segera keluar dari bilik dengan langkah tidak nyaman dan perut yang masih ditekuk.

Tangan dingin cewek itu membuka pintu toilet.

Jefnoah yang hampir pergi langsung terperanjak. Bibirnya terbuka kecil karena kaget, wajah pucat pasi Arunika muncul di balik pintu.

“Kak, tolongin…” Arunika melenguh, sejujurnya sempat kaget melihat Jefnoah yang muncul di sana.

Arunika dengan wajah pucat dan keringat di dahinya seakan lupa bahwa beberapa jam yang lalu, saat perkenalan Pembina Pendamping, Jefnoah dengan karisma penuhnya memperkenalkan diri. Wajah tampan dengan kulit bersih, hidung mancung, dan lesung pipi kanan-kiri membuat senyuman cowok itu mampu membuat 8/15 perempuan di kelompoknya berseru riang merasa beruntung mendapat pembina pendamping yang tampan, termasuk Arunika yang hanya bisa melongo melihatnya.