131. Pulang
Hari sudah hampir berganti, jarum jam menunjukkan kurang dari setengah jam sebelum sampai di angka 12. Bukan dua belas siang, tapi dua belas malam. Sekretariat UKM masih ramai diisi oleh panitia pekan ilmiah yang terdiri dari anggota UKM Keilmiahan dan anggota Himpunan Mahasiswa, tidak sedikit juga yang termasuk anggota keduanya.
Salah satunya, Arunika. Ketua panitia acara.
Penampilan Si Ketua Panitia itu sudah cukup berantakan sekarang, ia belum pulang sejak pagi hari. Siapapun yang melihatnya akan merasa prihatin karena aura kelelahan yang tidak bisa ditutupi.
Untungnya Noah datang, Aruni bersyukur. Bukan hanya karena bisa melihat pemuda yang disukainya tetapi juga hadirnya Noah akhirnya menutup rapat malam ini yang sebelumnya tak kunjung usai.
Para senior yang tidak tergabung dalam panitia sudah pergi satu persatu, tidak sedikit bagian dari panitia yang kelelahan juga ikut berpamitan pulang. Hanya tersisa beberapa orang, termasuk Aruni yang membiarkan panitia lainnya pulang lebih dulu.
“Masih ada yang harus pulang sendiri?” Suara Noah yang sejak tadi sudah terdengar memastikan anggotanya aman untuk pulang.
“Saya nunggu dijemput, Kak,”
“Kak hadi, nebeng ya,”
“Kami pulang duluan ya, Kak,”
Kira-kira seperti itu riuh sisa anggota yang pulang malam ini, beberapa dari mereka dijemput—entah dijemput orang tua, pasangan, hingga gebetan, beberapa juga saling berboncengan, dan yang membawa kendaraan saling beriringan.
“Yan, iringin gue ya,” Siska yang membawa kendaraan sendiri meminta Aryan untuk menemaninya pulang yang segera diiyakan oleh Aryan.
“Kak, berkasnya ada yang perlu saya bawa lagi kah buat dikerjain di kos?” Aruni berkata pelan di samping Noah. Gadis itu sudah memasukkan barang-barangnya ke dalam tas untuk bersiap pulang.
Noah menoleh menghadap Aruni.
“Itu kamu bawa semua?” tanya Noah saat matanya menangkap satu totebag berisi tumpukan kertas.
Aruni mengangguk.
Noah diam sebentar, dilihatnya Aruni yang masih sedikit sibuk merapikan isi tasnya, rambut yang biasanya digerai berubah terikat asal dan kemeja yang biasa telipat rapi sudah tergulung asal.
“Kamu dijemput?” tanya Noah.
Aruni mengangguk ragu, pasalnya dijemput disini berarti ambigu untuk Aruni.
“Dijemput ojol, Kak,” jawab Aruni sambil tersenyum canggung.
Noah membulatkan matanya. Pemuda itu melirik jam di pergelangan kirinya. “emang masih ada jam segini, Run?”
“Harusnya masih sih kak, banyak ojol yang sampai subuh kok.” Aruni menjawab.
Kembali hening. Noah melihat beberapa orang di sekitarnya lalu kembali lagi melihat Aruni. Seperti mempertimbangkan sesuatu.
“Sama saya aja, Run,” kata Noah.“Maksud saya barang kamu lumayan banyak, kebetulan saya lagi bawa mobil juga, kalau sama saya aja gapapa?” lanjut pemuda itu.
Aruni mengerjap, ia langsung mendongak menatap Noh. “Eum, sebenarnya saya naik ojol gapapa sih kak, kos saya gak jauh kok, udah biasa juga naik ojol, just in case kakak khawatir anggota kakak pulang sendiri, tenang aja saya gak sendiri kak kan ada ojol,”
Tidak. Jangan kira Aruni menolak. Ia hanya salah tingkah, bingung harus menjawab apa. Padahal dalam hati ia ingin sekali lompat sekarang.
“Udah dipesan emang ojolnya?” tanya Noah lagi.
“Ini baru mau pesan sih kak,” Aruni mengangkat ponselnya yang memang baru membuka aplikasi ojek online.
“Kalau gitu sama saya aja, Run, anggap aja saya ojolnya gapapa,” jawab Noah. “Mobil saya disana, tunggu sebentar ya biar yang lain pulang dulu, gak buru-buru kan?”
Aruni menyadari ini bukan lagi ajakan tapi perintah. Seakan ini yang diharapkan Aruni, gadis itu sudah mengangguk setuju sekarang. Jangan tanya seheboh apa gemuruh di dadanya itu.