Welcome, J.
Disclaimer: maaf jika ada kesalahan istilah dan penggambaran situasi yang tidak disengaja.
Dua buah koper masih berserakan di lantai kamar Janu dan Nina saat jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Sudah hampir satu jam Nina duduk bersila di hadapan koper-koper yang masih terbuka. Ia sedang melengkapi pakaian-pakaian yang akan dibutuhkannya saat bersalin nanti, satu koper untuknya dan satu koper lagi untuk calon bayinya yang sebentar lagi akan lahir. Sudah masuk minggu HPL membuat Nina harus siap siaga atas kemungkinan sang bayi lahir. Ia sudah merasakan kontraksi-kontraksi kecil sejak beberapa hari terakhir, perutnya semakin buncit dan ia sudah semakin sulit bergerak bahkan untuk tidur.
Nina melenguh pelan sembari menyandarkan punggungnya di pintu lemari besarnya, ia mengusap pelan perutnya kemudian berpindah perlahan menopang pinggangnya yang mulai pegal. Tepat setelah Nina memutuskan untuk menyudahi aktivitasnya, Janu muncul dari balik pintu kamar dengan segelas susu putih di tangan kanannya membuat Nina yang baru ingin mencoba berdiri jadi mengalihkan pandangan.
“Udah selesai, Nin? Sebentar aku bantu,” Janu meletakkan segelas susu yang ia bawa kemudian menghampiri Nina dengan sigap. Nina tidak perlu berkata apa-apa karena Janu sudah merengkuh pinggangnya membantu Nina untuk berdiri dan menuntunnya untuk naik ke atas ranjang.
“Udah lengkap semua barang-barangnya?” tanya Janu sembari membawa Kembali susu yang tadi ia bawa untuk Nina.
Nina mengangguk. “Kalau mau langsung dibawa ke mobil juga udah bisa, biar ntar gak kesusahan pas udah harus ke rumah sakit,” lanjut Nina setelah menegak habis susu putihnya.
Janu mengangguk setuju. “Oke, kamu udah pakai oil?” tanya Janu saat tangannya sudah di atas perut Nina untuk merasakan pergerakan bayinya.
“Belum,”
“Yaudah tunggu bentar ya, aku mau cuci tangan dulu,” izin Janu sebelum segera melangkah ke kamar mandi.
Tak butuh waktu lama, Janu sudah Kembali menghampiri Nina dengan satu tube oil belly di tangannya, oil khusus yang selalu rutin digunakan Nina untuk perutnya. Janu ikut naik ke ranjang, tidak seperti Nina yang posisinya setengah berbaring dengan tumpuan bantal di punggungnya, Janu duduk dengan santai menghadap perut besar Nina yang sudah terekspos sejak Nina mengangkat bajunya sebatas dada.
Dengan sangat telaten, Janu mengusapkan pelan oil di tangannya ke perut Nina, ia sudah beberapa kali melakukan ini sehingga tidak kesulitan sama sekali. Sesekali Janu melirik Nina yang sangat fokus memperhatikan pergerakan di perutnya. “Kamu takut nggak bentar lagi mau lahiran?” tanya Janu di sela-sela aktivitasnya.
Nina tersenyum kecil sembari berpikir, itu juga yang akhir-akhir ini sedang Nina pikirkan, tidak mungkin ia tak merasakan takut, tetapi rasanya dibanding takut ia lebih merasa khawatir apakah ia mampu melahirkan anaknya dengan lancar. Namun, perasaan tersebut nyatanya tidak sebesar perasan tak sabar Nina bertemu dengan bayi yang sudah bersamanya 9 bulan terakhir ini.
“Hm, sedikit? Tapi aku lebih gak sabar ketemu dia sih,” jawab Nina santai. “Kalau kamu?” Nina balik bertanya.
Janu diam sebentar sebelum akhirnya memberikan anggukan kecil. “Aku takut, aku takut gak bisa tenangin kamu pas lahiran nanti karena aku juga pasti gugup bakal ketemu si baby, aku takut juga gak bisa tahan nangis pas kamu nangis berjuang buat ngelahirin baby, dan aku juga takut gak sanggup tahan air mata bahagia pas nanti pertama kali liat baby,” jawab Janu.
Nina terkekeh pelan mendengar jawaban jujur suaminya, Nina masih ingat dengan jelas saat Janu menangis dalam diam tepat setelah Janu menikahinya, Janu masih sama sejak pertama kali Nina mengenalnya. Janu hanya benar-benar akan menangis untuk orang yang amat disayanginya.
“You should cry, karena itu akan nunjukin kamu bahagia menyambut baby,” jawab Nina.
Janu menyambut pagi harinya dengan kedatangan Ezra yang pagi-pagi sudah meminta kopi diappartement Janu. Laki-laki itu masih dengan tujuan yang sama yaitu merecokinya soal pekerjaan, di masa cuti Janu memang hampir semua posisi yang harusnya dipegang Janu dialihkan ke Ezra sehingga Janu juga tidak bisa mengabaikan sahabatnya itu begitu saja. Ada beberapa pekerjaan yang mengharuskan Janu tetap ikut andil.
“Ayo lah Nu temenin gue meeting 2 jam deh paling lama,” rengek Ezra tiba-tiba.
Janu menatap sinis Ezra. “Dih, lo udah gue jelasin dari tadi apa aja yang dibutuhin masih ngelunjak aja lo,” kata Janu setelah mengingat hampir 1 jam ia menjelaskan apa yang dibutuhkan Ezra untuk mengurus pekerjaan yang dilimpahkan kepadanya.
“Yeeeee, kali aja lo berubah pikiran, emang Nina gak bisa diprediksi lahirannya kapan?” tanya Ezra santai sambal menyeruput kopi panasnya.
“Enggak, kita gak planning caesar jadi opsi pertama, makanya gak bisa tentuin tanggal lahiran,”
Ezra mengangguk mengerti, mereka kembali sibuk dengan topik pembicaraan seputar pekerjaan yang isinya hampir seluruhnya tentang Ezra yang mengeluh dan Janu yang ingin mengamuk meladeninya.
“PAK…”
Suara Mbak Sari membuyarkan topik pembicaraan Janu dan Ezra di ruang tengah, keduanya mengerjap bingung melihat ART-nya itu datang tergopoh-gopoh menandakan ada sesuatu yang terburu-buru yang harus ia sampaikan.
“Pak, bu nina minta dibawa ke rumah sakit sekarang,” ucap Mbak Sari sesaat setelah menghela napasnya yang tersenggal-senggal.
Ezra membulatkan matanya mendengar laporan tersebut mengingat baru tadi ia menyinggung soal persalinan Nina. Sedangkan Janu tanpa berkomentar apa-apa langsung lari menuju kamar untuk menemui Nina. Kemungkinan bayinya akan segera lahir.
Setelah melewati proses menegangkan untuk membawa Nina ke rumah sakit, akhirnya Nina, Janu, ditemani Ezra tiba di rumah sakit. Jangan tanya kenapa Ezra ikut berangkat Bersama, kedatangan laki-laki itu ternyata memang ada tujuannya. Supir pribadi Janu belum ada yang standby, sedangkan Janu kurang memungkinkan untuk membawa mobil dalam kondisi panik sehingga Ezra yang mengerti situasi segera menawarkan pertolongan.
Sebenarnya kondisi Nina tidak begitu menyulitkan, Nina merasakan kontraksi berkali-kali pagi ini bersamaan dengan perutnya yang terasa sakit, tetapi ia masih sanggup berjalan dan menahan sehingga untuk menghindari hal yang tidak diinginkan Nina memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Lagi pula rencananya Nina akan pergi ke rumah sakit keesokan harinya apabila belum juga mendapatkan tanda-tanda akan segera melahirkan. Benar saja, setelah sampai di ruangan dan dilakukan pengecekan Nina sudah memasuki pembukaan. Kalau tidak ada halangan hingga pembukaan terakhir, Nina akan melahirkan anaknya hari itu juga.
“Nanti kami cek secara berkala ya nin, kalau kontraksinya jadi lebih cepat dan kamu butuh bantuan ada perawat di depan, usahain tetap bergerak ya,” kata Dokter Vanya—Dokter yang menangani Nina sejak awal kehamilan yang sudah seperti dokter pribadi Nina yang siap hadir dimana dan kapan saja.
“Makasih, Dokter.”
Dokter Vanya melangkahkan kaki keluar ruangan diikuti oleh seorang dokter muda dan 2 perawat yang ikut andil. Di ambang pintu, Dokter Vanya berpapasan dengan Janu yang baru ingin masuk ke dalam ruangan.
“Jangan panik-panik, Nu. Aman kok sejauh ini, Nina prediksinya tepat jadi bisa langsung dibawa ke rumah sakit,” kata Dokter Vanya saat Janu sudah berdiri tepat di hadapannya.
“Thank you, Dok. Kira-kira berapa lama lagi sampai pembukaannya lengkap?” tanya Janu.
“Harusnya kalau gak ada halangan 4-5 jam lagi udah bisa, semoga sore ini udah ketemu si baby ya,” jawab Dokter Vanya santai membuat Janu menjadi lebih percaya diri.
Setelah Doker Vanya berlalu, Janu tak lepas mendampingi Nina melawati masa kontaksinya. Keluarga besar sudah dihubungi dan sebentar lagi akan datang satu persatu. Nina masih bisa diajak berbincang dengan baik meskipun beberapa kali tiba-tiba meringis.
Ibu Nina yang pertama datang ditemani adik bungsu Nina—Ashila. Ibu Nina langsung memberikan semangat pada putri sulungnya, keduanya tampak berusaha tenang meskipun sulit untuk ditutupi hingga Ibu Nina tidak sanggup menahan tangis saat Nina meminta restu ibunya.
Sudah hampir 4 jam berlalu dengan kondisi Nina yang semakin merasakan nyeri di perutnya, kalau tadi ia masih bisa berdiri dan berjalan dengan baik bahkan menggunakan birthball dengan tenang, sekarang Nina sudah setengah meringkuk di atas ranjang dengan ringisan berkali-kali setelah merasakan ketubannya pecah sebelumnya. Janu tak meninggalkan tempatnya di sebelah Nina, ia megelus punggung Nina berkali-kali, perasaannya mulai tegang dan takut karena ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk meredakannya.
“Bentar lagi, sayang,” kalimat itu yang sudah diulang Janu berkali-kali.
“Nu, can i?” tanya Nina pelan di tengah ringisannya.
Janu mengusap-usap bagian belakang Nina. “Of course, you can love,” jawab Janu meyakinkan meskipun dirinya juga tak kalah khawatir.
Dokter Vanya datang lagi, kini dengan lebih banyak pendamping di belakangnya. “Kita siap-siap ya, Nu.”
Kondisi Nina sudah siap untuk melahirkan, Dokter Vanya yang akan memimpin persalinan. Janu memilih tetap di sebelah Nina ditemani juga oleh Ibu Nina. Situasinya amat serius dan menegangkan, tidak mudah melakukan suatu persalinan. Beberapa keluarga sudah hadir menunggu di depan, termasuk Jeremi—Papa Janu—dan Vanessa yang juga akan menyambut keponakannya.
“Harus percaya diri ya bu, tiduran aja gak apa-apa, Tarik nafasnya pelan-pelan dan disambung terus yaa,”
Janu tak henti-hentinya mengelus dan mengecup kepala Nina, ia merasakan tangannya juga bergetar di setiap tarikan nafas Nina. Apalagi saat Nina mengeluh kesulitan dan air matanya bercucuran sedikit demi sedikit. Tak ada yang menyadari Janu juga sudah beberapa kali menyeka air matanya sebelum benar-benar mendarat ke pipinya.
“Iya bisa sedikit lagi….,”
Nina mencengkram tangan Janu sekuat mungkin, ibunya juga menuntunnya di sisi yang lain. Seluruh kemampuannya ia berikan tak peduli sesakit apa yang ia rasakan, pipinya basah dan keringatnya bercucuran seiring dengan pergerakan di bawah sana persis seperti melewati rintangan yang begitu besar, hingga Nina akhirnya merasakan sesuatu sudah ditarik keluar dari tubuhnya.
Nina memejamkan matanya dengan nafas berderu, samar-samar ia mendengar isakan pelan Janu, sangat pelan sambil berkata, “thank you, mamina.”
Tepat setelah itu suara tangisan bayi terdengar lantang, Nina diam seperkian detik sebelum melepas tangisan bahagianya.
Bayi laki-laki itu lahir dengan sempurna dengan suara lantang yang tanpa ragu menyapa dunianya.
Setelah melalui proses pembersihan, bayi laki-laki mungil itu diletakkan di atas dada sang Ibu—Nina. Perasaan Nina campur aduk merasakan kulit sang Bayi, ia tidak bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini. Janu tak kalah terharu saat tangan besarnya yang bahkan lebih besar dari kepala bayi itu mulai menyentuh tangan kecil putranya, hatinya kembali tersentuh.
Saat itu juga, ia tidak punya alasan untuk tidak mencintai apa yang ia miliki saat ini.
“Welcome our precious love, Jarvey Arijade Jaziel.”