tujuh puluh dua – im looking at you

cw // drunk

Pukul dua puluh lewat empat puluh lima.

Dentingan bunyi pintu terdengar setelah Januar menekan fingerprint di pintu masuk unit appartement-nya. Lelaki itu baru saja melepas jas hitam dari bahu lebar miliknya menyisakan kemeja putih dengan dua kancing teratas yang terbuka serta lengan yang sudah terangkat seperempat. Badannya tidak bertenaga, energinya sudah habis terkuras. Empat hari meninggalkan ibu kota untuk urusan pekerjaan tanpa istirahat, di akhiri dengan delay cukup panjang akibat cuaca buruk hingga ia harus tiba lebih lama dari perkiraan seharusnya.

Januar masih di ambang pintu, dilihatnya lampu di ruang tengah tempat tinggalnya menyala terang. Pemuda itu menunduk melihat rak sepatu di sebelah kanan setelah pintu masuk, dilihatnya satu pasang wedges yang sudah tidak asing lagi di matanya. Satu tarikan napas ia hembuskan, pikirannya masih berkecamuk, tapi bukan karena emosi. Melainkan rindu yang masih tertahan akibat belum menemukan titik berbaikan.

Mata lelaki itu bergejolak saat melihat gadis yang sudah ia duga tengah duduk di pantry, bukan karena kaget karena kehadiraan perempuan itu, tetapi karena satu botol red wine yang jelas terlihat berkurang setengah botol, sementara Ninaya sudah tertunduk lesu sambil menggenggam gelas di tangan kirinya. Gadis itu mendongak setelah Januar sudah beranjak menarik gelas dari tangannya secara tiba-tiba.

“Nina, kamu ngapain? kamu kenapa berani minum sebanyak ini?” Janu mengangkat bahu Nina, perempuan itu sudah berdiri di hadapannya. Tatapannya sayu, senyuman yang terukir pun terasa dipaksakan. Dan yang paling menyayat hati Janu, mata itu sembab meninggalkan bekas air mata.

Nina menatap balik Januar, “im okay, aku cuman nyoba.” Jawabnya lirih.

Janu lagi-lagi menghela napasnya berat, genggaman tangannya di bahu Nina semakin kuat, “hey, liat aku.” Tekannya lagi semakin memperdalam tatapannya memperhatikan wajah Nina yang sudah membengkak.

“Kamu nggak sadar, Nina.” Januar berkata dengan suara tegasnya.

Nina menggeleng pelan, “aku nggak apa-apa, Janu. Tapi kamu kenapa nggak bilang kalau telat, aku nunggu kamu.” Jawabnya lagi-lagi dengan suara lirih yang semakin membuat Janu khawatir bukan main.

“Aku nggak tau kamu disini.” Ucap Janu, nada suaranya menurun.

Tatapan mata Nina semakin melemah, matanya kembali berkaca, “maafin aku ya, aku jahat. Aku jahat banget sama kamu. Aku nggak pernah ngehargain kamu. Aku ngga pernah bersyukur punya orang sebaik kamu.” Suara gadis itu bergetar, air matanya mulai berderai tapi pandangannya tidak beralih sedikit pun dari wajah Janu yang semakin memperlihatkan raut khawatirnya.

Januar memindahkan tangannya jadi mengatup kedua pipi Nina dengan kedua tangannya, “kamu mabuk, Nina.”

“Kamu boleh marah sekarang, marahin aku, Janu.” Nina semakin berair, suaranya ia tinggikan.

Januar masih mengatup wajah Nina membiarkan hangat pipi Nina yang sudah dibahasi air mata tersalur di kedua telapak tangannya. Sesekali ibu jarinya mengusap bawah mata gadis itu. Beberapa detik keduanya diam dalam posisi yang sama. Ia ingin segera memeluk perempuan itu, tapi sadar ia baru habis bepergian di tempat umum dan belum berganti kemeja sejak pagi tadi. Nina sangat sensitif dengan debu dan kotoran yang membuatnya mengurungkan niat untuk mendekap erat-erat perempuannya itu.

Nina memejamkan matanya sejenak, setelah itu langsung mengangkat kedua lengan dan melingkarkannya di tengkuk Januar yang membuat posisi keduanya kian mendekat. Januar reflek mundur, kaget melihat Nina yang tidak biasanya bernyali besar seperti ini, hanya sisa beberapa sentimeter hingga keduanya benar-benar semakin intim, tapi tenaga Janu di kedua bahu Nina menahan Gadis itu.

“Nin you’re drunk, jangan kayak gini sayang.” Januar berkata, ia menunduk mensejajarkan wajahnya dengan Nina yang tatapan matanya semakin lemah.

Ada jeda beberapa detik hingga tiba-tiba Nina mengatup bibir dan menutupnya dengan telapak tangan, perutnya terasa diguncang, kepalanya memberat, dan tenggorokannya bergejolak, Nina berlari ke westafle yang tidak jauh darinya dan langsung menyemburkan isi perutnya. Sementara Janu di belakang sudah bergerak, tangan kirinya menarik anak-anak rambut Nina yang menghalangi gadis itu serta tangan kanannya yang menekan tengkuk Nina membantunya mengeluarkan isi perut akibat mengonsumsi wine berlebihan, terlebih ini adalah pertama kalinya bagi Nina.