Delapan Puluh Enam – Im Looking at You

Di sini lah Januar sekarang, tiba di rumah sederhana namun tetap yang memiliki kondisi paling baik di antara rumah-rumah di sekitarnya, hasil kerja keras dari Ninaya yang sangat berbakti kepada sang Ibu. Lokasinya berada di pinggiran kota–yang terlalu sederhana di anggap perkotaan tetapi cukup modern juga untuk disebut pedesaan.

Januar sudah duduk di ruang tamu, Ninaya baru saja menghubunginya, lebih tepatnya menghubunginya lagi untuk kesekian kali. Ini memang kali pertama Janu bertemu Intan–ibu Nina–seorang diri. Tapi sebelumnya pun Janu sudah pernah bertemu, jadi kondisinya juga tidak terlalu memprihatinkan.

Wanita setengah baya yang menjadi objek yang ingin ditemui Janu hari ini pun keluar dengan membawa satu nampan berisi teh manis hangat. Raut wajah Intan datar, tidak menunjukkan ketertarikan tidak pula menunjukkan ketidaksukaan. Wanita itu sudah duduk tepat di depan Januar, sedangkan si lelaki sedang menghirup teh hangat yang baru disajikan untuknya.

“Tante, apa kabar?” Tanya Janu–yang sampai sekarang masi memanggil Ibu dari pacarnya itu dengan sebutan Tante, menandakan hubungan yang belum begitu dekat.

“Begini-begini aja, syukurnya masih sehat.” Jawab Intan, ”keluargamu gimana?” Lanjutnya bertanya.

“Sehat, Tan.” Janu menjawab, ”nanti kalau ke Jakarta lagi Janu ajak ketemu Papa ya Tan kalau enggak keberatan.”

Intan memasang wajah tak bergairah, ”haduh jangan lah nanti tante malu-maluin, kita beda kasta, Januar.”

Janu tersenyum tipis, sedikit terusik mendengar kata ‘kasta’ yang keluar dari mulut Intan.

“Kami enggak pernah berpikir begitu kok, Tan.”

Intan mengangguk pelan tapi jelas bukan karena setuju, “kamu punya segalanya Januar, mudah bagi kamu untuk dapat apa yang kamu mau, ”katanya lembut tapi terdengar sangat defensif, “dan itu yang saya takutkan, mudah bagi kamu meninggalkan anak saya yang bukan siapa-siapa.” lanjutnya sarkas.

Januar paham, ia sangat paham maksud Intan. Image sebagai putra bungsu konglomerat, calon pewaris yang memiliki relasi dimana-mana, dengan latar belakang keluarga yang royal. Tentu bukan hal sulit bagi Janu untuk menemukan Nina yang lain di antara anak-anak penguasaha yang mengenalnya.

Janu lagi-lagi menghela napasnya, “Tante, saya sama Nina udah lima tahun, mungkin betul kata tante saya bisa aja pilih satu perempuan di lingkungan saya yang bisa berpengaruh ke bisnis keluarga. Tapi saya enggak begitu, keluarga saya bukan orang seperti itu.” Januar menjawab dengan baik meski dibuat penu penekanan.

Intan diam, wanita itu menudukkan pandangannya. Bukan menyerah, ia jelas tidak semudah itu terlena.

“Dulu suami saya juga seperti kamu januar, tapi dia menghancurkan hidupnya, hidup saya, dan hidup anak-anaknya. Apa yang bisa buat kamu seyakin itu?” Tanyanya kini lebih mengintimidasi.

Seperti yang sudah sering Nina beritahu, ibunya punya traumatik tersendiri karena Ayah Nina yang sampai saat ini masih mendekam di penjara sebagai narapidana yang dikenakan pasal berlapis akibat narkoba dan KDRT. Bukan hal yang mudah menerima kenyataan untuk Intan, sebagai Ibu yang memiliki tiga anak perempuan yang sudah kehilangan figure Ayah sebagai laki-laki pertama yang harusnya mereka cintai.

Januar diam sejenak, dilihatnya Intan sudah berkaca-kaca, tapi setidaknya Janu tau, Intan bukan tidak menyukainya, Intan hanya takut Nina berakhir seperti dirinya.

“Saya menghargai Nina seperti saya menghargai mama saya, karena itu saya nggak akan jadi laki-laki kedua yang ngehancurin Nina setelah ayahnya, Tante.”