Tujuh Puluh Lima – Im Looking at You
cw // slightly mature, kiss scene
Cahaya pagi dari sinar matahari menembus memasuki balkon lebar dan jendela kaca dari unit appartement miliki Januar, unit ini adalah unit terelit di bawah penthouse yang memiliki luas hampir sama dengan rumah mewah pada umumnya. Nina menuruni anak tangga dari kamar Januar menuju lantai bawah ruang tengah dan dapur. Tidak ada orang karena Januar memang tinggal sendirian, tidak ada juga pelayan yang tinggal menetap. Hanya ada Ninu–si kucing abu-abu–yang tengah meringkuk di sofa yang memiliki warna senada dengan bulunya.
Nina melangkah ke arah dapur, di lihatnya meja makan yang kosong dan paintry yang hanya bersisa roti, selai, dan buah-buahan. Gadis itu mendekati westafle tempat cuci piring, terlihat beberapa sisa piring dan mangkuk yang masih kotor, kebiasaan dari Januar yang amat sangat malas membersihkan bekas dan sisa makanannya. Nina tersenyum, makanan yang ia siapkan semalam untuk Janu ternyata sudah habis dimakan, padahal ia membuat untuk dua porsi tapi sepertinya Januar melahapnya hingga habis.
Setelah selesai mencuci piring-piring kotor, Nina berjalan menuju ruang tengah menghampiri Ninu yang masih setia meringkuk di sofa. Kucing berusia 6 bulan yang tampak gemuk, kucing yang sebenarnya adalah keinginan Nina tapi harus diasuh oleh Janu karena Nina tinggal bersama Kania–adiknya–yang alergi bulu kucing. Nina sempat meragukan karena Januar yang sibuk pasti tidak mampu mengurus Ninu, tetapi ternyata Ninu tumbuh dengan sehat, meski kurang perhatian tapi asupan makanannya teratur dan jadwal periksa ke dokter hewan juga disiapkan dengan baik oleh Janu.
“Kamu udah makan, belum?” Nina mengangkat kucing itu gemas, si kucing yang sudah mengenal majikannya juga tidak memberontak.
Beberapa waktu ia lalui bermain bersama kucing kesayangannya itu, hingga akhirnya suara dentingan dari pintu masuk appartement mengalihkan pandangan Nina. Januar datang membawa beberapa bungkus plastik di tangan kirinya. Laki-laki itu hanya memakai celana training dan hoodie hitam kebanggaannya.
“Aku siapin dulu buburnya, ya.” Kata Janu saat menyadari Nina sedang duduk di sofa sambil menyuapi Ninu di pangkuannya dengan snack.
Nina tidak mengalihkan pandangannya melihat Januar sudah meletakkan makanan di pantry, “ngobrol dulu, yuk.” Nina memanggil.
Janu yang terpanggil menoleh, melihat Nina dari pantry tempatnya saat ini, “emang belum lapar?” tanyanya.
“Abis makan roti tadi ngeganjel bentar.”
Januar pun mengalah, meninggalkan bungkusan bubur yang belum selesai ia pindahkan. Memilih menghampiri Nina yang masih setia duduk bersila di atas sofa.
Janu mengulurkan tangannya menyentuh kepala Nina, “Udah nggak pusing?” Tanya Janu sesaat setelah mendudukkan tubuhnya di sofa tepat di sebelah Nina, atau mungkin tepatnya di hadapan perempuan itu karena keduanya saling berhadapan saat ini.
Nina terkekeh pelan, “aku cuman habis mabuk, bukan demam.” Katanya tersenyum.
Sementara Janu ikut tertawa menanggapi, keduanya diam bersamaan, hanya saling memandang seperti berkomunikasi lewat dua bola mata masing-masing. Banyak yang ingin disampaikan tapi sepertinya tanpa perlu dilisankan, keduanya sudah sama-sama paham. Lima tahun menghabiskan waktu sebagai pasangan bukan waktu yang sebentar.
“Maaf.” Satu kata yang tidak pernah lepas dari perbincangan mereka, Nina mengatupkan bibir setelah mengatakannya.
Janu menarik tangan Nina, menaruhnya di antara kedua tangannya, “aku juga.” Kata Januar.
Nina mendongak kembali mantap Janu, “Kania bisa gabung di project kamu.”
Janu membulatkan matanya, “kamu izinin?” Nina mengangguk.
“Tapi harus izin ibu dulu, aku rencana mau pulang nanti, mau antar Kania juga sekalian jelasin ke Ibu langsung.” “Aku boleh ikut?” “Kalau kamu nggak sibuk.” “Oke, kita liat nanti.”
Keduanya kembali diam, tangan Nina masih hangat di genggaman Janu, Masih sibuk dengan pikiran masing-masing. Mereka sampai lupa kalau ini adalah waktu senggang pertama mereka setelah beberapa minggu terakhir sibuk mengurus segala pekerjaan, kalaupun bertemu hanya dalam hitungan jam dan terkesan buru-buru. Tapi sekarang mereka bahkan punya waktu untuk sekadar pandang-pandangan seperti ini.
“Kamu jangan nyoba-nyoba minum lagi, bahaya nin, apalagi sampai setengah botol. Kamu biasanya dua teguk aja udah nggak sanggup.” Kata Janu membuka suara di antara mereka.
Nina mengangguk pelan, “iya nggak akan lagi kok, kepala aku pening semalaman.” Kata Nina, “oiya aku ngelakuin aneh-aneh ya semalam?” lanjutnya bertanya.
Januar tersenyum memahami maksud ‘aneh-aneh’ dari mulut Nina, “you almost kissed me, kamu nggak ingat? Terus abis itu kamu muntah.” Lanjutnya lagi diiringi dengan tawa lepas membuat Nina dihadapannya menyembunyikan wajahnya malu.
“Jadi kamu nggak cium balik karena takut dimuntahin?” Tanya Nina, sebenarnya bukan maksud bertanya ia hanya tidak mau kalah karena dicibir sebelumnya.
“Engga lah, yakali aku cium kamu lagi mabuk gitu.”
Nina mengangguk pelan memahami, lima tahun berhubungan bohong kalau mereka tidak pernah melakukan hal semacam itu terlebih di usia pertengahan dua puluh saat ini. Tapi keduanya menciptakan batasan bersama, salah satunya menerapkan concent satu sama lain. Ditambah, Nina bukan tipe physical touch dan Janu sangat memahami itu.
“Sekarang udah sadar seratus persen.” Nina mengatupkan bibir sedikit menyesal mengucapkannya saat Janu malah mengerutkan dahinya seperti tidak paham.
Januar tersenyum tipis, “emang kenapa kalau udah sadar?” tanyanya malah balik menggoda.
“Ya, nggak apa-apa.”
Janu tertawa lagi melihat Nina yang sudah mengubah posisi duduknya, jadi bersandar ke dinding sofa, menurunkan kakinya yang sejak tadi ia lipat.
“Ninu sini dong aku mau peluk.” Nina sudah mengambil ancang-ancang untuk berdiri berniat mengejar Ninu yang tengah berlari lari mengitari ruang tengah.
Tapi satu tarikan dari pergelangan tangan kanannya menghentikan pergerakan Nina. Perempuan itu reflek menoleh dan langsung berhadapan dengan Wajah Janu yang seperti sudah mengambil ancang-ancang. Nina membulatkan matanya, kaget langsung dihadapkan dengan Wajah indah Januar dengan hidung mancung dan rahang tegasnya yang tidak pernah gagal memikat pandangan Nina.
“Can we do it?” Bisik laki-laki itu tidak mengubah posisi, tepat di hadapan wajah Nina, aroma tubuh maskulin yang terasa segar namun tetap berciri khas sudah memasuki indera penciuman Nina.
Nina menarik napas, sialnya meski bukan pertama kali, ia tetap gugup luar biasa. Dan seperti biasa, Nina hanya akan berdehem beriringan dengan menyatunya bibir mereka dengan mata yang perlahan tertutup dan perasaan yang tersalurkan lewat tautan bibir itu.
Januar selalu mengikuti irama Nina, pelan dan tidak tergesa-gesa. Tangan kiri Janu sudah berpindah di pipi Nina, sementara tangan Kanannya menyentuh bagian tengkuk milik Nina. Perlahan-lahan menahan irama tubuh dan membuat kecupan itu semakin dalam. Tangan nina berperan pasif, ia hanya menggenggam erat sisi kanan dan kiri pakaian yang digunakan Janu.
Keduanya terlepas sejenak, mata Janu menatap milik Nina yang tampak sayu seperti baru dibangunkan paksa dari tidurnya. Janu meneguk salivanya bersamaan dengan Nina yang di luar ekspektasinya sudah melingkarkan kedua tangan di leher Janu, dan laki-laki itu kembali melanjutkannya. Menciumnya dengan hangat, merasakan bibir ranum beraroma strawberry milik Nina yang didapat dari sapuan lipbalm-nya pagi tadi. Begitu juga dengan Nina yang selalu menerima decapan milik Janu yang sampai detik ini tidak pernah menuntut.
Ini memang bukan pertama kali, tapi bukan pula yang berkali-kali. Membuatnya selalu terasa asing dan rindu dalam satu waktu.
Keduanya masih sama-sama hanyut, hingga suara gerutukan dari perut salah satunya mengalihkan fokus mereka. Nina melepasnya lebih dulu, langsung menyentuh perutnya karena menyadari ialah yang menjadi sumber bunyi. Janu mengerjap, keduanya saling menatap bergantian dengan menatap perut sang gadis. Hingga detik berikutnya, mereka sama-sama terkekeh menertawai situasi awkward yang menyerang tiba-tiba.