Seratus Dua Puluh Sembilan – Im Looking at You
Nina menunduk sopan sambil memperlihatkan senyuman ramahnya kepada karyawan yang menyambutnya dengan tunduk yang tidak kalah hormat tepat di pintu masuk lobby perusahaan entertainment yang adalah anak perusahaan dari JJ Group dan tidak lain juga adalah perusahaan yang dipegang kendalinya oleh Januar, sang pacar.
Cuaca sore itu cerah berawan, tidak panas dan tidak mendung. Suasana hati perempuan itu masuk di golongan bahagia, mungkin karena tidur nyenyak yang ia dapatkan semalam setelah menghambiskan 10 hari dengan bekerja rodi di luar kota.
Nina melangkah menuju lift sebelum akhirnya mempertimbangkan untuk melewati pintu lift yang baru terbuka karena ketertarikannya setelah melihat beberapa karyawan yang lewat di sekitarnya dengan satu cup kopi di tangan mereka masing-masing, hingga akhirnya Nina memilih melangkah menuju coffee place– yang kualitasnya tidak kalah dengan coffee shop millenials di luar sana– yang termasuk fasilitas yang ada di perusahaan itu.
Ice vanilla latte menjadi pilihan Nina sore itu, setelah mengambil gelas kopi miliknya, gadis itu memilih duduk sebentar menikmati suasana dan aroma coffee shop yang cukup ramai dengan beberapa sebayanya yang menggunakan name tag kebanggaan di leher masing-masing. Sebenarnya ada sedikit rasa iri di dalam diri gadis itu saat menyadari perusahaan tempatnya bekerja tidak ada apa-apanya dengan fasilitas yang didapatkan dari perusahaan ini. Walaupun, ia sebenarnya bisa saja bekerja di tempat ini menggunakan privilege mengingat entah sudah berapa kali Janu menawarkannya bekerja di perusahaan itu.
Hening beberapa saat, hingga akhirnya bisikan dari rombongan tiga orang wanita yang baru saja datang dan duduk di meja tepat di belakang Nina mengusik telinga gadis itu.
“Gue liat sih kemaren Pak Janu ketemu bapak-bapak itu di coffee shop depan kayaknya emang orang yang sama deh sama yang kita liat di lobby pagi kemaren.”
“Sus banget sih emang, kata temen gue yang jaga lobby di gedung JJcorp kemaren juga pada gosipin bapak itu karena aneh banget datang datang langsung minta ketemu Pak Janu kan gila aja ada kali dia nunggu setengah jam di sana, kita-kita yang jelas di kantor yang sama aja kalau mau ketemu Pak Janu prosedurnya ribet amat.”
Telinga Nina semakin fokus mencermati maksud bapak-bapak yang diomongi oleh tiga wanita itu, Nina tau menguping pembicaraan orang lain dengan sengaja bukan tindak terpuji, tetapi kali ini entah kenapa pembicaraan yang ia dengar seakan sengaja masuk dengan jelas di telinganya.
“Ini gue gak tau bener apa engga, gue cuman denger dari anak lantai 20 kalau itu tuh gosipnya sih bapaknya pacar pak Janu, lo tau kan pacarnya pak janu kan emang bukan dari keluarga elite.” Suara dari salah satunya terdengar lebih pelan tetapi masuk dapat masuk di indera pendengaran Nina, semakin jelas saat perempuan itu memperjelas identitas yang menyebutkan “Pacar Pak Janu” yang tidak lain adalah Nina sendiri yang tengah mendengarkan langsung perbincangan itu. Serta sebutan lantai dua puluh yang menjadi ruang VVIP gedung ini karena ruangan Januar dan petinggi lainnya ada di sana.
“Bisa jadi sih, tapi gak expect aja kalau itu beneran, gue ngiranya keluarga biasa yang biasa-biasa aja bukan yang kayak gitu ngerti gak sih maksud gue dari yang gue liat kemaren tampilan bapaknya agak berantakan bahkan gue liatnya agak urakan, kayaknya latar belakangnya emang sesusah itu.”
Jantung Nina semakin berdegup kencang, bibirnya bahkan sudah bergetar. Ia adalah orang yang sangat sering berperasangka dari kemungkinan yang terburuk, tetapi kali ini benar-benar di luar ekspektasinya. Bayangan-bayangan buruk sudah menghantui sehingga suasana hati yang baru beberapa menit lalu rasanya sangat damai berubah dalam waktu kurang dari satu menit hanya karena perbincangan dari orang yang tidak ia kenal, namun sangat ia rasakan topik dari pembicaraan itu.