Seratus Tujuh Puluh – Im Looking at You
Disclaimer: scene ini adalah flashback tentang apa yang terjadi di pertemuan pertama Janu dengan Pak Fauji.
Januar Jaziel adalah orang yang tidak suka mengulur waktu, ia biasa hidup dalam kedisiplinan karena dituntut oleh lingkungannya sejak kecil, Ia tidak suka hidup dengan beban dan bayang-bayangnya. Termasuk urusan Nina-‘nya’ dan perasaannya. Sejak mendapat ‘lampu hijau’ dengan kata lain adalah izin dari Intan–Ibu kandung Nina– yang akhirnya luluh setelah bertahun-tahun tidak menunjukkan ketertarikan padanya, visi-misi Januar selanjutnya adalah bertemu dengan Pak Fauji–Ayah dari Nina yang sudah 8 tahun hidup di penjara.
Dan di sinilah ia sekarang, duduk berhadapan dengan laki-laki paruh baya berumur sekita lima puluhan, laki-laki dengan tubuh kurus rambut hitam lebat dengan rambut putih di sisi-sisinya yang diikat menggunakan karet. Lengannya penuh dengan tattoo, tetap terlihat meski sudah ditutupi kemeja kotak-kotak berwarna abu-abu. Siapapun yang melihat laki-laki itu, jelas akan menganggap dia adalah penjahat senior yang biasa nongkrong di pinggiran kota sambil mabuk-mabukan dan menghamburkan uang dengan bermain judi.
Seorang pelayan mengantarkan dua gelas kopi hitam panas, membuat perhatian Janu sedikit teralihkan.
“Diminum, Pak.” Kata Januar setelah sang pelayan pergi.
Pak Jauzi mengangguk, dihirupnya kopi panas itu dengan santai bak tidak kepanasan sedikitpun sementara Janu harus meniupnya terlebih dahulu yang nihilnya tidak mengurangi sedikitpun suhu panas dari kopinya.
“Kamu dan Nina sudah berapa lama?” Tanya Pak Fauji di tengah Janu meniup-niup bibirnya sendiri setelah menghirup kopi panas sialan itu.
Janu berdehem singkat, “enam tahun, Pak.”
Pak Fauji mengangguk menanggapi, dihirupnya sekali lagi kopi hitam itu hingga menyisakan setengah.
“Maaf karena saya membuat keributan di kantor ayahmu,” lelaki itu mendongah ditatapnya Januar dengan rasa bersalah, “saya datang karena saya dengar kamu berusaha mencari saya.”
Januar mengangguk mengiyakan. Entah kenapa tidak berani bersuara.
“Kamu seharusnya tidak mencari saya, Januar. Kalau tujuan kamu untuk meminta simpati, tidak ada gunanya. Saya hanya ayah yang buruk, sangat tidak tahu diri kalau saya menuntut pasangan anak saya untuk menghormati laki-laki yang bahkan gagal menjadi suami dan ayah seperti saya ini.”
Janu sedikit tertegun, ia menatap lekat mata sayu pak Fauji yang semula menakutkan tadi. Januar sebenarnya sudah menyiapkan mental jika saja tiba-tiba Pak Fauji menodongnya dengan permintaan “silakan nikahi anak saya tapi kamu harus memberi saya seratus juta” sebagai bentuk pemerasan. Katakanlah ini gila tapi semenjak bertemu tadi, Januar sudah dibuat takut duluan dengan perawakan Pak Fauji.
“Kata orang, perbuatan jahat seorang ayah akan mendatangkan karma ke anak perempuannya, dulu saya tidak peduli, tapi delapan tahun hidup tidak berguna di penjara membuat saya takut. Ketiga anak saya adalah seorang perempuan dan saat saya membayangkan anak saya harus menelan karma dengan menikahi laki-laki seperti saya nanti, saya menangis. Saya benci dengan perkataan karma itu, saya yang berbuat jahat dan kenapa anak saya yang harus menanggungnya? Karena itu saya sangat takut muncul di hadapan anak saya lagi sekalipun saya sangat menginginkannya.”
Januar terdiam, lagi-lagi ditampar dengan ekspektasi buruknya tadi. Kata-kata don’t judge people by the cover seketika memenuhi pikirannya, januar tak menyangka, perawakan tegas dan menakutkan itu ternyata hanya tanda bukti kesalahan masa lalu yang pernah dibuat. Manusia memang makhluk paling menakutkan apabila berbuat di luar perikemanusiaan, tapi manusia juga adalah makhluk paling hebat dalam menyesali perbuatan.
Satu dentingan notifikasi pesan dari ponsel Januar mengalihkan perhatian keduanya, Janu menggigit gigir bawahnya gusar karena mendapat panggilan dari kantor sebab tadi ia meninggalkannya tiba-tiba.
“Saya tau kamu sibuk, kamu bisa kembali kerja. Saya sudah lega, melihat kamu tidak malu bertemu dengan orang seperti saya saja sudah membuktikan kamu tumbuh dari keluarga yang baik. Tidak perlu ada yang saya khawatirkan lagi.” Kata Pak Fauji yang juga menyadari panggilan genting dari ponsel Janu.
“Bapak sekarang kerja di mana?” Tanya Janu, ia merasa pertemuan ini tidak bisa jadi yang pertama dan satu-satunya.
“Di bengkel belakang terminal baru,” “Bapak tinggal di mana? ngontrak?” “Di bengkel juga.” “Hah?” Janu mengerjap.
Pak Fauji tersenyum simpul, “saya kerja sekaligus numpang tinggal di bengkel itu, saya baru satu bulan bebas, belum cukup uang untuk cari kontrakan.” Lanjutnya.
“Saya bantu cariin kontrakan ya, Pak?” Tanya Janu. Pak Fauji menggeleng cepat, “saya tidak akan minta sepeser pun dari kamu, saya akan malu dengan Nina.”
Seperti de javu, ini kali kesekian Janu ditolak materinya oleh segala hal yang bersangkutan dengan Nina, tidak perlu lagi ia mencari validasi dari mana sikap mandiri dan tidak ingin dikasihani yang diwarisi Nina saat ini.
“Anggap aja saya bantu atas dasar kemanusiaan, Pak. Bukan karena Bapak itu orang tua Nina yang harus saya perlakukan dengan baik.” Tutup Janu.