tiga puluh tiga – im looking at you

Catokan terakhir di rambut sebelah kanan Nina mengakhiri persiapan buru-burunya malam itu, bersamaan dengan terparkir rapinya mobil di halaman parkir hotel bintang empat yang menjadi tempat digelarnya grand opening VNS Jewellery, yang entah kenapa dilaksanakan bak pesta pernikahan di ballroom hotel yang tidak lain adalah milik keluarga Jeremi Jaziel, ayah dari Vanessa dan Januar.

Jaz Hotel.

Nina memperhatikan penampakan wajahnya untuk yang terakhir sebelum benar-benar keluar dari mobil. Tidak lupa menarik napasnya dalam-dalam untuk menenangkan degup jantungnya yang tidak karuan efek dari terburu-buru dan jujur tidak siap bertemu dengan sekumpulan tamu-tamu undangan high class di dalam sana.

Acha–sekertaris Janu yang juga entah kenapa merangkap menjadi sekertaris Nina–sudah keluar dari mobil terlebih dahulu. Wanita yang dua tahun lebih tua dari Nina dengan karakter sedikit maskulin dengan rambut pendek sebahu yang diikat dan tampilan sederhana dengan celana kain dan kemeja dengan tangan digulung seperempat itu sudah berdiri siap di depan pintu mobil dan membukakan pintu itu untuk Nina.

Acha memperlihatkan bukti undangan atas nama Nina kepada salah satu bodyguard yang sudah menunggu di depan lobby dan Acha segara melakukan scan bukti hadir, detik selanjutnya keempat laki-laki berjas itu tunduk dengan hormat dan mempersilahkan Nina dan Acha untuk memasuki area ballroom.

Sudah lewat satu jam setelah acaranya dimulai, jelas puluhan undangan dengan berbagai bentuk suit dan dress mewah sedang menikmati berbagai hidangan yang tersebar di sepanjang sudut ballroom. Dari kejauhan, Nina dapat melihat deretan koleksi perhiasan yang menarik pandangan ditutupi dengan bingkai kaca menambah aksen elegan dari benda-benda itu, tidak lupa jejeran wanita-wanita berperawakan glamour sedang berbincang-bincang yang sepertinya sudah siap untuk menghabiskan puluhan juta untuk segala jenis berlian itu.

“Di sana, Bu.” Bisik Acha, mempersilahkan Nina mendatangi Vanessa yang tengah berbincang dengan beberapa rekan sesame sosialitanya dengan satu gelas cocktail di tangan kiri sebagai ciri khas.

Nina mengambil alih bucket bunga lily yang sebelumnya ia titipkan kepada Acha, gadis itu melangkah dengan mencoba percaya diri mendekati Vanessa yang belum menyadari kedatangannya. Beberapa detik setelah itu, perempuan anggun dengan dress putih tulang itu bertemu mata dengan Nina yang sudah tersenyum seramah mungkin.

Vanessa Jaziella Hartanto –putri sulung dari Jeremi Jaziel pemimpin JJ company yang bergerak di bidang properti, elektronik, dan multimedia. Serta Istri dari Reksadi Hartanto, pemimpin salah satu jaringan televisi terlaris di tanah air. Tidak lupa, wanita itu sudah dikenal sebagai Model sekaligus fashion designer yang memiliki sebagian butik fashion ternama di ibu kota.

“Yaampun, Nina. Akhirnya dateng juga.” Vanessa merengkuh tubuh Nina, tidak lupa memberikan dua salam cipika-cipiki di pipi kanan dan kiri Nina.

Nina tidak berhenti tersenyum kikuk, berhadapan langsung dengan Vanessa yang tampilannya bak permaisuri, membuat kepercayaan dirinya sedikit goyah. Riasan tipis dan rambut Nina yang terurai sangat tidak sebanding dengan riasan elegan dengan bulu mata lentik dan pipi merona milik kakak dari pacarnya itu.

“Macet ya tadi atau ada kerjaan?” Perempuan di depannya akhirnya bertanya.

“Iya kak maaf banget, aku baru selesai kerja jam 7 tadi,” jawab Nina.

“Ah iya gak apa-apa, makasih loh Nin masih tetap usahain datang,” Vanessa berkata, “ ini dibawain bunga cantik segela lagi.” Lanjutnya sambil mengambil bucket bunga yang diberikan oleh Nina.

Di depan keduanya, ada dua wanita paruh baya yang tidak kalah modis dengan tampilan Vanessa yang tampak anggun dengan balutan dress mewah dan riasan tebal–yang menutupi garis wajah–di tambah berlian yang menghiasi bagian-bagian yang seharusnya.

“Oh iya Ini pacarnya Januar, Tan. Namanya Nina,” kata Vanessa memperkenalkan, “nah Nin yang ini namanya Tante Mia adiknya Papa yang tinggal di Australia,” Vanessa menunjuk wanita dengan dress merah di sebelahnya, ”Kalau yang ini Tante Risa sepupunya Papa dari Bali.” Lanjut perempuan itu menunjuk wanita berambut pendek di depan Nina.

Nina tersenyum simpul, menyalami keduanya dengan sedikit membungkuk tanda menghormati.

“Oh yang ini pacarnya Janu, kerja apa Nina?” Dari sekian banyaknya pertanyaan, entah kenapa pertanyaan soal pekerjaan menjadi topik paling sering ditanyakan saat pertemuan seperti ini.

Nina masih mempertahankan senyumnya, “staff HRD, Tan.”

Mia mengangguk pelan sambil tersenyum tipis, sedikit terlihat kurang antusias mendengar jawaban dari gadis itu, “kerja di perusahaannya Januar?”

“Enggak, Tan. Beda bidang, aku kerja di perusahaan kesehatan.” Nina menjawab.

Risa yang dari tadi menyimak, membuka suara, “Ayah kamu pengusaha juga?”

Dan pertanyaan yang paling dihindari Nina kembali keluar, pertanyaan yang belum Nina ketahui bagaimana cara menjawab dengan halus dan tidak menimbulkan perspektif negatif meskipun pada hakikatnya memanglah hal yang negatif. Nina tidak menyembunyikannya, Janu sudah tau lebih dulu, begitupun Jeremi –ayah Janu–dan Vanessa sudah mengetahui bertahun-tahun yang lalu, meski tidak langsung mereka–Jeremi dan Vanessa–dapat menerima, tetapi sikap open minded dan dengan berbagai pertimbangan, mereka pun tidak mempermasalahkan. Toh, tidak ada yang salah dengan Nina, tidak ada yang salah menjadi anak narapidana.

Biasanya, di saat-saat seperti ini Januar akan langsung mengalihkan pembicaraan tetapi kali ini Nina harus berdiri sendirian.

“Bukan, Tan.” Jawab Nina, suaranya tidak semeyakinkan sebelumnya.

“Aduh tan, udah ah nanyanya. Nin ayo sini kakak kasih liat kalung yang kemaren Kakak janjiin.”

Nina sangat-sangat bersyukur, Vanessa mengerti situasi, dialihkannya pandangan Nina ke satu kotak perhiasan yang sudah dibawakan oleh pegawai yang entah kapan sudah hadir di tengah-tengah mereka. Suasana dingin akibat pertanyaan yang mengintimidasi berubah perlahan mencair saat pandangan beberapa tamu di sekitar fokus kepada perhiasaan yang menjadi primadona malam itu.

Special edition necklace dengan design berlian di tengah-tengahnya, menjadi satu unit terakhir–karena sebagian sudah diburu oleh pecinta perhiasan di awal acara–yang sengaja disimpankan Vanessa untuk Nina.

Nina tidak berkutik, dipandangnya kalung yang bersinar dibalutan leher patung itu, tampak cantik meski belum dikeluarkan dari kotak berbahan kaca. Vanessa sang pemilik perhiasaan, dengan lugas membuka kotak yang menghalangi, dan mengambil benda yang sudah menjadi pusat perhatian itu.

Vanessa tersenyum mengangkat kalung cantik itu, “stok terakhir untuk Nina, perempuan yang sangat dihargai oleh adik laki-laki saya satu-satunya.”

Gemuruh tepuk tangan menghiasi yang juga entah sejak kapan Nina sudah menjadi pusat perhatian sekitarnya, bersamaan dengan Vanessa yang mengangkat kalung itu dan membantu Nina melekatkan di leher jenjangnya. Dengan satu kali percobaan, kalung itu melekat indah di leher milik Nina yang juga berpadu indah dengan leher terbuka dari dress hitam yang dikenakannya.

She looks really shine.

Kepercayaan dirinya meningkat, meskipun jauh di dalam sana masih tidak menyangka, ia mendaptkan beribu kasih sayang dari keluarga laki-laki yang juga menyayanginya dengan luar biasa.

Nina mengangkat pandangannya percaya diri, ditatapnya dengan ramah sebagian tamu undangan yang memberikan tepuk tangan. Sampai saat pandangannya menemukan manusia yang sudah memenuhi isi pikirannya, seperti diwujudkan, Januar Jaziel ada di sana–datang terburu-buru dan menyelip di antara tamu-tamu. Laki-laki itu menghentikan langkahnya, saat maniknya berhasil menangkap gadis yang ia khawatirkan keberadaannya sejak tadi, sepasang mata itu tersenyum memandang sang gadis yang sama sumringahnya, Januar tersenyum bersyukur memiliki keluarga yang sangat menghargai pilihannya, walaupun ia tidak tahu akan sampai kapan, ia tidak akan hentinya berharap agar segalanya berjalan dengan sebagaimana mestinya.