Seratus Lima Puluh Delapan – Im Looking at You

Neoband. Tiga tahun lalu memutuskan untuk hiatus berkepanjangan dan belum pernah kembali lagi.

Tidak ada alasan khusus, keempat pemuda itu memilih fokus dengan tugas akhir kuliah pada saat itu serta ingin mengejar impian personal mereka masing-masing. Reon yang paling dewasa berakhir menjadi manajemen perbankan di salah satu perusahaan keuangan di ibu kota, Naufal si bungsu–yang justru menikah lebih dulu di antara ketiganya–saat ini bekerja sebagai content creative di stasiun televisi, sedangkan Januar putra bungsu konglomerat dengan harta kekayaan terbanyak ke-65 di Indonesia versi forbes memilih membangun perusahaan Entertainment diikuti oleh Ezra yang menjabat sebagai creative director di perusahaan tersebut.

Malam ini pertemuan pertama mereka secara fullteam setelah terakhir berkumpul di pernikahan Reon beberapa bulan yang lalu. Satu jam menghabiskan waktu di studio music pribadi milik Januar, sebelum memutuskan meminum bir di ruang tengah, alhasil Reon dan Ezra sudah tumbang lebih dulu.

Tersisa Januar yang memang paling memiliki toleransi terhadap alkohol yang cukup tinggi, beserta Naufal yang justru sama sekali tidak minum satu teguk pun karena membenci segala jenis alkohol. “Lo nginap juga?” Tanya Januar yang tengah menyandarkan kepalanya di dinding sofa, masih cukup sadar.

Naufal yang duduk di seberang mengangguk. “Udah jam 12 nanggung, Lyra juga udah ngerti.” Jawab Naufal menyebutkan nama istrinya.

Januar kembali diam, kali ini mulai memejamkan matanya.

“Lo sama Nina berantem kenapa?” Tanya Naufal, kini juga bersandar di dinding sofa sambil memejamkan matanya.

Januar menghela napas, menjelaskan secara singkat penyebab dari merenggangnya komunikasi dengan Nina–tentang pertemuan diam-diamnya dengan Pak Fauji yang tidak disetujui Nina.

“Terus gimana?” “Gue minta break.” “Lo yang minta?”

Naufal membulatkan mata, terlonjak mendengar pernyataan Januar yang kembali memilih diam.

“Rencananya sampai kapan?” Tanya Naufal lagi. “Belum tau.” “Lo siap kalau harus putus?” “Gila. Ya enggak, lah.”

Kali ini Januar yang terlonjak, mata yang tadinya ia pejamkan, membulat dan menatap kesal sumber suara.

Naufal terkekeh pelan. “Ya jangan kelamaan, Nu. Perempuan itu mikirnya pakai hati, tingkat overthinkingnya juga lebih tinggi. Kalau kelamaan gak ada pergerakan dia bakal anggap lo beneran udah nyerah.”

Januar mulai serius mendengarkan Naufal.

“Gue gak pernah nyerah, gue cuman capek. Gue selalu berusaha ngelakuin yang terbaik, tapi bagi Nina enggak selalu begitu.” Janu menjawab.

“Nu, mau sampai kapanpun juga nggak akan ada pasangan yang seratus persen sependapat dalam hubungan. Itulah kenapa pentingnya terbuka tentang pendapat satu sama lain,” kata Naufal menjelaskan, ia jelas masih sadar seratus persen hingga masih mampu berpikir jernih. “Dulu waktu awal pernikahan gue sama Lyra gue bingung harus ngapain untuk bangun rumah tangga gue, gue inisiatif buat meringankan kerjaan dia, dengan berusaha mandiri, gue bangun lebih pagi, tiap abis makan piring gue cuci sendiri, gue nggak pernah minta buatin kopi, karena gue takut Lyra yang masih terlalu muda jadi kesusahan harus kerjain kerjaan rumah tangga. Tapi bagi dia, dia ngira gue gak ngehargain dia. Dia ngira gue gak suka sama pernikahan kita, ternyata dia juga mau hidup selayaknya ibu rumah tangga.”

Naufal menikah dua tahun lalu dengan gadis usia dua puluh tahun karena perjodohan–sangat klise, karena permintaan orang tua.

Januar memalingkan pandangannya, berusaha mencerna maksud penjelasan Naufal. Tentang pentingnya pendapat dalam hubungan, seperkian detik berusaha memahami hingga Januar mengangguk tanpa sadar. Hal sekecil apapun memang butuh pendapat, karena hal baik juga sifatnya relatif, isi kepala setiap orang berbeda-beda sehingga pandangan atas suatu hal juga tidak akan sama. Seperti Naufal dan Lyra yang berjuang di hubungan perjodohan hingga akhirnya hidup harmonis dengan anak perempuan berusia satu tahun, Januar–bersama Nina–juga masih harus melanjutkan perjuangan hubungannya.