Jaziel's
Cuaca sejuk pagi itu seakan merestui agenda keluarga ini, hampir dua jam perjalanan dilalui tanpa hambatan, Nina yang duduk di belakang awalnya mengira perjalanan akan terasa canggung, ternyata tidak seperti keluarga-keluarga royal pada umumnya, keluarga Januar sangat ramah dan hangat.
Agenda hari ini melibatkan dua mobil, satu mobil Pajero yang digunakan untuk membawa perlengkapan yang dikemudi oleh sopir pribadi keluarga ini, dan satu lagi mobil Alphard yang saat ini Nina dan keluarga Januar gunakan.
Reksa atau suami Vanessa sekaligus papi dari Kenzo bertugas mengendarai mobil hari ini, di sebelahnya ada Jeremi atau Papa dari Kak Vanessa dan Janu yang duduk dengan santai namun tetap terlihat berwibawa. Di bagian tengah diisi oleh Vanessa dan Kenzo, sedangkan Januar memilih untuk duduk di belakang menemani Nina. Bagi Nina sendiri, duduk di belakang pun bukan masalah di mobil sekelas Alphard ini.
Nina mengikuti Januar yang keluar lebih dulu dari mobil, Villa bernuansa modern dengan bahan kayu jati tampak sangat indah berdiri megah di depan mereka saat ini, di sampingnya tidak lupa ada pekarangan besar dengan pepohonan rindang yang mengelilingi, tak hanya itu, villa ini berhadapan langsung dengan pegunungan hijau yang tampak indah dipandang dari jauh.
“Nina, udah sering ke Bogor?” Nina mengangkat kepalanya mendengar suara paruh baya itu menyebut namanya dengan ramah.
Gadis itu melirik ke sebelahnya sekilas, Januar yang sadar hanya tersenyum membiarkan Nina menjawab, “Udah beberapa kali, Om. Biasanya karena ada agenda kampus,” jawab Nina sebaik mungkin, Jeremi mengangguk pelan.
“Kalau ke daerah sini udah pernah?” tanya Jeremi lagi.
“Belum Om, ini pertama kali, ternyata bagus banget.”
“Villa kita disini sering banget ada yang nawar mau beli, Nin. Karena emang posisinya bagus, tapi nggak pernah mau dilepas sama Papa,” kini Vanessa yang bersuara, Nina yang mendengar mengangguk menanggapi.
“Ya ngapain dijual, kenangannya banyak banget, kamu sama Ziel waktu kecil juga suka banget main disini, mama kamu juga paling suka sama villa kita yang disini,” sahut Jeremi, seperti halnya orang tua biasanya memang suka mengingat kenangan-kenangan kecil yang dialami keluarganya.
“Ayo masuk dong, Pa,” Januar memotong obrolan mereka yang masih tertahan di pekarangan Villa.
Jeremi yang menyadari langsung melanjutkan langkahnya, memasuki Villa besar tiga lantai miliknya itu.
“Ayo Nin masuk,” ajak Vanessa, Kenzo sendiri sudah berlarian ke halaman Villa yang menyediakan area bermain. “Kenzo ayo masuk dulu, Sayang. Nanti aja mainnya,” lanjut Wanita itu.
Saat ini, keluarga itu sudah berkumpul di halaman luas tepat di samping Villa, cuaca benar-benar berpihak kepada mereka, tidak terik tapi tidak juga mendung.
Nina dan Januar sudah menggelar tikar besar dan menyusun makanan yang dibawa, sedangkan di bagian lain Vanessa dan Reksa sibuk memanggang ayam dan daging.
“Aku nggak apa-apa nggak bantuin mereka?” Tanya Nina.
Januar yang sibuk menyusun makanan langsung menoleh. “Nggak apa-apa, Kak Vanessa tau kok kamu gak bisa kena asap gitu, nanti batuk lagi gimana.”
“Kalau gitu yang nyusun ini aku aja, kamu diem aja duduk,” timpal Nina sambil menarik Januar untuk duduk kembali, Nina melanjutkan kegiatan menyusun makanan dan piring-piring, sedangkan Januar yang dipaksa duduk kini tertawa kecil.
“Bareng aja, Sayang. Biar cepet selesai,” ucap Pemuda itu.
“Ih apasih sayang sayang, malu nanti didenger,” jawab Nina dengan sedikit memelankan suaranya, sang lelaki hanya menanggapi dengan tawaan.
“Dih kok malu, kayak lagi backstreet aja,” kata Januar.
“Udah diem deh, jadi bantuin nggak?” kata Gadis itu lalu mengabaikan, ia tetap fokus dengan kegiatannya.
“Ih tadi gak mau dibantuin padahal,” Januar pun mengalah dan ikut membantu kegiatan Nina.
Kegiatan makan siang keluarga itu berlangsung dengan menyenangkan, hidangan rumahan yang tersaji dan indahnya pemandangan yang mereka lihat mampu menciptakan kehangatan di tengah-tengah mereka.
Jeremi tampak bahagia melihat anak-anaknya berkumpul bersama karena ini pertama kali keluarganya berkumpul seperti ini untuk sekadar melepas penat sepeninggal istrinya.
Tak beda jauh dengan Januar yang sedari tadi tidak melepas senyum dari wajahnya, pemuda itu tampak sangat bahagia. Nina diam-diam memperhatikan sesekali tersenyum menatap eyesmile yang membuat pemuda itu tampak lebih menarik.
Nina merasa benar-benar diterima di keluarga ini, padahal membayangkan saja Nina tidak pernah, ini jauh dari ekspektasinya. Mendapat atensi bukan hanya dari Januar tetapi dari seluruh keluarga Janu adalah hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, lagi-lagi ia bertanya, apa yang menjadi alasan ia seberuntung ini.
“Kak Nina, ayo main,” Nina merasa tangannya ditarik pelan, Kenzo menggenggam tangannya, anak laki-laki berumur 7 tahun itu tersenyum berbinar menatapnya.
“Mau main apa, Ken?” tanya Nina, kini ia sudah tunduk agar bisa melihat Kenzo lebih jelas.
“Itu sama uncle Ziel,” kata Kenzo sambil mengangkat tangannya menunjuk orang yang ia maksud.
Nina dapat melihat Januar atau uncle Ziel yang kenzo maksud sedang duduk di ayunan sambil melambaikan tangannya. Nina ikut tersenyum, gadis itu merangkul si tampan Kenzo dan mengajaknya untuk menghampiri Januar.
“Kak Nin, Kenzo kira hari ini Kakak ikut buat belajar bareng sama Kenzo, tapi tadi kata Mami, Kak Nina ikut karena Kak Nina sekarang Keluarga Kenzo juga.” Kenzo berbicara sambil sesekali mengangkat kepalanya agar bisa melihat Nina.
Nina tersenyum haru mendengar ucapan anak itu, ia mengusap-usap rambut Kenzo gemas, “Kenzo nggak apa-apa kalau Kak Nina jadi keluarga Kenzo?” Tanyanya.
“Nggak apa-apa, Kak Nina baik sering ajarin Kenzo, nggak pernah marah-marah juga.” Jawab Kenzo lagi, bahkan anak itu kini tersenyum memperlihatkan gigi kelincinya.
“Ken, Kak Nina itu seumuran sama uncle, harusnya panggil dia aunty.” Itu suara Januar, Kini Kenzo sudah berlari duduk di ayunan yang di bagian tengah, Januar di sebelah kanan, dan Nina baru saja duduk di ayunan sebelah kiri.
“Kata Mami panggilnya kakak aja,” jawab Kenzo.
“Kalau gitu panggil uncle pake kakak juga dong biar adil.”
“Nggak bisa, kan uncle adiknya Mami, Kak Nina kan bukan jadi nggak bisa dipanggil aunty,” jawab Kenzo lagi.
“Tapi Kak Nina itu pac-,” Januar langsung mengatupkan bibirnya karena tak sengaja melihat Nina membulatkan mata membuatnya sadar hampir kelepasan berbicara di depan anak berumur tujuh tahun.
“Yaudah deh terserah Kenzo aja,” kata Januar mengalah dan mengakhiri perdebatannya dengan Kenzo.
“KENNN SINI NAK SEMANGKANYA UDAH DIPOTONG NIH.”
Kenzo langsung berlari mendengar teriakan Vanessa yang menyebutkan buah favoritnya.
“Jangan lari, Ken,” ucap Januar, tapi tampak sia-sia karena anak itu sudah berlari jauh menghampiri sang ibu.
Januar mengalihkan pandangannya kini menatap gadis cantik yang sedang tersenyum melihat ke depan, Januar tak sadar bibirnya ikut terangkat dan melukis senyuman disana, ia bahkan juga tidak percaya, di tengah-tengah kebahagiaannya ada Nina juga yang ikut serta.
“Nin, foto disana yuk,” Januar memecah keheningan, Nina yang dipanggil langsung berbalik menanggapi, ia mengangguk mengiyakan ajakan Januar yang menunjuk tumbuhan berbunga yang tampak tersusun cantik.
Januar dan Nina berjalan beriringan sambil mengagumi keindahan tanaman yang tertata dengan rapi.
“Kamu duduk disitu biar aku fotoin,” kata Januar, Nina nurut dan langsung duduk di tempat yang Januar maksud.
Januar mulai mengarahkan ponselnya yang sudah menampilkan layar kamera, “Aduh biasa aja dong senyumnya,” katanya seraya berakting tampak seperti terpesona, namun dibuatnya berlebihan.
“Apasih ih kayak gak pernah liat aku senyum aja,” balas Nina.
Januar tertawa. “Tapi yang barusan itu manis banget,” lanjutnya, kini ia kembali mengangkat ponselnya.
“Udah ih buruan,” kata Nina lalu melanjutkan berpose karena melihat Januar mulai serius menangkap foto.
“Nah, udah cantik,” Januar melangkah menghampiri Nina dan duduk di sebelah gadis itu.
Januar memperlihatkan hasil fotonya ke Nina yang diperhatikan dengan serius oleh gadis itu.
“Ih itu-”
“Udah cantik pokoknya ini mah, udah nggak boleh komentar, nanti aku post di feed instagram,” ucap pemuda itu yang langsung memotong perkataan Nina.
Nina tersenyum menanggapi dan tidak berkata apa-apa lagi, Januar kembali mengangkat ponselnya memperlihatkan layar kamera depan yang menampilkan wajah mereka berdua.
Januar bersandar sambil merangkul Nina, sedangkan sang gadis hanya diam menyadari posisi keduanya yang sedekat ini. Januar mulai menekan tombol kamera berkali-kali dan menangkap potret mereka berdua.
“Senyum dong, ih. Jangan gugup gitu, cuman dirangkul kok ini,” ucap Januar sambil melihat gambaran Nina dari kamera ponselnya yang masih menyala.
Nina langsung menunduk malu, menyadari Januar yang bisa melihat wajahnya dengan leluasa dari layar kameranya.
Januar menurunkan ponselnya, tapi ia belum mau untuk mengubah posisi, kepalanya masih bersandar di bahu Nina dan tangannya yang masih merangkul gadis itu.
“Makasih ya udah ikut hari ini,” kata Januar, sangat pelan, tapi posisi mereka yang sedekat itu membuat Nina dapat mendengar ucapan Januar dengan jelas.
Nina berdeham singkat. “Makasih juga udah welcome sama aku, keluarga kamu baik banget,” Jawab Nina dengan sama pelannya yang juga masih bisa didengar oleh Januar.
Keduanya kembali diam dan hanyut dalam pikiran masing-masing, Januar memejamkan matanya sambil mengeratkan rangkulan yang ia berikan kepada Nina. Nina pun menurut tidak mengelak sedikit pun, keduanya seakan menyalurkan perasaannya masing-masing di bawah pohon rindang dan cuaca sejuk di siang menuju sore hari itu hanya dengan satu rangkulan dan sandaran di tubuh masing-masing.