tegar
Nina jalan memasuki pekarangan rumah megah yang sangat ramai sore ini, ini adalah pertama kali Nina melihat rumah Januar. Sejak memasuki wilayah rumah Januar, puluhan mobil sudah berjejer memenuhi kaki jalan, lalu melangkah sedikit, karangan bunga duka cita berjejer dari bermacam-macam instansi dan relasi.
Semua orang hadir dengan wajah pilu dan berduka, hampir semua menggunakan pakaian hitam menandakan duka hadir di rumah ini. Nina membuntuti Naufal yang menepati janji untuk menjemputnya. Gadis itu tengah celingak-celinguk melihat orang-orang di sekitarnya. Keluarga Januar adalah keluarga terpandang yang mempunyai relasi dimana-mana, tidak heran jika banyak yang ikut berbelasungkawa.
Meski belum pernah bertemu, Nina bisa menebak sebaik apa wanita yang sudah melahirkan Januar itu.
“Duduk, Nin,” kata Naufal mempersilahkan Nina duduk di kursi tamu yang berhadapan langsung dengan pintu masuk rumah Januar yang terbuka lebar, Nina duduk tepat di sebelah Ezra dan Reon yang juga sudah lebih dulu hadir.
“Itu Janu,” ucap Ezra yang duduk di sebelah Nina, ia menunjuk Januar dari jauh.
Nina memperhatikan arah telunjuk Ezra, ia dapat melihat Januar yang memakai kemeja hitam sedang berdiri di pintu masuk menyalami beberapa tamu yang bergantian memeluk dan menepuk pundaknya, dari jauh juga gadis itu dapat melihat wanita yang juga ia kenal–Bu Vanessa–yang sedang duduk menutup mulutnya dengan tisu di sebelah peti ibunya yang terbaring tak bernyawa.
Melihat Bu Vanessa kembali membuat Nina menyadari satu hal, Bu Vanessa yang biasa ia temui di rumahnya tidak pernah terlihat menyimpan sakit sebesar itu, wanita itu selalu tersenyum saat bertemu dengan Nina. Ia tidak pernah menujukkan kesedihan sedikit pun, tapi melihat bagaimana Vanessa nangis tersedu-sedu bahkan terlihat histeris, menandakan wanita itu juga punya topeng yang tebal selama ini.
Lalu Nina kembali melihat Januar, pemuda itu sama sekali tidak menangis. Tapi raut wajahnya tak bisa berbohong, tatapan matanya kosong meski dipaksa terlihat tegar.
Beberapa detik gadis itu memperhatikan Januar dari jauh hingga pemuda itu sadar dan melihatnya dengan sedikit kaget. Januar tersenyum tipis, sangat tipis. Hanya sebagai tanda bahwa ia menyadari kehadiran Nina.
Nina yang melihat justru segera menunduk, tak kuasa melihat Januar yang terlihat sedih namun berusaha sekuat itu. Banyak sekali yang ingin Nina tanyakan, tetapi melihat Januar sekarang, ia bisa paham kadaan pemuda itu. Beberapa menit berlalu, Januar datang menghampiri Nina dan ketiga temannya. Pemuda jalan dengan sedikit terburu-buru.
“Datang sama siapa?” Tanya Januar tepat saat ia tiba di depan Nina, ia menunduk karena posisi Nina yang duduk di kursi dan sedangkan tubuhnya yang jangkung itu sedang berdiri.
“Sama gue, Nu.” Naufal yang menjawab, karena Nina masih sibuk memperhatikan Januar dengan tatapan sendu dan mata berkaca-kaca. Januar mengangguk paham. “Maaf ya lo harus denger dari orang lain,” ucap Janu lagi, kini kedua tangannya sudah memegang kedua pundak Nina.
Nina menggeleng pelan. “Kenapa lo minta maaf? Lo lagi berduka, wajar nggak sempet ngasih tau apa-apa, tapi memang bakal lebih baik kalau gue tau dari awal, gue gak bisa bayangin kalau gue gak berusaha nyari tau apa yang sebenarnya terjadi sama lo,” kata Nina, suaranya sedikit bergetar.
Januar menunduk lalu merapatkan bibirnya. “Nanti gue cerita ya, Nin. Gue ke mama dulu, udah mau ke pemakaman juga,” ucap Januar pelan yang dijawab anggukan oleh Nina.
“Nu,” Nina menarik tangan Januar yang baru saja akan melangkah pergi, kemudian gadis itu berdiri.
Tanpa aba-aba, gadis itu melangkah mendekat dan memeluk Januar. Tinggi yang jomplang, membuat Nina hanya sejajar dengan leher Janu, gadis itu menepuk pelan bahu lelaki yang saat ini sudah berdiri mematung, tak memberi pergerakan apa-apa. ”Lo kalau mau nangis, nangis aja, Nu. Jangan terlalu dipendam sendirian.” Nina berbisik pelan.