helai rambut
Gemuruh penonton malam ini memenuhi grand outdoor, ratusan audiens tampak riang menghabiskan malam dengan melepas beban walau dengan tubuh yang sudah berkeringat lelah.
Kurang lebih sama dengan lelahnya keadaan panitia di belakang panggung, bedanya menjadi panitia tentu tidak bisa sebahagia penikmat acara, tetapi bahagianya bisa hanya dengan melihat acara berjalan lancar tanpa hambatan dan sesuai rundown hingga selesai.
Nina terus memantau jalannya acara dari pinggir panggung, susunan rundown ada di tangan kiri, talkie walkie yang terus bersuara ada di tangan kanan, dan tanda pengenal crew tergantung di lehernya, tak lupa rambut yang sudah terikat asal.
“Kak nin, bentar lagi neoband, kan?” Nina menoleh, mendapati partner divisinya datang dari arah belakang panggung.
“Iya, gimana Fir udah siap mereka? Pas lagu terakhir nanti, langsung suruh standby ya, masih ada 4 lagu lagi terus giliran mereka, ” jawab Nina mengarahkan Fira, partner divisi yang satu tahun lebih muda darinya.
Gadis di hadapannya mengulum bibir, berpikir sejenak. ”Eum, mereka maunya Kak Nina yang manggil,” lanjut Fira.
Nina mengernyit mendengar jawaban Fira, beberapa detik ia diam berpikir lalu menghela napas panjang. Pasti Januar lagi, pikirnya. Akhirnya Nina mengangguk pelan menyetujui.
“Yaudah gue yang kesana, lo gantiin disini ya,” ucap gadis itu dan melangkah segera ke *backstage untuk memenuhi permintaan Neoband, lebih tepatnya permintaan Januar.
Nina berjalan agak buru-buru karena mengejar waktu, melewati beberapa tenda lalu akhirnya tiba, dibukanya tenda bertuliskan Neoband di depan jalan masuk, ia langsung menghela napas melihat hanya ada Januar di sana–duduk tenang dengan satu tangan memegang ponselnya.
“Yang lain mana?” tanya Nina sambil berjalan mendekati Januar yang sudah sadar akan kedatangannya.
Januar tersenyum. “Udah keluar, gak ketemu ya?” Januar menyimpan ponsel lalu memperbaiki posisi duduk.
Nina memicingkan mata mendengarnya. “Nggak ada tuh, lo ngerjain gue ya? pake request ke panitia lain segala minta dipanggilin,” katanya mencibir.
Januar terkekeh sampai bola matanya hampir tak terlihat, pemuda itu melihat Nina mengubah ekspresi menjadi sedikit kesal, tapi entah kenapa malah jadi lucu di matanya. “Iya sorry, sini duduk dulu, nggak capek apa dari sore mondar-mandir mulu,” kata Januar, sebelah tangannya menepuk-nepuk bagian kosong di sampingnya.
Nina masih mengerucutkan bibir tapi ia nurut, melangkah duduk di sebelah Januar. Harusnya ia menolak, tapi pegal di badannya berdemo meminta untuk diistirahatkan.
“Udah makan?” Tanya Januar lagi, netranya masih tak lepas menatap Nina yang sedang bersandar merenggangkan tubuhnya di sofa tempat mereka duduk.
Nina menggeleng pelan, masih tak menyadari sedang ditatap lekat oleh pemuda itu. “Nanti, nunggu acara selesai,” lanjut Nina.
“Kok gitu? Kita udah dikasih makan dari tadi, masa yang ngurus acara malah gak makan sih?” protes pemuda itu.
“Telat makan doang, nggak sampe skip makan kok,” jawab Nina santai, tidak mempermasalahkan.
“Gak enak pasti udah gak panas makanannya, makanan tuh enaknya pas masih hangat,” omel Januar, lalu pemuda itu mengulurkan tangan ke atas meja mengambil sebungkus roti yang masih tersegel dan segera membukanya.
“Sama aja ah yang penting belum basi, masih bisa dimakan,” Nina masih tak peduli banyak, iatetap fokus mengistirahatkan punggungnya di kepala sofa.
“Nih,” Januar memberikan sebungkus roti yang sudah ia buka, membiarkan Nina agar langsung memakannya.
Nina menatapnya heran. “Ini udah mau keluar, gak enak diliat yang lain, masa gue sambil makan,” jawab Nina sedikit menepis tangan Januar.
“Emang ada aturannya ya gak boleh sambil makan?” Tanya januar lagi tak menyerah. Nina menggeleng pelan, memang tidak ada aturan resminya, tapi kan tetap saja.
“Yaudah kalau gitu makan aja, ganjel perut. Gue gak mau keluar kalau lo nggak mau ambil rotinya,” Januar kembali menyodorkan roti itu, Nina menghela napas, akhirnya mengalah.
“Makasih,” jawab gadis itu pelan, lalu segera melahap roti bulat di tangannya itu.
“Nanti liat gue ya,” kata Januar di tengah-tengah lahapnya nina mengunyah roti yang ia berikan.
Nina menoleh melihat Januar. ”Iya pasti liat kan gue di sebelah panggung,” jawabnya lalu kembali menggigit potongan roti.
“Pindah ke depan dong, kalau di samping gue gak bisa liat.”
Nina mendelik. “Dih mau perform apa mau liat gue?”
Januar tertawa melihat perubahan ekspresi wajah Nina, ditambah mulut cewek itu masih mengunyah. “Ya dua-duanya,” kata Januar, tangannya kini terulur, dirapikannya beberapa helai rambut Nina yang menghalangi gadis itu makan, ditariknya helai rambut itu ke belakang agar terselip kembali di telinga Nina.
Nina yang menyadari spontan tersedak, mulutnya ditutup sesegera mungkin dan memalingkan wajah membelakangi Januar. Sementara yang menjadi penyebab, malah tertawa sambil mengambilkan air mineral baru yang ada di atas meja.