meet
Nina berlari pelan menghampiri mobil berwarna putih terparkir rapi di halaman gedung fakultasnya, halaman parkiran sore itu tampak lebih sepi dari biasanya, entah karena sudah sore atau memang kebetulan saja.
Dibukanya pintu penumpang mobil itu yang langsung menampilkan penampakan indah dari sang pengemudi yang sudah memperhatikannya dari beberapa menit yang lalu.
Nina menghela napas, menetralkan degupan jantung yang semakin menjadi. Ini bukan pertama kali dia duduk di mobil itu dengan Januar di sampingnya, tapi ini pertama kali sejak peristiwa confess ala-ala yang dilakukan Januar semalam.
“Nunggu lama?” tanya Nina, ia memberanikan diri membuka suara lebih dulu agar tidak terlihat terlalu gugup di hadapan Januar.
Januar menggeleng pelan. “Bentar doang kok,” jawab cowok itu sambil menghidupkan mesin mobilnya.
“Mau kemana?” Nina bertanya, ia sedang menarik seatbelt-nya, sebelum disuruh Januar.
Januar belum menjawab sampai mobil mereka sudah melaju pelan keluar area gedung Fakultas. “Mau ke tempat mama gue, boleh nggak?” tanya Januar meminta persetujuan.
Nina berpikir sejenak, jika yang dimaksud Januar adalah mamanya yang baru pergi lima hari yang lalu, artinya kini mereka sedang menuju ke pemakaman.
“Ke makam, Nin, maksudnya,” sambung pemuda itu, setelah sebelumnya menoleh melihat wajah Nina yang tampak kebingungan.
“Oh, boleh kok, ayo.” Nina menjawab tanpa ragu.
Januar tersenyum, lalu kembali fokus mengemudi.
Keduanya menghabiskan waktu perjalanan dengan lebih banyak hening, sepertinya keduanya sama canggungnya karena kejadian semalam. Beberapa kali mobil itu diisi pertanyaan-pertanyaan random Januar seperti “gimana kuliahnya hari ini”, “tugasnya lagi banyak apa enggak”, hingga pertanyaan mengenai bagaimana Nina bisa kerja sebagai guru privat Kenzo–keponakan Januar–karena Januar sepertinya terlewat belum pernah bertanya sama sekali mengenai hal itu.
Keduanya sudah sampai di pekarangan pemakaman elite. Nina keluar lebih dulu, diikuti Januar yang memilih ke bagasi mobil terlebih dahulu untuk mengambil buket bunga, serta satu kemeja yang memang selalu tergantung di bagasi mobil cowok itu.
“Pakai dulu, biasanya suka ada serangga,” kata Januar sembari menyerahkan kemeja berwarna coklat yang baru ia ambil. Nina menurut mengambilnya dan segera melapisi kaos yang ia pakai dengan kemeja yang diberikan Januar.
Mereka pun berjalan beriringan setelah memastikan tidak ada yang ketinggalan. Berbeda dengan pemakaman umum biasanya yang bebas keluar masuk, tempat ini dilengkapi satpam yang menjaga di gerbang masuknya dan siapa pun yang ingin berkunjung harus memiliki akses dan membayar tiket masuk.
“Mau pegang bunganya? Wangi banget,” Januar menyodorkan buket bunga di tangannya itu, Nina yang dituju reflek menyiapkan tangan dan segera mengambil alih.
Nina mencium aromanya, aroma segar dari bunga asli ditambah wewangian khusus yang membuatnya langsung tersenyum.
“Mau bunga begitu?” Tanya Janu.
Nina menggeleng cepat.
“Kenapa?”
“Nggak mau aja, hm lebih ke enggak butuh? Sayang aja ntar dibeli terus mati, gue juga bukan addicted bunga atau tanaman gini, tapi suka-suka aja sih kalau nyium wanginya,” jawab gadis itu.
Januar mengangguk mengerti, sedikit merasa lega karena tidak langsung membelikan satu untuk Nina juga tadi.
Keduanya sudah sampai di pekarangan pemakaman yang mereka tuju, disana terlihat satu nisan yang jelas tampak masih baru dan bunga-bunga segar disekelilingnya.
Januar duduk di sebelah makam itu, diikuti Nina yang duduk di sebelahnya, mata nina fokus melihat satu bingkai foto kecil berisi foto keluarga di sebelah batu nisan bertuliskan nama Rosiana Irmawan.
Januar mengelus nisan itu sambil tersenyum. “Halo mama, Ziel datang lagi,” sapanya. Nina tersenyum tipis mendengar Januar menyebut nama khususnya di keluarga. “Hari ini Ziel bawa teman, bukan Ezra, Naufal, atau Reon. Tapi Nina, namanya Nina, kemarin dia juga datang ke rumah, maaf ya ma gak sempat ngenalin Nina ke mama waktu mama masih bisa ngomong, masih bisa senyum, dan masih bisa buka mata,” lanjut pemuda itu, entah kenapa suasana berubah haru. Nina yang mendengar jadi merasa terenyuh.
“Halo Tante, tante cantik banget,” kini Nina yang bersuara, ia memuji sambil memandangi bingkai foto keluarga yang dari tadi mencuri perhatiannya. Nina tidak bohong, dari foto kecil di sana, Nina dapat melihat sosok cantik yang tersenyum hangat sedang dipeluk oleh suami dan kedua anaknya. Matanya mirip sekali dengan milik Januar.
“Mama pasti lagi jawab, 'kamu juga cantik',” sahut Januar menggoda sambil menyeringai memamerkan deretan giginya seperti tak berdosa.
“Ngarang banget lo!”
“Serius kok, biasanya mama jawab gitu kalau ada yang puji,” ucap Januar lagi, tidak mau mengalah yang membuat Nina langsung mencibir.
“Kasih bunganya,” suruh Januar.
Nina mengangkat bunga di tangannya itu. “Gue yang kasih?” tanya Nina memperjelas. Januar mengangguk, ia menepuk bagian kosong di depan nisan memberitahu di mana harus diletakkan bunga itu.
Nina nurut, agak maju sedikit ke depan dan menyimpan dengan rapi bucket bunga itu di tengah tengah, hingga hampir menutupi setengah nisan.
“Makasih kata mama,” kata Januar setelah Nina kembali ke posisinya. Nina tertawa pelan menanggapi.
Janu dan Nina kini keluar dari area pemakaman menuju parkiran, suasana sejuk sore itu membuat keduanya menikmati udara di tambah pepohonan rimbun dan bahkan ada taman dengan danau kecil tepat di depan pemakaman tempat mereka sekarang.
“Mau kesana, nggak?” Januar menunjuk taman kecil yang dengan beberapa orang tengah menikmati sejuknya sore hari itu.
“Ayok,” Nina mengangguk riang, ia bahkan melangkah lebih dulu.
Akhirnya mereka memilih berjalan kaki dan meninggalkan mobil Janu di tempat parkir.
“Jangan jauh-jauh, Nin. Nanti capek baliknya,” Januar sedikit meninggikan suaranya melihat Nina yang semakin menjauh sesekali gadis itu merentangkan tangannya menikmati udara segar yang jarang ia rasakan.
Januar terkekeh, memilih duduk di atas rumput hijau karemamelihat dua bangku yang tersedia sudah memiliki penghuni, tak lama Nina datang menghampiri dan langsung duduk di sebelah Janu.
“Seru banget kayaknya,” sindir pemuda yang saat ini masih tak lepas menatap Nina, eyesmile yang dimiliki semakin terlihat manis.
Nina mengangguk santai. “Tiap hari gue liatnya cuman jalanan ribut, Nu. Hidup gue isinya cuman rapat, kuliah, kerja, bahkan weekend juga nggak punya waktu santai, sebenarnya gampang, tapi terlalu malas aja, kalau ada waktu kosong bawaannya cuman mau tidur,” oceh perempuan itu yang masih tak sadar dengan lawan bicaranya yang tak lepas memperhatikannya.
Tanpa diberitahu pun Januar sudah sangat paham betapa padatnya kegiatan Nina sejak awal Januar mengenalnya.
“Makasih ya, udah ngajak kesini.” Nina berkata pelan. Kemudian gadis itu menoleh dan matanya tepat tertuju pada netra hitam yang sudah sejak tadi tak lepas memandangnya.
Cowok itu sempat terusik kaget sebelum kemudian menjawab juga sama pelannya, “kembali kasih.”
Nina segera memalingkan wajahnya, tak sanggup meladeni tatapan mata indah Januar yang selalu sukses membuatnya jadi salah tingkah. Ditambah apa yang dilakukan pemuda itu semalam kembali berputar di memorinya, ia tahu tujuan Januar hari ini adalah untuk meminta kejelasan jawaban dari permintaannya semalam.
“Jadi yang semalam udah bisa dijawab, belum?”
Nina mengerjap, semakin tak mampu menoleh melihat pemilik suara. Padahal ia sudah mempersiapkan jawaban dari pertanyaan ini sejak malam. Ternyata ditanya secara langsung dampaknya jauh berbeda.
Januar terkekeh melihat Nina yang melongo dan masih diam penuh pertimbangan, “Gak apa apa kalau belum bisa, Nin.” Januar mengulurkan tangannya menepuk gemas rambut Nina. “Lo jangan ngira gue ajak ke mama gue hari ini biar lo ngerasa bersalah, engga sama sekali, gue udah janji jauh-jauh hari pengen ngenalin lo ke mama, kok.”
Satu fakta baru Nina ketahui hari ini, Januar benar-benar membuatnya gila karena diperlakukan seistimewa ini. Detik selanjutnya, gadis itu menoleh, menangkap basah Januar yang baru saja menarik tangannya dari atas kepala Nina. Januar menaikkan alis, kaget tiba-tiba ditatap balik.
Nina berdehem singkat. “Padahal jawabannya udah jelas.” Nina kembali diam membiarkan Januar menerka-nerka.
“Tadi gue harusnya ada rapat, tapi gue izin mati-matian ke senior gue dan akhirnya gue bisa ikut kesini,”lLanjut Nina, ia mengatupkan bibirnya, memandangi Januar yang mengerjap berkali-kali menganalisis maksud perkataan Nina.
“So, it's a yes?”
“Maybe?”
Januar memalingkan wajahnya dan mengusapnya kasar, menahan senyum salah tingkah dan degupan jantung yang semakin meningkat.
“Yang jelas dong, iya apa enggak?” tanya Januar lagi. Matanya berbinar.
Nina tertawa, wajah gadis itu memerah, dan Januar menyadari itu.
“I ... YA.” Nina menekankan ucapannya.
Selanjutnya, hanya terlihat Januar yang sibuk menyembunyikan senyumannya, walau tapi tampak sia-sia karena matanya yang berbinar dan membentuk melukis senyuman tidak bisa berbohong.