he cry
Januar melangkah mendekati gadis yang sedang duduk sendirian di halaman rumahnya, hari sudah gelap dan Nina belum pulang karena Januar memintanya menunggu sebentar. Rumah Januar masih cukup ramai di dalam, tapi suah tidak seramai sore tadi. Tempat Nina duduk sekarang juga hanya menyisakan beberapa orang.
Januar duduk tepat di sebelah Nina yang kosong. “Udah makan, kan?” tanya Januar, Nina mengangguk pelan.
“Lo udah makan?” Nina balik bertanya.
“Nanti abis ini makan, sekarang belum lapar,” jawab Januar.
Nina memandangi Januar yang tampak sangat lelah, pandangannya juga terlihat kosong. Kemeja yang tadi sore masih rapi, kini sudah sedikit berantakan dengan lipatan lengan yang tidak rapi.
“Nggak cerita malam ini juga gak apa-apa, Nu. Istirahat aja dulu,” kata Nina yang menyadari kondisi Januar yang masi kurang baik.
Januar menggeleng pelan, kemudian bergerak memperbaiki posisi duduk. “Masih ada energi, kok,” katanya dengan berusaha tersenyum.
Nina akhirnya memilih diam, tidak bertanya apa-apa lagi. Lalu hening beberapa saat, Januar juga kembali menatap kosong ke depan sembari berpikir akan memulai cerita dari mana.
Pemuda itu terdengar menghela napas, kemudian melirik Nina sekilas, sebelum mulai berbicara, “Mama udah koma 3 bulan, dia divonis radang selaput otak di awal tahun,” kata Januar membuka ceritanya. Nina yang mendengar menoleh memperhatikan pemuda itu yang masih menatap lurus ke depan, mata Januar berkaca-kaca.
“Gue udah bolak balik jagain Mama di rumah sakit berharap gue masih bisa dapat momen kecil sama mama, tapi ternyata beberapa bulan belakangan ini gue udah gak bisa ngobrol. Padahal gue sampe beli apartemen di sebelah rumah sakit biar gampang nengoknya,” Januar tersenyum kecut lalu tertunduk.
Nina reflek mengulurkan tangannya, mengelus pelan pundak cowok di sampingnya itu.
“Gue gak pernah mau nangis karena dari awal divonis Mama gue minta gue untuk nggak pernah nangis, dia cuma minta gue tetap ada di samping dia, dan tetap jalanin hidup gue sepeeri biasanya,” lanjut pemuda itu.
“Gue mungkin berusaha keliatan baik-baik aja, tapi nyatanya gue hancur Nin, mama itu pusat dunia gue, perempuan nomor satu di hidup gue, tapi sekarang udah pergi,” Januar menutup matanya dengan telapak tangan, kini ia sudah menangis, Semakin menangis saat Nina sudah merangkulnya dan Januar entah sadar atau tidak sudah menyandarkan kepalanya di pundak Nina. Itu adalah tangis pertamanya Januar hari ini.
Nina diam-diam sudah ikut menetskan air mata, tapi ia berusaha menahan isakannya. Ia membiarkan Januar menangis tersedu-sedu, meluapkan apa yang disimpannya selama ini.
“Nu, mama lo pasti bangga, disayangin dan dihargain dengan sangat luar biasa. Nangis itu manusiawi kok, makasih udah bertahan ya. Lo udah sangat berbakti sebelum mama lo pergi,” ucap Nina seraya mengusap air matanya sendiri.
Januar mengangkat kepalanya, kini menatap kedua mata Nina dengan mata yang masih berair. ”Gue pernah ketemu lo di minimarket, hari itu hari pertama mama koma.” Kata Januar masih tak lepas memandang Nina dihadapannya, Nina yang mendengarnya langsung mengerjap.
“Gue gak tau ini bakal menyinggung atau enggak, tapi lo mirip banget sama mama, malam itu gue liat lo bantuin anak jalanan, ngasih mereka makanan, dan bantu mereka belajar di tenga-tengah lo lagi kerja.”
“Selama hidupnya, mama gue juga selalu kerja, padahal dengan keuangan papa, gue rasa sudah sangat cukup untuk menuhin kebutuhan hidup kita, mama gue baik banget Nin, dia punya panti asuhan dan rumah singgah buat anak jalanan. Sampai ternyata gue baru tau kalau hampir 50% penghasilannya dia salurin kesana, dia kerja bukan buat dirinya tapi buat orang lain. Karena terus kerja sekeras itu, kerjaan juga yang buat dia sakit dan berakhir kayak gini.”
Nina diam membeku, karena dua hal. Pertama, Januar pernah melihatnya sebelum pertemuan pertama–menurut Nina–mereka saat wawancara podcast. Lalu yang kedua, sesuai tebakannya, mama Januar adalah orang yang luar biasa.
Pemuda itu benar-benar tumbuh dari keluarga yang baik.
“Makasih udah ceritain semua ya, Nu. Mama lo orang baik, dia pasti lagi di tempat yang baik sekarang.” Nina tersenyum tipis meskipun masih dengan mata yang sembab.
Januar menarik Nina sekali lagi, lalu detik selanjutnya memajukan badan dan mendekap Nina dengan erat. “Makasih udah ada di sini ya, hampir semua karakter dan sifat mama gue, gue temuin di diri lo, tapi gue harap lo nggak berakhir sakit juga kayak mama gue, ya Nin?”